Bertahan
hidup artinya selalu siap untuk berubah, karena perubahan adalah jalan menuju
kedewasaan. Dan kedewasaan adalah sikap
untuk selalu mengembangkan kualitas pribadi tanpa henti---Henri Bergson, Filsuf Francis
Dalam
setiap keindahan selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran selalu ada telinga
yang mendengar. Dalam setiap kasih
selalu ada hati yang menerima---Ivan
Panin, Matematikawan Rusia
A. Pendahuluan;
Sekitar Filsafat Yunani
Abad ke-5 SM zaman keemasan Yunani. Kuil-kuil
indah dengan patung yang bagus didirikan diantaranya Kuil Parthenon di atas
Bukit Acropolis sebagai tempat memuja
Dewi Athena, pelindung ilmu pengetahauan dan budaya. Terdapat bukit Olympus kediaman para dewa
termasuk tempat tinggal dewa dari segala dewa, yaitu dewa Zeus yang sekali
empat tahun orang mengadakan pertandingan olahraga (Olympiade) untuk menghormati
Zeus. Seni bangunan dan seni rupa terutama
diabadikan untuk agama dan orang Yunani menyembah banyak dewa (politheistis).
Menurut kepercayaan Yunani Kuno, dewa-dewa adalah manusia sempurna (bentuk
badannya) dan punya sifat-sifat seperti manusia
misalnya cemburu, suka perang dan saling bertengkar.
Masyarakat Yunani bersifat demokratis. Persoalan
kemasyarakatan dipecahkan dalam suatu rapat warga polis (kota) sehingga mendorong daya tangkap yang cepat, daya
kritik yang tajam dan kecakapan
mengemukakan pendapat di depan umum (retorika). Orang-orang pandai mengumpulkan pemuda-pemudi mendirikan “sekolah”
yang disebut gymnasium dan pelajaran
diberikan sambil berjalan keliling. Orang-orang pandai (sophist), yaitu orang yang mengabdi pada sophi (ilmu pengetahuan). Mereka menggunakan akal atau rasio dan
memerangi tahayul serta kebodohan. Cara
melihat kehidupan tersebut lalu dianggapakan merusak kepercayaan kepada
dewa-dewa warisan nenek-moyang serta mengancam kedudukan para penguasa. Mereka melarang
kegiatan kaum sofis termasuk Socrates (+ 400 SM) yang karena tidak mematahui
larangan para penguasa kemudian ditangkap dan hukuman mati.
Socrates dianggap sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan modern. Ilmu
pengetahuannya didasarkan atas pengamatan yang tajam dan akal yan kritis untuk
mencapai simpulan yang logis lalu dilanjutkan oleh Platon muridnya.
Orang-orang Yunani purba suka hidup bebas dan
merdeka. Tiap-tiap kota (polis) mempunyai kemerdekaan atau hak
otonomi yang luas bahkan penduduk polis turut
aktif ikut dalam pemerintahan polis-nya.
Rasa kemerdekaan yang besar menyebabkan seringnya
terjadi perang antara polis. Peperangan antara polis-polis mengakibatkan kebebasan Yunani lenyap sampai Yunani
dikuasai oleh Makedonia. Di zaman itu hidup Aristoteles yang akhirnya melarikan
diri ke Makedonia dan menjadi guru putra mahkota, Alexander (Iskandar
Zulkarnaen).
Kerajaan
Romawi didirikan abad ke-8 SM setelah berhasil menaklukkan seluruh Jazirah
Italia berkembang menjadi “kerajaan
dunia” meliputi seluruh daerah Eropa
Selatan, daerah pesisir Laut Mediterania dari Spanyol hingga Siria, daerah
pantai Afrika Utara dari Mesir sampai ke Selatan Gibraltar. Oleh sebab itu Laut
Mediterania mereka sebut Mare Nostum (laut
kita). Di Italia dan Sisilia terdapat koloni-koloni Yunani dengan kebudayaan
dan bahasa Yunani menjadi bahasa pergaulan kaum cerdik pandai dan orang-orang
terkemuka sehingga cara berfikir Yunani lambat-laun berpengaruh juga di
Romawi. Orang Romawi terkenal sebagai
organisator, mereka juga ahli dalam soal-soal
ketatanegaraan (terutama bidang hukum
dan perundang-undangan) serta memiliki keunggulan di bidang kemiliteran
sehingga dapat menguasai hampir seluruh dunia.
B.
Ciri khas fase Hellelisme
Filsafat
Yunani bukan hasil para filsuf
Yunani saja tetapi merupakan
perkembangan kebudayaan Yunani sebelum
era para filsuf. Filsafat Yunani mula-mula dimaksudkan untuk melepaskan
diri dari kekuasaan golongan agama berhala (bersahaja) dengan jalan menguji
kebenaran ajaran-ajarannya dan yang
tidak diterima akal pikiran masuk kedalam “cerita-cerita keagamaan”. Kepercayaan
tentang adanya banyak zat (“dewa-dewa”) yang
mempengaruhi alam menjadi sumber segala peristiwa.---meskipun dalam bentuk yang
berbeda dengan apa yang ada pada agama Yunani sendiri. Menurut filsafat Yunani,
bukan hanya sebab yang pertama (first cause) yang mempengaruhi alam, tetapi
juga ada kekuatan-kekuatan lain yang ikut serta mempengaruhinya yaitu akal-akal
yang mengerakkan benda-benda langit.
C. Ciri khas
fase Hellelisme Romawi
Secara
keseluruhan masa Hellelisme Romawi mempunyai corak yang sama namun
dalam perkembangannya dibagi ke dalam tiga masa dengan corak
sendiri-sendiri. Masa pertama
ialah abad ke-5 sampai pertengahan abad pertama sebelum masehi. Aliran-aliran yang terdapat
didalamnya ialah:
a. Aliran Epicure: Pendirinya
Epicurus. Ajarannya ialah bahwa kebahagiaan
manusia
merupakan tujuan utama.
b. Aliran Stoa:
Pendirinya Zeno. Ajarannya ialah agar manusia jangan sampai bisa digerakkan
oleh kegembiraan atau kesedihan (jadi menahan diri dalam menghadapinya) dan
menyerahkan diri tanpa syarat kepada suatu keharusan yang tidak bisa ditolak
dan yang menguasai segala sesuatu.
c.
Aliran skeptis (ragu-ragu):
Aliran ini meliputi aliran Phyrro dan aliran akademi baru. Ajarannya ialah
bahwa untuk sampai kepada kebenaraan, kita harus percaya dulu bahwa sesuatu
tidak akan sampai kepada kebenaran atau mengingkari kebenaran mutlak
(objektif).
Masa kedua dimulai pertengahan abad
pertama sebelum Masehi sampai pertengahan abad ketiga Masehi. Corak pemikiran masa
ini ialah seleksi dan penggabungan; memilih
beberapa pemikiran filsafat kuno dan menggabungkan pikiran-pikiran satu sama
lain, dengan
ketentuan agama dan tasawuf Timur dan melahirkan
beberapa aliran; (1) aliran Paripatetik
terakhir, (2) aliran Stoa baru, (3) aliran Epicur baru, (4) aliran Pitagoras,
dan (5) aliran Filsafat Yahudi dan Philo. Filsafat
Hellelisme Yahudi suatu pemikiran filsafat yang mempertemukan filsafat Yahudi
dengan kepercayaan Yahudi dengan jalan penggabungan satu dengan yang lain atau
membuat susunan baru yang mengandung kedua unsur tersebut.
Masa ketiga ialah dari abad ketiga masehi
sampai pertengahan abad ke-6 di Bazantium dan Roma atau sampai pertengahan abad
ke-7 atau ke-8 di Iskandariah dan Asia Kecil. Masa
ini dikenal
aliran-aliran (1) neo-Paltonisme, (2) Iskandariyah, dan (3) aliran filsafat di
asia Kecil. Aliran-aliran ini merupakan kegiatan terakhir menjelang timbulnya
aliran Baghdad atau aliran filsafat Islam. Aliran
Iskandariyah lebih banyak mengarah kepada lapangan
eksakta (seperti matematika, fisika) dari pada
lapangan metafisika. Tokoh-tokoh
aliran Iskandariyah ialah (1) Hermias, (2) Stephanus, dan (3) Johannes
Philoponos.
D. Stoikisme dan Politik Yunani
Tokoh-tokoh Stoa atau para Stoik,
dalam etika politik terbagi dalam dua golongan, yang anti-politik atau menjauhi
keterlibatan politik, dan yang terlibat aktif dalam politik. Kedua kelompok tersebut memiliki
pandangan yang berbeda.
Bagi yang menjauhi dunia
politik, alasan mereka adalah karena muak dengan perilaku elit politik, dan
meyakini bahwa hukum yang patut ditaati bukanlah hukum negara, melainkan hukum
alam yang diatur oleh sang ilahi. Selain itu, mereka masih sangat
dipengaruhi oleh aliran Sinisisme yang mengecam keras
pemerintahan tiran kala itu.
Bagi yang memilih terlibat
dan berkarir dalam dunia politik, Cicero misalnya, mengatakan bahwa tugas
politik sebagai tugas suci yang
dibebankan Tuhan kepada manusia, ganjarannya
adalah sorga. Dalam relasi dengan manusia lain, kita tak butuh hukum politik,
namun harus hidup dalam persahabatan dan kekeluargaan dengan semua makhluk,
seperti kutipan Plutarch (Moralia, 329A) dari Politeia karya Zeno. Alasannya sederhana, para Stoik awal
menolak sistem pemerintahan kala itu, pemerintahan yang sangat tirani. Para
Stoik awal juga menolak sistem dan ajaran pendidikan yang mengabaikan
pentingnya hidup bersama dalam persahabatan, persaudaraan, dan anti permusuhan.
Setiap sistem politik agaknya mereka tolak, bahkan penggunaan mata uang mereka
tidak anjurkan. Sedang para Stoik misalnya Cicero, Seneca Muda dan Markus Aurelius justru terlibat dalam kancah politik,
Cicero adalah salah satu anggota dewan Kota, Seneca pernah jadi penasihat
Kaisar Nero, dan Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar. Jadi, Stoa memang memiliki paradoks
ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam
lingkaran politik.
Bagi Seneca, Cicero dan Marcus
Aurelius, seseorang yang memiliki jabatan politik harus memiliki integritas
diri. Pemerintahan yang baik seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang yang
tahu kebijaksanaan seperti pernah digagas oleh Plato
dalam sistem pemerintahan Aristokrasi, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang
benar-benar melakukan kebijaksanaan. Marcus Aurelius sendiri mengarang buku
berjudul Meditations hingga 4 jilid yang berisi pentingnya seorang pejabat
publik melakukan perenungan diri supaya dalam memerintah ia memiliki ketenangan
batin, dan berjiwa pengorbanan.
E. Aliran Stoa / Stoisisme
Stoikisme atau Stoa (bahasa Yunani: Στοά) didirikan di Athena oleh Zeno dari Citium (Zeno lahir di Kiton tahun 340 SM dan wafat di
Athena 264 SM) ---Ada yang mencatat
Stoikisme baru resmi tahun 108 SM). Zeno seorang
saudagar yang berhenti berniaga kemudian mendalami filsafat di Kynia dan
Megaria kemudian belajar di akademi dibawah pimpinan Xenokrates, murid Platon. Di kemudian hari, Zeno mendirikan sekolah sendiri dan karena
bertempat di suatu ruang dipenuhi ukiran lalu dinamakan Stoa (menunjukkan serambi bertiang tempat
Zeno memberi pelajaran atau ruang dalam bahasa Greek adalah stoa).
Bagi para filsuf Stoa, dalil-dalil mengenai
akal punya kekuatan universal serta mengikat semua manusia di mana saja. Manusia diberkahi akal sehingga terlepas dari
ras dan kebangsaan, perbedaan antara negara kota Yunani dan negara orang Barbar
hidup sederajat tidak dapat
diterima. Inti
ajaran stoa dalam memandang dunia; bagaimana memahami apa yang menjadi penyusun
kebaikan dan apa yang paling sesuai dalam kehidupan manusia. Pemikir Stoa
berpegang teguh pada kriteria bahwa yang hakiki harus baik di segala kondisi.
Tidak selamanya kekayaan itu baik, jika hal itu membuat dirinya atau orang lain
menjadi susah atau rusak. Bahkan kesehatan yang berjalan kearah kekuatan
dianggap tidak baik, jika membahayakan diri sendiri juga orang lain dan
satu-satunya kebaikan yang tidak memiliki cacat adalah kebajikan.
Menurut Stoisme,
jagat raya ditentukan oleh suatu kuasa yang disebut logos (rasio), berdasarkan
rasio manusia bisa mengenal orde universal dalam jagat raya. Istilah Logos dipakai kaum Stoa menjadi dasar
keyakinan. Logos diterjemahkan artinya menjadi rasional agar manusia hidup
sesuai dengan alam dan cara pandang biologis. Menurut Stoa, seluruh makhluk
yang berjiwa pasti berjuang mencari keabadian.
Pencarian keabadian mengarahkan
dirinya untuk senada dengan irama alam yang cocok dengan dirinya. Manusia
mengikuti akal sehat tidak hanya sekedar mencari makan, kehangatan, atau tempat
berteduh, tetapi juga pemenuhan kebutuhan intelektual. Akal sehat mengarahkan manusia untuk memilih
apa yang sesuai dengan keselarasan alami dengan tingkat akurasi yang lebih baik
dibanding hanya mengikuti insting kebinatangan.
Setelah Zeno, orang paling berjasa mempertahankan sekolah
Stoa adalah Cleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli. Cleanthes menyumbang gagasan tentang hubungan etika dengan iman atau teologi sedang Chrysippus menuliskan 705 buku
(90% ) literatur sebagai doktrin Stoikisme, yaitu telaah tentang perbintangan astronomi. Ajaran sekolah Stoa pijakannya meliputi perkembangan logika
(terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan (politik). Pandangan mencolok etika tentang bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan
menekankan apatheia, hidup pasrah atau tawakal menerima keadaan di dunia sebagai cerminan dari kemampuan
nalar manusia.
1.
Logika
Logika kaum Stoa
bermaksud memperoleh kriterium tentang kebenaran. Mereka mempergunakan juga
teori reproduksi dari demokritos. Apa yang dipikirkan tak lain dari yag telah
diketahui dengan pemandangan. Menurut kaum Stoa, ucapan Aristoteles adalah
suatu dalil yang belum dinyatakan kebenarannya. Suatu Petitio Principil, yaitu menerima
sesuatunya sebelum diterangkan. Kriterium bagi suatu kebenaran terletak pada
evidensinya, kenyataannya bahwa si pemandang terletak pada pikiran. Buah
pikiran benar, apabila pemandangan itu tepat, yaitu memaksa kita membenarkannya.
Pemandangan yang benar ialah suatu pemandangan yang menggambarkan barang yang
dipandang dengan terang dan tajam, sehingga orang yang memandang itu terpaksa
membenarkan dan menerima isinya. Kaum Stoa bertentangan pendapatnya dengan Plato dan
Aristoteles, misalnya ajaran tentang
idea. Pengertian Umum seperti; perkumpulan, kampung, binatang dan lain
sebagainya adalah suatu realita, benar adanya. Menurut kaum Stoa, pengertian
umum tersebut tidak ada relitanya, semua itu hanya cetakan pikiran yang
subyektif untuk mudah menggolongkan barang–barang yang nyata. Hanya barang–barang
yang kelihatan yang mempunyai realita, nyata adanya. Orang laki–laki, orang
perempuan, kuda putih, kucing hitam adalah suatu realita sedang kumpulan jenis
bukan suatu realita. Pendapat kaum Stoa
kemudian disebut dalam filsafat pendapat nasionalisme sebagai lawan dari
realisme.
2.
Fisika
Dalam aliran Stoa,
masalah fisika tidak saja memberi pelajaran tentang alam tetapi juga
meliputi teologi. Alam mempunyai
dua dasar yaitu yang bekerja dan yang dikerjakan. Yang bekerja ialah Tuhan dan yang dikerjakan
ialah materi. Menurut kaum Stoa,
alam semesta ini ditentukan oleh suatu kuasa yang disebut Logos (pikiran
semesta). Oleh sebab itu, semua kejadian tunduk kepada hukum alam yang
berjalan. Manusia tidak dapat mengelak. Manusia itu, jiwa atau rasio manusia
bisa mengenali hukum alam. Manusia akan hidup bijaksana dan bahagia bila ia
bertindak sesuai dengan rasionya. Jika memang demikian ia akan menguasai
nafsu-nafsunya dan dapat mengendalikan diri secara sempurna untuk menyesuaikan
hukum-hukum alam. Semua yang terjadi dalam
dunia ini berlaku menurut hukum alam dan rasio, adanya Tuhan untuk keselamatan
manusia, maka kaum Stoa mempunyai pandangan hidup yang optimis. Semuanya
terjadi menurut kemestian dalam edaran yang tetap, terima itu dengan sabar dan
gembira.
3.
Etika
Etika menurut kaum
Stoa adalah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup tepat, kemudian
melaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Pelaksanaan yang tepat dari
dasar-dasar itu merupakan jalan untuk mengatasi segala kesulitan dan memperoleh
kesenangan dalam penghidupan. Mazhab Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup yang
tertinggi ialah memperoleh harta yang terbesar nilainya, yaitu kesenangan
hidup. Kemerdekaan moral seseorang adalah dasar segala etik kaum Stoa.
Kemerdekaan moral seseorang adalah dasar segala etik pada
kaum Stoa. Kaum Stoa mengatakan, bahwa
moral itu baru sempurna kalau sesuai dengan kesenangan masyarakat. Sesuai
dengan itu mereka berpendapat, bahwa persekutuan sosial manusia, yaitu negara,
adalah syarat pertama untuk melaksanakan budi yang terutama, yaitu keadilan.
Tugas utama dari keadilan ialah menyempurnakan pergaulan manuisa. Pada tingkat
itu terdapat lagi budi yang pokok, yaitu menyesuaikan saya dengan semuanya
dengan sempurna. Siapa yang melaksanakan keadilan melenyapkan sekaligus
pertentangan antara keperluan diri sendiri dan keperluan umum.
F. Etika Katekontik
Ajaran Stoa yang paling menonjol
adalah bagaimana manusia bertindak menurut keteraturan hukum alam yang
diselenggarakan yang Ilahi. Cleanthes menulis beberapa versi dalam ekspresi
gamblang sebuah daya tarik elemen yang didesakkan oleh imannya; Lead me, O Zeus, and lead me thou, O Fate, Unto that place where you have stationed me:
I shall not flinch, but follow: and if become Wicked I should refuse, I still
must follow Terjemahan bebas: Bimbing aku, oh Zeus, bimbing aku, wahai
penciptaku Hingga di tempat di mana Engkau akan menghantarku Aku tidak akan
lari darimu, namun mengikutimu, dan seandainya hatiku berontak, Aku tetap akan
ikut dikau.
Etika Stoikisme berpijak pada prinsip
bahwa hanya kebajikan (virtue) yang utama (baik) dan selain hal tersebut dinilai buruk. Hal-hal lain sifatnya
netral (indifferent atau adiaphora), walaupun beberapa di antaranya, misalnya kesehatan, kemakmuran, kehormatan secara alamiah dianjurkan sedang
yang berseberangan dari itu tidak dianjurkan. Misalnya, kepemilikan pribadi tidak
dianjurkan karena tidak selaras dengan prinsip manusia yang ingin bahagia. Jika
manusia tidak sadar terhadap godaan hal-hal yang netral, ia dapat terjebak pada tindakan
menghalalkan cara untuk mencapai hal-hal yang netral atau tidak bahagia ketika
diperalat hal-hal yang netral itu. Misalnya, seorang yang mengejar harta benda terus menerus
sesungguhnya ia tak lagi bahagia, karena dirinya dikuasai hal-hal yang seharusnya
tidak merintanginya untuk berbahagia. Pertarungan paling
sengit adalah mengenai kebijaksanaan dan pengendalian diri manusia melawan
kesenangan pribadi.
Selain menolak pengaruh hal-hal yang bersifat eksternal
(kekayaan, kesehatan, reputasi), Stoa juga menolak pengaruh hal-hal yang tidak sesuai nalar, misalnya takut kematian, takut Dewa atau Tuhan dan
peristiwa-peristiwa buruk yang akan mengganggu kebahagiaan. Caranya adalah, bukan
memutus hubungan terhadap hal-hal yang menakutkan melainkan meluruskan nalar kita supaya tidak
dikendalikan oleh emosi-emosi yang muncul dari hal-hal tersebut. Dengan memperbaiki
nalar, kita mampu mengendalikan perilaku kita dalam menghadapinya. Ketakutan
ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak kita harapkan sebenarnya lebih
besar daripada akibat-akibat menakutkan yang akan ditimbulkan
peristiwa-peristiwa itu sendiri. Cleanthes dari Assos mengatakan bahwa sikap hidup menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi yang
tampak dalam keteraturan alam disebut etika katekontik. Dalam Stoa mula-mula, ajaran Stoa
selalu melibatkan peran dewa-dewa dalam miologi Yunani Kuno. Demikian para
pemikir etika Kristen yang dipengaruhi filsafat Stoa juga selalu melibatkan Allah dalam konstruksi etikanya.
Para Stoik menganggap manusia adalah binatang
bernalar, nalar (reason) didapat dari Yang Ilahi dan dengan nalar
manusia menjadi elemen terpenting bagi Sang
Ilahi untuk menyelenggarakan keteraturan dunia. Namun, manusia bukan
satu-satunya elemen, ia hanya salah satu bagian dari semesta, ia hanya salah
satu organ saja. Eksistensi manusia selalu terkait dengan eksistensi pihak
lain, merusak tatanan semesta berarti merusak atau mengancam eksistensi manusia
itu sendiri. Seorang sophis adalah
orang yang hidupnya
selaras dengan ide-ide yang ia pelajari. Dalam hidup mencari
pemenuhan kebutuhan, tidak melupakan relasinya terhadap pihak lain---termasuk Yang Ilahi sebagai
penyelenggara tunggal dunia. Seorang sophis harus sadar bahwa ia
hanya bagian dari rangkaian tak terpisahkan dari keteraturan dunia, bahwa ia setara
posisinya dengan ciptaan lain dan kepentingan dirinya terintegrasi terhadap
kepentingan orang lain. Seorang sophis, yaitu orang yang
memiliki "kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan mengalami
emosi yang merusak
kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan dan sedih berlebihan. Seorang Stoik, seperti
kata Epictetus tidak banyak bicara tentang ide-ide besar melainkan bertindak
selaras dengan yang dipikirkan. Stoikisme adalah cara
hidup yang menekankan dimensi internal manusia, seorang Stoik dapat hidup
bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya.
Di mata kaum Stoa, Logos
Universal (Sang Ilahi) adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional,
senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat
kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah ilahi atau Logos. Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai manusia dengan
hukum alam (hukum sebab akibat) dari Alam Semesta. Perspektif kosmik (kesadaran akan alam) harusnya membayangi
kehidupan pribadi, walau tidak menggantikannya secara keseluruhan. Rasio atau
nalar manusia harus terintegrasi terhadap penyelenggaraan kosmis Ilahi. Jika seseorang bertindak selaras (katekontik)
sebagai tindakan yang sejati (katorthomata) sebagai tindakan yang tepat,
ia akan merasa bahagia, merdeka, bertindak secara tepat dalam kebaikan, dan
hidup dalam harmoni yang sempurna.
G. Tokoh-tokoh Stoikisme
Stoikisme merupakan aliran filsafat
yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam aliran filsafat Yunani Kuno
karena relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem pemerintahan saat itu. Semenjak Zeno dari Citium mendirikan sekolah Stoa atau
Stoikismenya, muncul beberapa filsuf lainnya yang menjadi tokoh Stoa, misalnya Chrisippus dari Soli, Cleanthes dari
Assos, Seneca Muda, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Dan menurut Kamus Filsafat Cambridge, tokoh dan pandangan Stoa dibagi menjadi tiga:
1.
Stoa Awal, terdiri dari Zeno
(334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).
2. Stoa Perantara (Middle
Stoicsm), dikembangkan oleh Panaetius (185-110 SM) dan Posidonius (135-50 SM) dari Rhodes, yang
mempengaruhi Cicero (106 SM -43 M).
3.
Stoa Akhir Stoa Romawi (Roman
Stoicsm) terdapat Cicero (106 SM -43 M), Seneca Muda (1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M).
Sebagai catatan: tahun-tahun hidup dari tokoh Stoa tidak
sama dalam beberapa buku, misalnya dalam
buku the Stoics masa hidup Cleanthes (303-233SM),
Epictetus (60-117M), dan Seneca Muda (4SM-65M). Rupanya Zeno muda telah
terinspirasi oleh ajaran etika Socrates, khususnya keberanian Socrates dalam menempuh jalan kematian
dengan sukarela. Tindakan ini seolah menjadi gambaran ajaran Stoa dalam etika,
bahwa seseorang tidak perlu terbawa emosi negatif (pathos), takut misalnya,
namun bahagia dengan kemerdekaan penuh, termasuk menerima cara kematian.
H.
Daftar Pustaka
Hanafi, Ahmad ,M.A, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang: Jakarta,1990
Van Peursen, Cornelis, Orientasi di Alam Filsafat, PT Gramedia: Jakarta,1988
Bertens,K,
Sejarah Filsafat, Kanisius:
Yogyakarta, 2006
Yuana,
Kumara Ari, The Greatest Philosophers-
100 Tokoh Filsafat Baru dari Abad 6 SM- Abad 21 yang Menginspirasi
Dunia Bisnis, Andi:Yogyakarta, 2010
Alcapone, 19 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar