“Apa
yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus membiarkannya dalam diam.”---Ludwig Wittgenstein
“Makna sebuah kata adalah penggunaannya
dalam kalimat; makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa; makna
bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan.” ---Ludwig Wittgenstein
A. Sejarah Hidup
Ludwig Josef Johann Wittgenstein, filosof
Inggris kelahiran Austria oleh banyak
kalangan dianggap filosof terbesar abad ke-20. Lahir di Vienna 1889 dari keluarga Yahudi Karl
Wittgenstein---pengusaha dan salah satu orang terkaya di Austria.[1] Karl
Wittgenstein dibesarkan sebagai seorang Protestan, dan istrinya, Leopoldine,
juga keluarga Yahudi, dibesarkan sebagai seorang Katolik. Banyak penulis, seniman, dan
intelektual terkenal—Karl Kraus, Gustav Klimt, Oskar Kokoschka, dan Sigmund
Freud—pengunjung rutin rumah Wittgenstein, dan pergelaran musik keluarga sering dihadiri antara lain oleh Johannes
Brahms, Gustav Mahler, and Bruno Walter.[2]
Setelah bersekolah di Linz dan Berlin, ia ke Inggris belajar teknik
mesin di Universitas Manchester. Minatnya pada matematika murni membawanya ke
Trinity College, Universitas Cambridge dan belajar sama Bertrand Russell. Wittgenstein
mendalami filsafat setelah membaca karya Russell The Principles of Mathematics.
Ia mulanya pergi ke Inggris untuk melanjutkan studi tentang teknik mesin
(engineering) yang telah ia mulai di Berlin, namun saat di Universitas
Manchester, menjadi tertarik pada fondasi filosofis matematika yang menjadi
dasar kerja profesionalnya. Ulasan buku tentang
gagasan-gagasan logis dan filosofis matematikawan Jerman Gottlob Frege
mendorongnya mengunjungi Frege di Jena.
Frege, saat itu berusia 63 tahun, sebaliknya menyarankan Wittgenstein kembali ke Inggris dan bekerja bersama
Russell di Cambridge. menuruti nasihat Frege, Wittgenstein menemui
Russell, dan dimulailah masa kerjasama pemikiran di antara keduanya.[3
Pada tahun 1918, Wittgenstein
merampungkan Tractatus Logico-Philosophicus atau Wittgenstein-I (1921; terj. 1922), sebuah
karya monumental yang memberikan
“pemecahan final” terhadap berbagai persoalan filsafat. Ia kemudian mundur dari
pergulatannya dengan filsafat, dan untuk beberapa tahun mengajar sebuah sekolah
dasar di sebuah desa di Austria. Pada 1929
kembali ke Cambridge untuk kembali bergelut dengan filsafat dan mengajar
di fakultas di Trinity College. Beberapa waktu kemudian ia menyangkal beberapa
kesimpulan yang ada dalam Tractatus dan mengembangkan pandangan baru yang
terangkum dalam Philosophical Investigations atau Wittgenstein-II (pub. posthumously 1953;
terj. 1953). Wittgenstein pensiun pada 1947, dan meninggal di Cambridge 29 April 1951.
B. Pengenalan
Aktfitas bahasa merupakan
ciri khas manusia yang dengan bahasa manusia dapat melaksanakan refleksi dan
kebebasannya (Chauchard, 1993:11). Bahkan Gadamer mengatakan bahasa merupakan
modus operandi dari cara manusia berada di dunia dan merupakan wujud yang
seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia (Sumaryono, 1993: 26).
Bahasa apapun ragamnya memainkan peran
sangat besar dalam kehidupan manusia. “Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam
kalimat; makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa; makna bahasa
adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan.” Bahasa bukan hanya dilihat berdasarkan strukturnya. Bahasa
adalah cerminan nilai-nilai masyarakatnya yang terpantul pada pelbagai tata
permainan bahasa yang mereka gunakan.
Makna, struktur gramatika atau sintaksis ---hal yang selama ini mungkin
kita “berhalakan”---hanya salah satu bentuk tata permainan bahasa dari pelbagai
tata permainan bahasa dalam kehidupan. Setiap
bahasa juga mempunyai cara tersendiri untuk merepresentasikan objek atau maksud
tertentu, terpancar melalui rangkaian
kata yang menjadi ayat dalam berbagai konteks kehidupan. Setiap konteks penggunaan
bahasa, memiliki peraturan tersendiri kerana
aturan penggunaannya menentukan dan menyingkapkan makna bahasa.
Cara berpikir dan bertindak
sebuah masyarakat dapat dikenali lewat bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi, karena melalui bahasa kita dapat memperoleh bukti bagaimana
sebenarnya sistem konsep yang dimiliki bahasa yang berkaitan. Sistem konsep
tersebut menuntun penuturnya dalam berfikir dan berbahasa serta merumuskan
realitas kehidupan yang dapat berwujud simbol-simbol dan kategori gramatikal
yang berbeda (Alwy Rahman, 1995:1). Penggunaan bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia yang dilihat melalui pilihan leksikal dalam berinteraksi dan
berkomunikasi, dapat menimbulkan kesalahfahaman dan bahkan kesan “lucu” sebab
suatu konsep dan objek yang sama dimanifestasikan dengan penggunaan leksikal
yang berbeda. Hal ini merupakan fakta bahwa bahasa berkait erat dengan aktiviti
dinamik kekreatifan permainan bahasa yang seterusnya mencerminkan suasana
sosial budaya masyarakat yang berkaitan.
Analisa bahasa sebagai suatu metode
filsafat dianggap telah ada sejak Yunani Kuno. Beberapa dialog Plato, berkenaan
dengan penjelasan atas istilah-istilah dan konsep-konsep. Namun, gaya
berfilsafat ini mendapat penekanan yang baru pada abad ke-20. Dipengaruhi
tradisi empirisisme Inggris awal—John Locke, George Berkeley, David Hume, dan
John Stuart Mill—dan tulisan-tulisan matematikawan dan filosof Jerman Gottlob
Frege terutama “On Sense and Reference” (“Über Sinn und Bedeutung” 1892 and
“Thoughts”) “Gedanken” 1918]). Filosof
Inggris G. E. Moore dan Bertrand Russell menjadi pendiri aliran pemikiran
filsafat analitik. Saat masih di Universitas Cambridge, Moore dan Russell
menolak idealisme Hegelian, terutama
dijelaskan oleh metafisikawan
Inggris F. H. Bradley, bahwa tidak ada yang sepenuhnya riil kecuali
Yang-Absolut. Dalam perlawanan mereka terhadap idealisme dan dalam keyakinan
mereka bahwa perhatian yang cermat pada bahasa sangat penting dalam
penyelidikan filosofis, mereka membentuk gaya dan mood baru dalam berfilsafat
di dunia berbahasa Inggris pada abad ke-20.[4]
Perkembangan filsafat analitis
dilatarbelakangi kekacauan bahasa
filsafat. Banyak teori serta konsep filsafat dipaparkan dengan bahasa yang
membingungkan, bahkan semakin jauh dari bahasa sehari-hari (Bakker, 1984: 122).
Filsafat dipandang sebagai ilmu yang sulit, membingungkan, dan kurang jelasnya
makna diungkap, sehingga banyak orang mangalami kesulitan mempelajari. Persoalan
tersebut jika terus berlangsung maka ilmu filsafat akan tersingkir dari khasanah
kajian ilmiah. Mengatasi kekacauan bahasa filsafat tersebut, tampillah G.E
Moore, mengembangkan tradisi analitika
bahasa sebagai reaksi terhadap aliran idealisme yang berkembang di inggris saat
itu, melalui karyanya Principia Ethica
(Moore, 1954). Filsafat analitik
didefinisikan kurang lebih sebagai serangkaian pendekatan terhadap
masalah-masalah filosofis yang menekankan studi bahasa dan analisa logis atas
konsep yang terungkapkan lewat bahasa.[5] Gerakan atau aliran dalam filsafat
ini memiliki beragam bentuk, antara lain analisa linguistik, empirisisme logis,
positivisme logis, analisis Cambridge, dan “Filsafat Oxford.” Meskipun tidak
ada doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran khusus yang diterima oleh gerakan
tersebut secara keseluruhan, para filosof analitik dan linguistik sepakat bahwa
aktivitas filsafat yang paling tepat adalah mengklarifikasi bahasa atau
mengklarifikasi konsep. Tujuan aktivitas ini adalah menyelesaikan berbagai
perselisihan filsafat dan memecahkan problem-problem filsafat yang dianggap
bersumber dari kekacauan penggunaan bahasa.[6]
C. Pemikiran Wittgenstein
Posisi Wittgenstein mendominasi sejarah
filsafat analitik abad ke-20 lewat dua karya besarnya (secara prinsip
bertentangan); Wittgenstein-I atau Tractatus Logico-Philosophicus (1921)
dan Wittgenstein-II atau Philosophical Investigations (1953). Wittgenstein-I jadi rujukan
analisis Cambridge pada tahun-tahun antara dua Perang Dunia dan sumber utama
Positivisme Logis Lingkaran Wina sedang Wittgenstein-II menjadi sumber
inspirasi utama bagi filsafat analitik yang berkembang seperempat abad setelah
akhir Perang Dunia II, berpusat di Oxford dan berpengaruh di wilayah-wilayah dunia
berbahasa Inggris.[7] Wittgenstein-I,
berupaya menentukan suatu bahasa ideal bagi filsafat didasarkan logika bahasa yang sempurna, bermakna univok, dan
terbatas (Wittgenstein, 1969: 7). Bermaksud mendapatkan bahasa yang seragam
(uniformity) dalam bidang filsafat, agar para filsuf terhindar dari kekacauan
bahasa. Mencoba menangkap dasar kesatuan melaui bahasa ideal, sehingga dasar
pemikiran lebih bersifat konseptual. Dalil bahwa ada paralelitas antara bahasa
dengan realitas, artinya bahasa dipandang sebagai gambar atau cermin realitas
(Pitcher, 1964: 78).
Dalam Wittgenstein-II berubah secara
radikal ketika pluriformitas lebih
menonjol dalam kehidupan konkrit. Univokalitas dalam Wittgenstein-I kemudian ditinggalkan,
sebab Wittgenstein-II lebih menekankan pada penggunaan bahasa sehari-hari.
Bahasa sehari-hari mengandung keberagaman yang membentuk permainan bahasa atau Language-Games
(Lyotard, 1989: 10; Charlesworth, 1959: 104). Pluriformitas merupakan
kenyataan konkrit yang tak terbantahkan dan begitu banyak permainan bahasa yang
berlangsung sesuai dengan aturan mainnya masing-masing. Peranan penting sebuah
aturan permainan tersebut dicontohkan dalam permainan catur (Wittgenstein,
1983: 12 dan 150). Wittgenstein II mencoba menangkap realitas sebagaimana
adanya, sehingga dasar pemkirannya lebih bersifat realistik.
Sebelumnya Wittgenstein mengatakan
bahwa bahasa yang memiliki makna hanyalah bahasa deskriptif, kini ia
menyangkalnya dengan mengajukan konsep "language game" (aturan atau
tata bahasa). Bahasa deskriptif menurutnya hanya salah satu bentuk saja dalam
keseluruhan penggunaan bahasa. Arti kata-kata hanya dapat dipahami dalam
kerangka acuan aturan bahasa yang digunakan. Satu kata yang sama bila digunakan
dalam tata bahasa dengan aturan pakai yang berbeda, akan mendapat arti yang
berbeda. Arti suatu kata selalu dapat
berubah, tergantung penggunaannya. Kata
“kiri” dapat merupakan “lawan dari kanan”, atau bisa berarti “paham beraliran
progresif”, atau juga bermakna “harap berhenti” alias “stop!” pengemudi
kendaraan. Dengan demikian, arti suatu
kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, karena ia tak dapat dilepaskan dari
tata aturan bahasa yang digunakan.
Suatu kata tidak harus menunjuk pada suatu obyek dan makna kata
tergantung dalam penggunaannya. Bahkan
suatu kata tetap memiliki arti walaupun tidak ada obyek yang ditunjuknya.
1.
Tractatus Logico-Philosophicus (Teori Gambar
atau Wittgenstein I)
Tractatus Logico-Philosophicus ditulis
saat menjadi tahanan perang selama Perang Dunia I dan terbit di Jerman 1921
sebagai Logisch-Philosophische Abhandlung.
Tractatus
Logico-Philosophicus disajikan dalam sistem notasi angka dengan
menunjukkan prioritas logis dari proposisi-proposisinya. Inti filsafatnya adalah
Picture Theory yang menguraikan logika bahasa.
Menurut Wittgenstein hakekat bahasa merupakan gambaran logis realitas
dunia (Wittgenstein, 1961:67) sedang hakekat
dunia merupakan keseluruhan fakta-fakta dan bukannya benda-benda
(Wittgenstein, 1961:31). Adapun fakta merupakan States of Affairs, yaitu suatu keberadaan peristiwa. Satuan bahasa
yang menggambarkan dunia merupakan suatu proposisi yang bersifat kompleks dan
tidak terbatas, tersusun atas proposisi yang paling kecil yang disebut elementer
atau proposisi Atomis---proposisi
atomis menggambarkan satu atas “nama-nama” yang merupakan unsur satuan logis sehingga
nama akan memiliki makna dalam hubungannya dengan proposisi. Totalitas dari proposisi adalah bahasa yang
menggambarkan realitas dunia. Gambaran
tersebut merupakan gambaran logis dan bentuk pictorial dari realitas yang diwakilinya (Ayer, 1986; 17) dan kesesuain antara proposisi dengan realitas
tersebut tidak hanya menyangkut hubungan pictorial saja, tetapi juga menyangkut
situasinya (Pitcher, 1964:77).
Sebuah gambaran logis tentang
kenyataan merupakan sebuah pikiran dan di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran
mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati dengan indra (Wittgenstein,
1961:3). Dengan demikian; sebuah proposisi menggambarkan sebuah fakta realitas
dunia empiris sedang proposisi yang
tidak menggambarkan realitas dunia empiris adalah proposisi yang tidak
bermakna---karena tidak mengungkapkan apa-apa.
Berdasarkan teori gambar tersebut,
maka ungkapan metafisis tidak
mengungkapkan realitas fakta sehingga tidak bermakna---ungkapan yang
berhubungan dengan Tuhan, estetika, dan etika bersifat “mistis”. Teori gambar dan logika bahasa digunakan
sebagai dasar prinsip verifikasi dalam ilmu pengetahuan yang sampai saat ini
masih besar pengaruhnya di seluruh dunia.
Dalam hubungan dengan metafisika, positivisme logis bersikap lebih
radikal dengan keinginan menghilangkan
metafisika. Secara keseluruhan,
ada 7 tesis utama yang dikemukakan Wittgenstein:
1.
Dunia
adalah segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the
case).[9]
2. Apa yang demikian adanya–suatu
fakta–adalah eksistensi duduk-perkara (What is the case–a fact–is the existence
of states of affairs).[10]
3. Suatu gambaran logis
fakta-fakta adalah suatu pemikiran (A logical picture of facts is a
thought).[11]
4. Suatu pemikiran
adalah suatu proposisi dengan pengertian (A thought is a proposition with a
sense).[12]
5. Suatu proposisi
adalah suatu fungsi-kebenaran dari proposisi-proposisi dasar (A proposition is
a truth-function of elementary propositions).[13]
6. Bentuk umum dari
suatu fungsi-kebenaran adalah [`p, `ξ, N(`ξ)].
Inilah bentuk umum dari suatu proposisi. (The general form of a truth-function
is [`p, `ξ, N(`ξ)]. This is the general
form of a proposition.[14]
7. Apa yang tidak dapat
kita bicarakan, kita harus membiarkannya dalam diam. (What we cannot speak
about we must pass over in silence).[15]
Wittgenstein-I memadukan atomisme Russellian
dan apriorisme Fregean.[16] “Poin utamanya mengenai persoalan utama filsafat
tentang apa yang dapat diungkapkan [gesagt] melalui proposisi—yakni, melalui
bahasa—(dan, dengan demikian, apa yang bisa dipikirkan) dan apa yang tidak
dapat diungkapkan oleh proposisi, melainkan hanya ditunjukkan [gezeigt]”[17]. Wittgenstein-I bersifat etis, yakni ingin
membatasi sifat-dasar dari yang-etis dari dalam. “Semua hal yang oleh banyak
orang diocehkan sekarang ini, saya definisikan dalam buku saya sebagai sesuatu
yang lebih baik diam tentangnya.”[18] Mengikuti jejak Frege dan Russell,
Wittgenstein menyatakan bahwa setiap kalimat yang bermakna harus memiliki
struktur logis yang tepat, yang umumnya tersembunyi di balik selubung tampilan
gramatik kalimat, karena itu memerlukan analisis logis agar menjadi jelas.
Wittgenstein percaya bahwa setiap kalimat yang bermakna adalah suatu susunan
fungsi-kebenaran dari kalimat-kalimat lain yang lebih sederhana, atau suatu
kalimat atomik yang terdiri dari rangkaian nama sederhana. Karena itu, setiap
kalimat atomik adalah suatu gambaran logis dari suatu duduk perkara yang mungkin,
yang harus memiliki struktur formal yang tepat sama sebagaimana kalimat atomik
yang menggambarkannya. Wittgenstein kemudian menggunakan “teori gambar dari
makna” untuk mendapatkan kesimpulan tentang
dunia dari pengamatannya tentang struktur kalimat-kalimat atomik. Ia secara
khusus mempostulatkan bahwa dunia pada dirinya sendiri harus memiliki suatu
struktur logis yang tertentu, meskipun kita mungkin tidak mampu menentukan
struktur itu sepenuhnya. Dunia terutama terdiri dari fakta-fakta,
yang sesuai dengan kalimat-kalimat atomik yang benar, dan bukan atas
benda-benda, dan bahwa fakta-fakta tersebut, pada gilirannya, merupakan
rangkaian obyek-obyek sederhana, yang sesuai dengan nama-nama yang menyusun
kalimat-kalimat atomik itu.[19]
Dalam konteks filsafat yang lebih luas,
Wittgenstein-I memulai apa yang
disebut linguistic turn dalam
filsafat dengan enam alasan; Pertama, buku ini dianggap menentukan batas-batas
pemikiran dengan menentukan batas-batas bahasa; menjabarkan batas-batas antara
pengertian dan omong kosong. Buku ini
menempatkan bahasa—bentuk dan strukturnya—sebagai pusat penyelidikan filsafat.
Kedua, tugas positif filsafat masa depan adalah analisa logico-linguistik atas
kalimat. Penjelasan logis atas pemikiran
dilakukan dengan penjelasan atas proposisi-proposisi (kalimat-kalimat dengan
pengertian). Ketiga, tugas negatif filsafat masa depan adalah memperlihatkan
ketidak-sahihan penegasan-penegasan metafisis dengan menjelaskan cara di mana
usaha untuk mengatakan apa yang diperlihatkan oleh bahasa melampaui, atau
melanggar, batas-batas pengertian. Keempat, berusaha menjelaskan watak dasar
tanda proposisi dengan menguraikan bentuk proposisi umum, yakni dengan memberi
“suatu deskripsi atas proposisi-proposisi tanda-bahasa apa pun sedemikian rupa sehingga
setiap pengertian yang mungkin bisa diungkapkan oleh suatu simbol yang sesuai
dengan deskripsi tersebut, dan setiap simbol yang sesuai dengan deskripsi
tersebut dapat mengungkapkan suatu pengertian, asalkan makna nama-namanya
dipilih dengan tepat. Kelima, penyelidikan logis atas fenomena, penyingkapan
bentuk-bentuk logis mereka, yang tidak dilakukan di dalam buku ini, akan
dilakukan dengan analisis logis atas deskripsi linguistik fenomena. (Langkah
pertama dalam menjalankan tugas ini dilakukan dalam tulisan pada 1929, “Some
Remaks on Logical Form”, namun keseluruhan proyek tersebut gagal). Karena
sintaksis logis bahasa pasti, dan harus, isomorfis dengan bentuk-bentuk
logico-metafisis dunia. Keenam, pencapaian terbesar buku ini, sebagaimana
dilihat oleh Lingkaran Wina, adalah penjabarannya atas watak keniscayaan logis.
Hal ini dilakukan dengan suatu penyelidikan atas simbolisme. Bahwa seseorang
dapat mengenali kebenaran suatu proposisi logis hanya dari simbol dianggap
merupakan inti pandangan filsafat logika.[20]
2. Philosophical
Investigations ; Teori Permainan Bahasa atau Language
Game atau Wittgenstein II
Wittgenstein II mengembangkan
paradigma yang berlawanan dengan bahasa ideal berdasarkan logika. Wittgenstein
II mendasarkan objek material filsafatnya pada bahasa sehari-hari yang
digunakan manusia. Jika Wittgenstein-I
mendasarkan pemikirannya pada satu bahasa ideal yang memenuhi syarat logika, maka
Wittgenstein-II mendasarkan pada
bahasa biasa yang bersifat beraneka ragam.
Inti pemikiran Wittgenstein-II
adalah ‘tata permainan bahasa’ (language games). Hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam
berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Oleh karena itu, terdapat banyak permainan bahasa yang sifatnya dinamis,
tidak terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan
satu bahasa tertentu, dengan menggunakan aturan yang khas dan tidak sama dengan
konteks penggunaan lainnya. Berdasarkan
macamnya, terdapat banyak penggunaan bahasa yang masing-masing memiliki aturan
sendiri-sendiri dan hal itu merupakan suatu nilai. Misalnya penggunaan bahasa dalam memberikan
perintah dan mematuhinya, melaporkan suatu kejadian, berspekulasi mengenai
suatu peristiwa, menyusun cerita dan membahasnya, bermain acting, membuat
lelucon, berterima kasih, berdoa, menguji suatu hipotesis dan penggunaan bahasa
lainnya (Wittgenstein, 1983;23).
Wittgenstein berkesimpulan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna
sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah
penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Dalam pemikirannya yang
kedua ini, Wittgenstein tidak lagi mendasarkan pada bahasa ideal dan logis,
tetapi mengembangkan pemikiran tentang pluralitas bahasa dalam kehidupan
manusia.
Teori permainan bahasa Wittgenstein tidak dapat dilepaskan dari
penggunaan bahasa sehari-hari yang sifatnya sederhana sebagai penyempurnaan
teori gambar (picture theory). Untuk menggambarkan sesuatu
yang abstrak---yang tidak dapat dijelaskan atau digambarkan secara langsung
dengan menggunakan bahasa---Wittgenstein
menggunakan strategi metafora dan analogi. Alasan ini akhirnya melahirkan
Wittgenstein II yang dinamakan Permainan Bahasa; bahwa bahasa yang digunakan manusia dalam interaksi dan komunikasi
sehari-hari memiliki aturan tersendiri.
Analisis bahasa dalam penggunaannya dalam konteks-konteks tertentulah yang
dapat meningkatkan pemahaman dan membuat sebuah tanda yang lebih hidup dan
bermakna. Makna kata dapat difahami secara mendalam berdasarkan kerangka acuan
permainan bahasa dalam sesuatu bahasa yang digunakan. Metafora digunakan untuk merujuk kepada
gejala penggantian kata yang harfiah atau kata lain yang figuratif dan yang
menjadi dasar penggantian adalah prinsip kemiripan atau analogi (Kris,
1999:73). Metafora dan analogi
(persamaan) ibarat strategi imaginasi yang bersifat puitik dan merupakan
ungkapan yang penuh dengan kiasan. Metafora dan analogi bersatu atau
berintegrasi dalam kehidupan sehari-hari---bukan saja dalam bahasa, tetapi juga
dalam fikiran dan perbuatan (tindakan).
Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau
konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Harimurti Kridalaksana, 1984:123).
Analogi pula adalah proses atau hasil pembentukan unsur bahasa kerana pengaruh
pola lain dalam bahasa (Harimurti Kridalaksana, 1984:13).
Semua
kalimat yang bukan gambaran atomik dari rangkaian obyek atau gabungan
fungsi-kebenaran (truth-functional) dapat dipastikan tak bermakna. Contoh dari
kalimat-kalimat seperti ini, antara lain, adalah proposisi-proposisi etika dan
estetika, semua proposisi yang berkenaan dengan makna hidup, semua proposisi
logika, bahkan semua proposisi filosofis, dan terakhir semua proposisi yang ada
dalam Tractatus itu sendiri. Meskipun semua proposisi ini tidak bermakna, namun
mereka bertujuan mengatakan sesuatu yang penting: apa yang berusaha mereka
ungkapkan dalam kata-kata sebenarnya hanya bisa ditunjukkan.[21]. Dengan demikian, Wittgenstein menyimpulkan
bahwa siapapun yang memahami Tractatus akhirnya akan membuang
proposisi-proposisinya sebagai sesuatu yang tidak bermakna: mereka akan
membuang tangga setelah mereka berhasil naik ke puncak. Orang yang telah
mencapai keadaan itu tidak akan lagi punya keinginan untuk mengungkapkan
proposisi-proposisi filosofis. Ia akan menatap dunia secara langsung dan apa
adanya, dan akan menyadari bahwa satu-satunya proposisi yang benar-benar
bermakna hanyalah proposisi-proposisi ilmu alam; namun ilmu alam tidak pernah
dapat menyentuh apa yang benar-benar penting dalam kehidupan manusia, yakni
yang-mistis. Bahwa hal-hal yang bersifat etis, estetis, dan metafisis, bukanlah
bagian dari (fakta) dunia, jika kita menerima dunia sebagaimana yang
didefinisikan Wittgenstein dalam tesis pertama bukunya ini: “Dunia adalah
segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the case).” Apa
yang etis, estetis, dan metafisis sering kali adalah tafsiran kita terhadap
fakta, terhadap sesuatu yang demikian adanya (“what is the case”). Dan sebagai
suatu tafsiran, hal ini tentu akan selalu berbeda dari waktu ke waktu, dari
satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dan
karena perbedaan radikal yang mungkin dimunculkan dari tafsiran tiap-tiap orang
terhadap fakta dunia, terhadap what is the case, maka hal ini memang lebih baik
dibiarkan dalam diam: “Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus
membiarkannya dalam diam (What we cannot speak about we must pass over in
silence).”
Pemikiran filsafat Wittgenstein
II melahirkan aliran filsafat bahasa
biasa (Ordinary Language Philosophy) dan postmodernisme kemudian berkembang di
Eropa terutama di Inggris dan Amerika, serta memiliki pemikiran filsafat yang
beraneka ragam. Berdasarkan sejarah
perkembangan linguistik pragmatik, pemikiran filsafat bahasa biasa inilah yang
merupakan inspirasi dikembangkannya pragmatik.
Setelah Wittgenstein-II bermunculan filsuf-filsuf bahasa biasa, seperti
Gilbert Ryle, J.L Austin, P.F. Strawson, dan John Wisdom di Inggris, kemudian
berkembang ke Amerika Serikat dengan tokoh-tokohnya, antara lain Max Black,
John Searle, H.P. Grice, Norman Malcom, dan W.P. Alston (Poerwowidagdo,
1972:34). Tokoh pragmatik Inggris
juga filsuf bahasa menegaskan bahwa
linguistik berkembang ke arah suatu bidang yang belum di kaji oleh kalangan
linguis, yaitu disiplin yang menyangkut bentuk, arti, dan konteks (Leech,
1983:2). Perkembangan yang cukup radikal
terjadi di Amerika sebagai reaksi terhadap konsep sintaksisme model Chomsky,
yang mengembangkan seluruh ilmu linguistik---termasuk fonologi dan semantic,
dianggap relevan dalam kerangka sintaktik.
Reaksi yang keras muncul dari George Lakoff dan Robert Ross yang
menegaskan bahwa kajian sintaktis tidak dipisahkan dengan pemakaian bahasa
(Leech, 1983:2; Purwo, 1990:10; dan Wijana, 1996:4).Perkembangan pragmatik
menemukan bentuknya tatkala John Searle mengembangkan Speech Act (1969)
sehingga bidang ini merupakan suatu bidang baru dalam bidang kajian bahasa
dalam hubungannya dengan penggunaannya dalam komunikasi kehidupan manusia.
D. Menolak
teori, menawarkan pemahaman
Menurut Wittgenstein, ada beberapa
pertanyaan yang tidak memiliki jawaban ilmiah (scientific answers),
bukan karena sangat mendalam dan misteri
yang tak dapat dijangkau, tetapi karena ia bukan pertanyaan ilmiah
(non-scientific questions). Pertanyaan tentang cinta, seni, sejarah,
kebudayaan, musik merupakan pertanyaan yang terkait dengan upaya memahami diri secara lebih baik. Filsafat
baginya bukan sebuah teori,
melainkan sebuah kegiatan. Filsafat bukan mengusahakan kebenaran ilmiah (scientific
truth), tetapi kejelasan konseptual (conceptual clarity). Bagi
Wittgenstein, perbedaan antara ilmu (science) dan filsafat (philosophy)
terletak pada perbedaan keduanya dalam bentuk pemahaman: yang satu teoritis
dan yang lain non-teoritis. Pemahaman ilmiah (scientific understanding) tampak
melalui konstruksi dan pengujian atas hipotesis-hipotesis dan teori-teori
sedang pemahaman filosofis (philosophical understanding) sepenuhnya
non-teoritis, yaitu pemahaman yang saling berkaitan yang melibatkan sikap dan
afeksi. Pemahaman non-teoritis adalah bentuk pemahaman yang tampak ketika,
misalnya, kita mengatakan bahwa kita memahami suatu puisi, irama musik, suasana
hati seseorang, atau bahkan mengerti sebuah kalimat. Memahami sebuah kalimat
juga membutuhkan partisipasi dengan bentuk kehidupan, “language game” dan
konteks kalimat.
Pada konteks filsafat, fenomena
paling menjadi sorotan mengenai Hal Satu
(The One) dan Hal Banyak (The
Many ). Para filsuf yang menekankan kesatuan
realitas bertolak dari Hal Satu dinamakan Monisme
sedang Pluralisme menganggap, ada lebih dari dua prinsip asli
sebagai suatu hakikat (Edwards P, 1967: 363-364). Bakker mengibaratkan monisme
dengan istilah “bubur” sedang
pluralisme dengan “pasir”. Baik
monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistik maupun materialistik.
Monisme mutlak menyusutkan sedapat mungkin segala kegandaan dan
kemacam-ragaman, sehingga hanya tinggal satu realitas tunggal---entah materi
atau roh. Sebaliknya pluralisme mutlak menghapus sedapat mungkin segala
kesatuan dan keseragaman, sehingga hanya tinggal kejamakan mutlak, yaitu
pecahan, entah pecahan materi atau titik-titik rohani. Namun baik monisme mutlak maupun pluralisme mutlak
mustahil dipertahankan sehingga yang ada hanya monisme lunak dan pluralisme
lunak atau tendensi monistik dan pluralistik. Monisme lunak menganggap hanya satu pengada, entah materi
atau roh yang meliputi keseluruhan kenyataan. Segala bentuk monisme menekankan
kesatuan dalam keanekaan. Sebaliknya plurlisme lunak menganggap kenyataan itu
jamak dan beraneka ragam yang terdiri dari unit-unit yang serba otonom dan
tanpa hubungan intrinsik. Pandangan Platon tentang Hal Satu dan Hal Banyak
upayanya untuk merumuskan kenyataan atau realitas, yakni hal ada (being) dan hal
menjadi (becoming). Tujuan utamanya untuk mendukung kebenaran pengetahuan---kebenaran
pengetahuan bagi Platon hanya ditemukan dalam dunia ide, yaitu dunia yang
bersifat tetap, satu dan tak terbagi----sebagai keterkaitan yang erat antara metafisika dengan epistemology,
antara realitas dengan pengetahuan, antara kenyataan dengan kebenaran. Konsepsi
tentang Hal Satu oleh
Plotinus---mengembangkan ajaran Platon dalam rangka mendukung pandangannya
tentang adanya hierarki dalam realitas dan hieraki tertinggi---muara seluruh kenyataan dinamakan To Hen---sebagai puncak kesatuan dari segala yang ada
(Sontag, 1970: 32). To hen atau The One dalam filsafat Plotinus
mengacu pada gagasan mengenai Tuhan. The one adalah kebaikan yang
merupakan tujuan hidup manusia. The one adalah Yang Esa, yang segala
sesuatu ikut ambil bagian46). Problem the
one dan the many adalah kategori problem metafisika. Kedua tahapan pemikiran filsafat Wittgenstein
dikaitkan dengan problem The One dan The Many, terlihat kecenderungan bahwa pandangan
Wittgenstein secara keseluruhan memihak pada the Many atau Pluralisme
Lunak---meskipun faktor The One dalam Wittgenstein I cukup mendapat
perhatian yang besar dalam konteks bahasa ideal. Wittgenstein II dengan konsep language games memihak
pada pluralisme lunak, karena keberagamaan dan perbedaan dipandang sebagai
esensi.
Alcapone,
20 Desember 2015
[1]
Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein,
New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 1.
[2]
“Wittgenstein, Ludwig” Encyclopædia Britannica. <span>Encyclopædia
Britannica 2009 Student and Home Edition</span>. Chicago:
Encyclopædia Britannica, 2009.
[3]
Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein,
New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 5.
[4]
P. M. S. Hacker, “Ludwig Wittgenstein (1889-1951)”, dalam A. P. Martinich dan
David Sosa (eds.), Blackwell Companion to Philosophy: A Companion to Analytic
Philosophy, Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd, 2001, hlm. 68.
[5] Baird, Robert M. “Analytic and Linguistic
Philosophy.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2008. Hlm. 1.
[6]
“Analytic Philosophy.” Encyclopædia Britannica. <span>Encyclopædia
Britannica 2009 Student and Home Edition</span>. Chicago:
Encyclopædia Britannica, 2009. Hlm. 1.
[7]
Baird, Robert M. “Analytic and Linguistic Philosophy.” Microsoft® Encarta® 2009
[DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008. Hlm. 1-2.
[8]
Baird, Robert M. “Ludwig Wittgenstein.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.
[8]
Baird, Robert M. “Ludwig Wittgenstein.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.
[9]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 5.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 5.
[11]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 10.
[12]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 19.
[13]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 36.
[14]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 58.
[15]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B.
F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 74.
[16]
Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans
Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New
York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 9.
[17]
L. Wittgenstein, Letters to Russell, Keynes, and Moore, ed. by G. H. von Wright
(Ithaca: Cornell University Press, 1974), hlm. 71, dikutip dalam Hans Sluga,
“Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans Sluga dan
David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York:
Cambridge University Press, 1996, hlm. 9.
[18]
L. Wittgenstein, “Letters to Ludwig von Ficker,” in C. G. Luckhardt, ed.,
Wittgenstein: Sources and Perspectives (Ithaca: Cornell University Press, 1979),
hlm. 95, dikutip dalam Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An
Introduction”, dalam Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge
Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 9.
[19]
Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans
Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New
York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 10.
[20]
P. M. S. Hacker, “Ludwig Wittgenstein (1889-1951)”, dalam A. P. Martinich dan
David Sosa (eds.), Blackwell Companion to Philosophy: A Companion to Analytic
Philosophy, Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd, 2001, hlm. 76-77.
[21]
Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans
Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New
York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 10-11.
RUJUKAN
Alwy Rahman (Penterj.). 1995. Berpikir, bertindak, dan berujar melalui
metafora. Makassar: Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin.
Benny H. Hoed. 2008. Semiotika dan dinamika sosial budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia.
Binar Agni. 2009. Sastra Indonesia lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu bahasa dunia, sejarah
singkat. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Edisi Pertama.
Harimurti Kridalaksana. 1984. Kamus linguistik. Jakarta: Gramedia.
Kaelan. 2004. Filsafat analitis menurut Ludwig
Wittgenstein: Relevansinya bagi
pengembangan pragmatik. Jurnal Humaniora XVI, 2, 134-146.
Koo. L. Yew. 2008. Language, culture and literacy:
Meaning-making in global context. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kris Budiman. 1999. Kosa semiotika. Yogjakarta: LkiS.
Lukman Ali. 1991. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Kedua.
Noresah Baharom. 2007 Kamus Dewan Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Edisi
Keempat.
Riko, S.S. 2011. Permainan bahasa Ludwig Wittgenstein:
Suatu perkenalan melalui kontekstualisasi dan manfaatnya bagi studi
pemertahanan bahasa. Jakarta: Bidik Proneks Publishing.
===Pemikiran
filsafat analitis Wittgenstein---dipengaruhi oleh konsep G.E Moore, Bertrand
Russel, dan Gottlob Frege---dibagi atas dua periode, periode pertama Tractatus Logico-Philosophicus (1922)
dan periode kedua Philosophical Investigations
(1953). Kedua karya filsafat tersebut
memiliki perbedaan substansial, terutama berkaitan dengan objek materialnya,
tetapi diuraikan dalam suatu pemikiran yang sistematis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar