Waktu, keabadian Melihat keduanya sebagai pertentangan Adalah kenakalan manusia” --- The Book of Angelius Silesius
A. Mengenal Al-Farabi
Al-FarabiatauAbu Nashr
Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi dikalanganlatin dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Nama
Al-Farabi diambil dari nama kota Farab---sebuah kota yang mayoritas mengikuti
mazhab Syafi’iyah. dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi
Transoxiana, Turkestan) tahun 257 H (890M). Mendapat sebutan orang Turki sebab
ayahnya orang Iran menikah dengan wanita
Turki. Ayahnya---keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya
menunjukkan nama Turki)---opsir tentara Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah
Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah.Al-Farabi menguasai 70 jenis bahasa dunia adalah;
fisikawan, kimiawan, filsuf, ahli ilmu logika, ilmu jiwa, metafisika, politik,
musik, dll. Di Baghdad selama 20 tahun memperdalam filsafat, logika,
matematika, etika, ilmu politik, musik kemudian pindah ke Harran (Iran)
mempelajari filsafat Yunani kepada beberapa ahli diantaranya Yuhana bin Hailan.
Al-Farabi pindah ke Bukharauntuk studi fiqh---Bukhara merupakan ibu kota dan
pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad
(874-892) menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa ini Al-Farabi
mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia serta pertama
kali belajar musik---Kepakaran Al-Farabi di musik dibuktikan dengan karyanya
Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim,
Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936M.
Setelah melepas jabatan qadhinya
Al-Farabi berangkat ke Merv mendalami logika Aristotelian dan filsafat kepada
Yuhanna ibn Hailan.Di bawah bimbingannya, Al-Farabi membaca teks-teks dasar
logika Aristotelian---termasuk Analitica
Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim sebelumnya.Dari Merv
kemudian ke Bagdad sekitar tahun 900M.
Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932M), bersama gurunya di
Konstantinopel memperdalam filsafat---sempat singgah beberapa waktu lamanya di
Harran menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian dan bergabung menjadi
murid sebelum kembali ke Bagdad.Karena
situasi politik Bagdad yang memburuk pada akhir tahun 942 ia pindah ke Damaskus
sebelum ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949M.
Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua Al-Farabi mendapat perlindungan dari
putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah karena kemampuannya dalam
bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.
Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan
sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya
sampai meninggal dunia pada bulan Rajab 339 H/Desember 950M pada usia 80 tahun
dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.
Al-Farabi menghabiskan masa
kanak-kanak dan pendidikan dasarnya di Farab kemudian melanjutkan pendidikannya di Bukhara dan pendidikan tinggi di Baghdad. Di Baghdad,
mempelajari bahasa Arab,Yunani, belajar tata bahasa Arab dari ahli tata bahasa
dan linguistik, Abu Bakar ibn Saraj. Ia kemudian tertarik mempelajari filsafat
kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Al-Farabi mempelajari filsafat Aristoteles dan logika di bawah bimbingan
filsuf terkenal, Abu Bishr Matta ibn Yunus. Komponen filsafat Platonik dan
Aristotelian, ia padukan dengan ajaran dari al-Qur'an dan al-Hadits.
Selain musik dan filsafat, Al-Farabi juga mempelajari aritmatika, fisika,
kimia, medis, dan astronomi. Ketika
kecil, beliau dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas, belajar
agama, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Parsi juga mempelajari Al Qur'an, tata bahasa,
kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqih, tafsir, dan ilmu hadits) dan aritmatika
dasar.Kurang
puas dengan pendidikan di kota kelahirannya, Al-Farabi pindah ke
Baghdad saat itu merupakan pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban dan bertemu orang-orang terkenal dari beragam
disiplin ilmu pengetahuan. Belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr
al-Sarraj; belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen
Nestorian) yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani dan Yuhana bin Hailam
(seorang filsuf Kristen).
Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab,
yang penduduknya bermazhab Syafii. Untuk memulai karir pengetahuannya, dia berhijrah
dari negrinya ke Bagdad---kota Harran yang terletak di Utara Syria---pada tahun
922 M waktu itu sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar
disana kurang lebih 10 tahun.Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan
ilmuwan. Di Baghdad, berguru kepada Ibnu Suraj belajar tata bahasa Arab dan
kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus belajar filsafat dan logika. Beliau juga
belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang
banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan atau Yuhanna bin
Jilad.---saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil---sekaligus
mengajak Al-Farabi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna
mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al-Farabi mencurahkan diri
dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.
Al-Farabi banyak memberikan sumbangsih
dalam penempaan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab meskipun
menyadari perbedaan antara tata bahasa Arab dan Yunani.Menurut Ibn Abi
Usaibi'ah di Damaskus Al-Farabi membawa manuskripnya Al-Madinah Al-Fadhilah yang mulai ditulis di Baghdad dan selesai
tahun 942/3 M di Damaskus. Al-Farabi melakukan perjalanan ke Mesir saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Menurut
Ibn Khallikan, di Mesir Al-Farabi menyelesaikan SiayasahAl-Madaniyyah yang mulai ditulis di Baghdad. Setelah
meninggalkan Mesir, Al-Farabi bergabung dengan
filosof, penyair, dan sebagainya yang berada di sekitar Pangeran
Hamdaniyyah Said Al-Daulah. Sebelum menetap di Baghdad, Al-Farabi telah
berkeliling ke berbagai daerah seperti Iran, Mesir, dan India. Setelah 40 tahun
lebih berada di Baghdad, Al-Farabi meninggalkan kota itu dan tinggal di
Turkistan. Di sini ia menghasilkan karya terkenal at-Ta'lim ats-Tsani. Karena itulah ia mendapat julukan sebagai
“mu'allim ats-tsani” dari Timur (guru kedua dari Timur). Al-Farabi kemudian
menuju ke Syria, kemudian ke Mesir. Namun ia lalu kembali ke Syria dan bermukim
di Allepo.
C. Filsafat Al Farabi
Al-Farabi sebagai filsuf besar memiliki
keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara menyeluruh
dan mengupasnya dengan sempurna, Al-Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian
jiwa sebagai syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya.Al-Farabi
mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles sebagai ‘kesempurnaan awal
bagi fisik yang bersifat; alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang
energik’.Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik---manusia menjadi
sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak.Makna ‘mekanistik’ bahwa badan
menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat yaitu anggota tubuh yang
beragam.Sedang makna ‘memiliki kehidupan energik’ bahwa di dalam diri
terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
Al-Farabi
filsuf Islam pertama menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin
menyelaraskan filsafat Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya
bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.Beliau berhasil menyusun
sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan.Posisinya mirip dengan Plotinus
(204-270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia barat.Jika orang
Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yunani (guru besar dari Yunani) maka
mereka menyebut Al-Farabi sebagai al-Mu'allim al-Tsani (guru kedua). 'Guru
pertama' disandang Aristoteles. Julukan 'guru kedua' diberikan pada Al-Farabi
karena beliau adalah filsuf muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri
kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato
(guru Aristoteles).
Menurut
filsuf Majid Fakhry, Al-Farabi dikelompokkan sebagai neoplatonis karena membuat
sintesa pemikiran Plato dan Aristotelesmelalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’. Menurut Majid, untuk memahami pemikiran kedua filsuf
Yunani tersebut Al-Farabi harus membaca karya-karya Plato dan Aristoteles
berulang kali. Misalnya, Al-Farabi membaca On the Soul 200 kali dan Physics 40
kali. Tak heran jika ia mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan Aristoteles
dan Plato dalam sejumlah hal, seperti tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh,
maupun siksa dan pahala di akhirat. Al-Farabi tak hanya mampu memahami
pemikiran Plato dan Arsitoteles ia juga
menuangkan pemikiran filsafatnya ke dalam kitab Fushush al-Hikam dan kitab al-Ihsha`
al-'Ulum. Kitab Fushush al-Hikam karya monumentalnya sebagai buku
teks filsafat di berbagai institusi pendidikan sedang kitab al-Ihsha` al-'Ulum
menjabarkan klasifikasi dan prinsip dasar sains secara unik dan cerdas. Karena
itu tak heran jika pemikiran Al-Farabi banyak mempengaruhi para pemikir sesudahnya
seperti Ibnu Sina yang terpengaruh pemikiran metafisik Al-Farabi termasuk
Abu Sulaiman as-Sijistani, Abu'l-Hasan Muhammad ibn Yusuf al-'Amiri, dan Abu
Hayyan al-Tauhidi.
Dibidang
filsafat, Al-Farabi
tergolong ke dalam kelompok filsuf kemanusiaan karena mementingkan soal–soal
kemanusiaan seperti akhlak
(etika), kehidupan intelektual, politik, dan seni.Berfilsafat adalah
memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah
sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ filsafat adalah ilmu satu-satunya yang
menghamparkan di depan kita gambaran lengkap mengenai cakrawala dengan segala
cosmosnya. Tujuan terpenting mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan bahwa
Ia Esa dan tidak bergerak, Ia menjadi
sebab yang aktif bagi semua yang ada, Ia yang mengatur alam ini dengan
kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.
Al-Farabi mendefinisikan filsafat Al
Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat; suatu ilmu yang menyelidiki
hakikat sebenarnya dari segala yang ada. Bagi Al-Farabi tujuan filsafat dan
agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai
dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama
memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan
ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.
Sebagai
campuran filsafat Aristoteles
dan Neo–Platonisme
dengan pikiran keislaman aliran
Syiah Imamiah
Al-Farabi meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam bahwa tidak ada
pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles,---kelihatan bertentangan tetapi
hakikatnya bersatu dalam tujuannya. Bahkan para
nabi / rasul maupun para flusuf menurut Al-Farabi sama–sama dapat berkomunikasi
dengan akal Fa’’al, yakni akal ke sepuluh (malaikat).Perbedaannya,
komunikasi nabi
/ rasul dengan akal
kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al-mutakhayyilah) yang sangat
kuat, sedang para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal
Mustafad---akal dengan kesanggupan menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang
ada diluar diri manusia.
D. Teori Emanasi
Di antara
pemikiran filsafat Al-Farabi yang
terkenal adalah penjelasannya tentang emanasi(al-faid)suatuteori tentang proses urut–urutan
kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al wujud
(Tuhan). Menurutnya, Tuhan
adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu menurut
Al-Farabi keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi
dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya. Ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud
semua yang diketahui-Nya.Bagaimana emanasi itu terjadi?Al-Farabi mengatakan
bahwa Tuhan itu benar – benar Esa karena
itu, yang keluar dari pada–Nya juga satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat
Tuhan itu terbilang berarti zat Tuhan juga terbilang.Dasar adanya emanasi
karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul
dari Tuhan terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.Teori ini menempati bagian
penting dalam filsafat muslim yang menerangkan dua dunia--langit dan
bumi---menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan
astronomi. Bidang utama garapannya memecahkan masalah yang Esa dan yang banyak
dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap.Al-Farabi berpendapat bahwa
yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendiriNya. Karena itu, Iatidak
memerlukan yang lain bagi adaNya atau keperluanNya. Ia mampu mengetahui diriNya
sendiri.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya,
dan dari pemikiran ini muncul ‘akal-akal’ lain yang terjadi secara serentak---bukan
proses yang lama tapi proses serentak---menjadi
serentetan akal-akal lainnya. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, kemudian timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan Wujud Pertama (الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud
Kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai
subtansi. Ia disebut Akal Pertama atau First Intelligence (العقلالأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud
Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama dan dari pemikiran ini timbul Wujud Ketiga
(الوجودالثالث) disebut Akal Kedua
atau Second Intellegence (العقلالثانى).
Wujud
II/Akal I ----- Tuhan = Wujud III / Akal II
-----
dirinya = Langit Pertama
Wujud
III/Akal II ----- Tuhan = Wujud IV / Akal Ketiga
-----
dirinya = bintang-bintang
Wujud
IV/Akal III ----- Tuhan = Wujud V / Akal Keempat
----- dirinya = saturnus
Wujud
V/Akal IV ----- Tuhan = Wujud VI / Akal Kelima
-----
dirinya = jupiter
Wujud
VI/Akal V ----- Tuhan = Wujud VII / Akal Keenam
----- dirinya = mars
Wujud
VII/Akal VI ----- Tuhan = Wujud VIII / Akal Ketujuh
----- dirinya = matahari
Wujud
VIII/Akal VII ----- Tuhan = Wujud IX / Akal Kedelapan
----- dirinya = venus
Wujud
IX/Akal VIII ----- Tuhan = Wujud X / Akal Kesembilan
----- dirinya = mercury
Wujud
X/Akal IX ----- Tuhan = Wujud XI / Akal Kesepuluh
----- dirinya = bulan
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal
Kesepuluh---Al-Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) dan dinamakan Al-Aqlul Fa’al (akal
yang aktif bekerja) atau Active Intellect---berhenti terjadinya atau timbulnya
akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh (Tuhan) muncullah (dirinya); bumi serta
roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur; api, udara,
air dan tanah. Jiwa manusia sebagaimana
halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh---Aristoteles juga
berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu : gerak, makan nutrisi,
memelihara, berkembang, mengetahui, merasa, imajinasi, berpikir, akal praktis,
akal teoritis (theoritical intllect).Jumlah inteligensi adalah sepuluh terdiri
atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan lingkungan.Melalui
ajaran sepuluh inteligensi ini, Al-Farabi memecahkan masalah gerak dan
perubahan.Ia menggunakan teori ini memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak,
dan memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.
Al-Farabi
menggunakan proses konseptual yang disebutnya nazhariyyah al-faidh (teori
emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik.
Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa
(Tuhan), yaitu keluarnya al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wajib al-Wujud
(Tuhan).Proses emanasi (pancaran) melalui tafakur (berpikir) Tuhan tentang
diri-Nya sehingga Wajib al-Wujud diartikan 'Tuhan yang berpikir'. Tuhan
senantiasa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek
pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan pada Tuhan:
1.
al-'Aql
(akal) >> sebagai zat atau hakikat dari akal-akal
2.
al-'Aqil
(yang berakal) >> sebagai subyek lahirnya akal-akal
3.
al-Ma'qul
(yang menjadi sasaran akal) >> sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal.
Al Farabi membagi wujud-wujud ke dalam
2 kategori;pertamaesensinya tidak
berfisik baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal
Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi) kedua; esensinya berfisik yaitu
benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur
yang empat: api, udara, air, tanah. Selanjutnya, Al-Farabi mengelompokkan akal
menjadi dua;Pertama Akal Praktis;
apa yang mesti di kerjakan dan Kedua Akal
Teoritis; membantu menyempurnakan jiwa. Akal Teoritis terdiri atas;(a) Akal
Fisik (material) atau di sebut sebagai Akal Potensial, adalah jiwa atau bagian
jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi pada
setiap hal yang ada tanpa disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual),
merupakan rasionalisasi dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi
maka dengan begitu seseorang kemudian akan mencari objek untuk membuktikan
fisik tersebut karena akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika
disandarkan pada objek rasio yang terpikirkan sedang objek rasio yang belum
terpikirkan adalah potensi. (b)Akal Diperoleh
(acquired) yaitu ketika Akal Aktual
menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan menjadi manusia sejati dengan
mengunakan realisasi akal yang telah dikembangkan.
E. Teori Pengetahuan
Al-Farabi berpendapat bahwa jendela
pengetahuan adalah indera, pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui
indera.Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial
atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang
parsial.Jiwa mengetahui dengan daya dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan
jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.Tetapi penginderaan inderawi
tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu melainkan
hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Pengetahuan universal dan esensi
segala sesuatu hanya diperoleh melalui
akal.Manusia memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk Pengetahuan Terpahami (ma’qulat) atau universal-universal.Potensi
ini menjadi aktual jika disinari oleh Akal
Aktif.Pencerahan oleh Akal Aktif memungkinkan transformasi serempak Akal
potensial dan obyek potensial ke
dalam aktualitasnya.Hubungan antara Akal Potensial dengan Akal Aktif seperti
mata dengan matahari. Mata hanya kemampuan potensial untuk melihat
selama dalam kegelapan lalu menjadi aktual ketika menerima sinar matahari.
Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan
matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.Di samping itu, pengetahuan
manusia memilikiPengetahuan Primer
yang kebenarannya tidak membutuhkan penalaran---misalnya tiga adalah angka ganjil atau bahwa
keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
Akal Potensial yang sudah disinari akan
berubah menjadi bentuk yang sama dengan Pengetahuan Primer yang diterimanya
sebagai bentuk tersebut---proses ini digambarkan Al-Farabi seperti sepotong benda di lilin
cair, benda tersebut tidak hanya tercetak di lilin, tapi juga merubah lilin
cair menjadi sebuah citra utuh benda
tersebut sehingga menjadi satu. Perolehan
aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak
hanya berkaitan dengan Pengetahuan Primer tapi juga dengan Pengetahuan
Terpahami. Pada tahap ini, Akal Aktual merefleksikan dirinya sendiri.Kandungan
akal aktual adalah pengetahuan murni. Akal aktual dapat mengetahui dirinya sendiri
karena ia merupakan akal sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika akal aktual
sampai pada tahap ini, ia menjadi Pengetahuan
Perolehan (al-aql al-mustafad atau acquired intelect). Pengetahuan
Perolehan merujuk pada Akal Aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan
diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses
pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Pengetahuan
Perolehan bentuk pengetahuan manusia paling tinggi. Pengetahuan Perolehan yang
paling mirip dengan akal Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Pengetahuan
Perolehan tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan
kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.
F. Karya Al-Farabi
Sebagian besar karya Al-Farabi dipusatkan
pada studi tentang logika.Al-Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya
member aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar
dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari
kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah
dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu
mantra dengan syair.Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan
menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana
dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.
Karya Al-Farabi al-Ibanah 'an Ghardh Aristhu fi Kitab Ma Ba'da al-Thabi'ah
(Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika) membantu filsuf
sesudahnya memahami pemikiran filsafat Yunani---Konon Ibnu Sina (filsuf besar
sesudah Al-Farabi) membaca 40 kali buku metafisika Aristoteles, bahkan
menghapalnya, tapi diakui belum juga
mengerti baru setelah membaca kitab karya Al -Farabi yang menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles,
Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik Aristoteles. Al-Farabi
juga menghasilkan karya terkenal Ara` Ahl
al-Madinah al-Fadhilah (Model Kota Idaman) tentang negara ideal bagi
Muslim; mampu menyediakan kebutuhan warganya, membantu warga menjalankan ajaran
agama dengan baik, pemimpin ideal bagi negara Muslim adalah raja yang memiliki
pengetahuan tentang filsafat dengan kata lain, seorang pemimpin harus memiliki
kecerdasan tinggi, menguasai sains, filsafat, dan ilmu agama.Selain
dikenal sebagai seorang filsuf, Al-Farabi juga dikenal sebagai pakar musik.
Dialah penemu not musik. Temuan ini ia tulis dalam kitab al-Musiq al-Kabir (Buku Besar tentang Musik) membahas ilmu dasar
musik rujukan perkembangan musik klasik
Barat. Dalam karya fenomenal itu, Al-Farabi menulis bahwa musik dapat
menciptakan perasaan tenang dan nyaman.Musik mampu mempengaruhi moral,
mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit
seperti gangguan psikosomatik karena itu musik bisa menjadi alat terapisebab,
musik sesuatu yang muncul dari tabiat manusia dalam menangkap suara indah yang
ada di sekelilingnya.Al-Farabi piawai memainkan sejumlah alat musik. Ketika
memainkan alat musik, ia mampu membuat pendengarnya tertawa, bersedih, bahkan
tertidur. Kemampuan ini pernah ia tunjukkan di depan penguasa Syria, Safy
ad-Daulah, saat diundang ke istana menyaksikan pertunjukkan musik yang
dimainkan oleh para musisi istana. Di mata Al-Farabi, para musisi istana melakukan
kesalahan sehingga alunan musik kurang terdengar indah.Al-Farabi lalu meminta
izin kepada amir (penguasa) Syria untuk memainkan alat musik.Saat Al-Farabi
memainkannya, para hadirin tiba-tiba tertawa.Lalu Al-Farabi segera mengubah
komposisi musiknya sehingga membuat hadirin menangis.Ia kemudian mengubah
komposisinya lagi sehingga membuat hadirin tertidur.
Al-Farabi meninggalkan banyak karya
tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam bebrapa tema, seperti
logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan beberapa tulisan
yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof tertentu. Karya-karya Al-Farabi
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Risalah
Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)
2.
Risalah
fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang
Diajukan tentang-Nya)
3.
Syarh
Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)
4.
Syarh
Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles
tentang Langit dan Alam Raya)
5.
Al-Jami’u
Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails
(Pertemuan/Penggabungan Pendapat antara Plato dan Aristoteles)
6.
Tahsilu
as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
7.
Fushus
al Hikam (Permata Kebijaksanaan)
8.
Fususu
al Taram (Hakikat Kebenaran)
9.
Kitab
fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)
10.
As
Syiyasyah (Ilmu Politik)
11.
Kitab
al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)
12.
Ihsho’u
Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)
13.
Arroo’u
Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan).
Alcapone, Maret
2013
Disampaikan dalam Dialog Akhir
Bulan Maret 2013 Di Teras Ubermench Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar