Kamis, 14 Januari 2016

Bertrand Russell ; Bertuhan tanpa Agama








Kita seringkali menggunakan kepercayaan pada hal-hal yang meragukan, belum pasti kebenarannya, atau paling tidak masih debatable statusnya. Kita tidak pernah membicarakan kepercayaan pada tabel perkalian, misalnya. Maka, Iman adalah kejahatan, karena ia berarti memercayai dalil ketika tidak ada alasan yang sahih untuk mempercayainya---Bertrand Russel



“setiap peraturan tingkah-laku manusia harus diuji secara akal. Penderitaan manusia terjadi justru karena manusia tidak setia terhadap prinsip-prinsip rasional”---Bertrand Russell




A.  Riwayat Hidup 
William Arthur Bertrand Russell lahir di Ravenscroff, Wales Inggris  18 Mei 1872.  dari keluarga bangsawan. Ibunya Lady Katherine Amberley (anak Lord Stanley dari Aderley )dan ayahnya  Viscaount John Amberley.   Bertrand Russell adalah cucu negarawan Victorian Lord John Russel---politisi Whig yang mengeluarkan reformasi Bill  tahun 1832. Orang tuanya meninggal saat Bertrand Russell masih kecil lalu dipelihara oleh kakeknya Lord John Russell.   Masa kecilnya, Bertrand Russel tidak pernah mengenyam pendidikan dasar formal di sekolah,  Neneknya lebih menyukai pendidikan privat dengan mendatangkan guru privat wanita dari Swiss, Jerman dan tutor Inggris. Tahun 1934, ia ke Amerika Serikat dan menjadi staf pengajar di Universitas California. Tahun 1941-1943, ia menjadi lector pada Barnes Fundation di Philadelphia. Tahun 1944 kembali ke Inggris dan megajar di Cambridge. Meninggal di Penrhyndeudraeth-Wales Utara pada usia 98 tahun, tepat tanggal 2 Februari 1970.
Bertrand Russell dibesarkan oleh keluarga Kristen yang saleh. Pengaruh pendidikan agama diterima secara kritis lalu secara radikal menolak iman kepercayaan akan Allah dan iman tentang adanya kehidupan kekal, kehendak bebas dan eksistensi Tuhan (perspektif teologi Kristen).  Ketika belajar di Combridge ia mempertanyakan ajaran-ajaran religius teologis serta kebenaran-kebenaran dan kepastian.  Refleksinya dipengaruhi  pandangan teori evolusi Darwin, hegelianisme   dan  sahabatnya seperti G.E. Moore, Whiteheat dan Giussepe Peano.  Salah satu alasan penolakan Russell adalah kenyakinanya pada teori evolusi biologis Darwin. Pernyataan tersebut disampaikan atas pertanyaan seorang tutor ortodoks Swiss; “If you are a Darwinian, I pity you. For one cannot be a Darwinian and a Christian at the same time”. Russell menjawab: “Idid not then believe in the incompatibility, but I was already clear that if I had to choose, I would choose Darwin”   Bahwa manusia hanya bisa berbicara persoalan-persoalan positivistis yang bisa dibuktikan secara empiris, observatif seperti dilakukan Darwin dengan Evolusionisme biologisnya. Sedang persoalan religious-teologi yang abstrak, metafisis yang dijarakan teologi Kristen berada diluar realitas empiris yang sulit mengapai jawaban final.
Tahun 1900 dalam Kongres Internasional Filsafat bertemu Giuseppe Peano---teoretikus matematika Italia---dan segera melihat pentingnya ide-ide sendiri tentang pengertian dasar matematika,  selama musim gugur tahun 1900, ia menyelesaikan karya besarnya yang pertama, Prinsip-Prinsip Matematika . "Secara intelektual," dia kemudian menulis, "ini adalah titik tertinggi dalam hidup saya."  Dengan Whitehead dia menunjukkan bahwa matematika---terutama, aritmatika, tetapi pada prinsipnya, semua matematika---adalah perpanjangan dari logika, bahwa tidak ada konsep underived dan tidak ada asumsi belum terbukti perlu diperkenalkan selain yang murni logika. Hasilnya diterbitkan sebagai Principia Mathematica dalam tiga volume (1910-1913).
Selama Perang Dunia Pertama, Russel menjadi terkenal karena pasifisme (paham yang menentang penggunaan kekuatan dan kekerasan dalam kondisi apapun; utamanya penentangan terhadap alasan-alasan yang membenarkan seseorang terlibat dalam perang bersenjata) yang terang-terangan dan mendapat hukuman penjara selama enam bulan. Setelah perang aktivitas Russel menjadi semakin radikal.  Mendirikan  sekolah progresif untuk memberikan kemerdekaan yang genuine kepada anak-anak dan menghindarkan mereka dari pelbagai represi pendidikan konvensional.   Pada 1949 diberi penghargaan warga negara sipil paling terhormat di Inggris, “Order of Merit”.  Pada tahun 1950 Russell memenangkan Hadiah Nobel sastra untuk "tulisan-tulisannya sebagai juara kemanusiaan dan kebebasan berpikir."  Russell meninggalkan pasifisme di awal Perang Dunia II, tetapi melanjutkan aktivitasnya di gerakan perdamaian. Dia memimpin "Ban Bom" di Inggris, mengambil bagian dalam demonstrasi di usia 89---menjalani hukuman penjara 7-hari. Campur tangan dalam krisis rudal Kuba, dan  menentang keterlibatan Amerika di Vietnam. 
Bertrand Russell  figur pemikir-bebas dan filosof yang kontroversial. Karya-karyanya terkenal luas dalam berbagai bidang: filsafat, bahasa, politik, sains, hingga agama. Meski dikenal dengan pandangannya yang keras dan kritis terhadap agama, namun sosiolog Max Weber  menyebutnya  “laki-laki kalem yang religius”. Ribuan pembacanya bahkan menganggap Russell sebagai guru spiritual yang sederajat dengan tokoh-tokoh mistik seperti Tagore, Albert Schweitzer, dan guru spiritual lain di jaman kita.  Meskipun lemah dalam penampilan, ia kuat dan aktif sepanjang sebagian besar hidupnya, terlibat dalam kontroversi sosial dan politik sampai meninggal di Penrhyndendraeth, Wales, 2 Februari, 1970.

B.  Logika sebagai Esensi dari Filsafat
Permasalahan yang  dihadapi para filsuf menurut Russell adalah  terkadang terlalu berlebihan dan selalu berusaha  mencapai sesuatu yang terbaik.  Keadaan ini tidak mungkin bisa dicapai karena disamping para filsuf kurang tepat melihat permasalahan filsafat juga  metode  yang digunakan untuk pemecahannya.  Menurut Russell permasalahan filsafat dan metode filsafat selama ini tidak mudah untuk dipahami atau dirumuskan .  Bahkan ada beberapa permasalahan yang sudah mulai ditinggalkan namun sebenarnya masih bisa dipecahkan melalui metode-metode yang tepat dengan tingkat pengetahuan yang lebih maju.  Merumuskan permasalahan ini, Russell membaginya ke dalam 3 tipe besar:
a.  Tipe pertama disebut  tradisional klasik diwakili  pemikiran Kant dan Hegel mengenai kecenderungan mengadopsi pemecahan permasalahan yang terjadi dengan metode dan hasil yang dicapai di masa Plato dan para filusuf Yunani yang menekankan rasio.  Metode deduksi apriori digunakan untuk mengkaji fenomena yang ada. Semua realita adalah suatu kesatuan dan tidak ada perubahan sementara Sense yang ada dalam dunia merupakan ilusi. Keganjilan dari hasil yang diperoleh oleh para filusuf tidak membuat mereka merasa cemas karena bagi mereka rasio merupakan satu-satunya keabsahan yang sahih. Ketika para filsuf yang jadi acuan meninggal, ajarannya terus dipertahankan dengan menggunakan kekuasaan, tradisi, kekuatan hukum dan otoritas agama. Di Inggris, rasio apriori  digunakan untuk mengungkapkan rahasia tentang dunia dan membuktikan kenyataan seperti  yang tampak.  Logika Tradisional Klasik  dikonstruksikan melalui proses negasi. Dunia dibentuk oleh logika dengan sedikit peran dari pengalaman. Dunia, menurut tipe ini, merupakan ”organic unity”, dimana bagian-bagiannya yang berbeda bergabung menjadi satu dan bekerja sama karena mereka sadar bahwa mereka berada dalam satu tempat yang sama sebagai satu kesatuan. Intinya tipe ini merupakan penggabungan antara pemikiran Yunani yang menekankan pada rasio dan abad pertengahan yang menkankan pada kesempurnaan alam semesta.
b. Tipe kedua adalah Evolusionisme, dimulai dari pemikiran Darwin hingga Herbert Spencer dan perkembangan selanjutnya didominasi  pemikiran William James dan Bergson. Evolusionisme, percaya pada dirinya yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan, sebuah pembebasan dari harapan-harapan, memberikan inspirasi dalam menghidupkan kembali kekuatan manusia. Evolusionisme ini bukan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, dan juga bukan metode untuk memecahkan masalah. Filsafat ilmiah yang sesungguhnya adalah suatu yang lebih kuat sekaligus lebih longgar, menguak harapan-harapan tentang keduaniaan dan membutuhkan beberapa disiplin supaya berhasil dalam mempraktekkannya. Logika, matematika, fisika hilang dalam tipe ini disebabkan karena mereka terlalu statis. Apa yang nyata adalah sesuatu yang mendesak dan bergerak menuju pada satu tujuan. Terdapat 2 kritik terhadap hal ini; pertama, kebenaran tidak mengikuti apa yang telah dihasilkan ilmu pengetahuan yang selalu memperhatikan fakta yang mengalami evolusi. Kedua, motif dan kepentingan diinspirasikan oleh praktek-praktek eklusif. Hal yang paling penting dalam tipe Evolusionisme adalah pertanyaan tentang tujuan manusia atau setidaknya tentang tujuan hidup manusia. Evolusionisme lebih tertarik pada moralitas dan kebahagiaan dari pada pengetahuan semata.
c.   Tipe Ketiga adalah yang disebut Logika Atomisme, melihat filsafat melalui metode kritis matematika bertujuan mengupas habis struktur hakiki bahasa dan dunia melalui jalan analisis. Menurut Russell filsafat bertugas menganalisa fakta-fakta.  Bagi Russell suatu proposisi terdiri dari kata-kata, yang menunjukkan kepada data inderawi (sense-data) dan universalia (universalis), yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi. Proposisi atomis, sama sekali tidak mengandung unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta atomis. Bahasa sepadan dengan dunia dan melalui bahassa kita dapat menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada. Bahasa menggambarkan realitas (bahasa sempurna) terlepas dari kedwiartian dan kekaburan, yaitu bahasa logis yang dirumuskan dalam principia mathematica. Dengan proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya menggunakan kata ”dan” atau ”atau” dihasilkan suatu proposisi molekuler (molecular proposition). Tetapi tidak ada fakta molekuler yang hanya menunjuk pada fakta-fakta atomis. Kebenaran atau ketidak benaran suatu proposisi molekuler tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis yang terdapat di dalamnya. Jadi fakta-fakta yang atomis menentukan benar tidaknya proposisi apa pun juga. Atau perkataan Russell adalah ”molecular proposition are truth-function’s of propositions.

C.   Serangan Balik Terhadap Idealisme
Dalam perkembangan sejarah filsafat Barat, terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran kefilsafatan;  Idealisme berpusat di Jerman dan Empirisme di Inggris. Pertentangan dua aliran tersebut terjadi sejak akhir abad 18 (Kaelan, 1998) tapi sejak  pertengahan abad 19,  Idealisme mulai mendominasi di Inggris, dengan sebutan Neo-Idealisme---reaksi atas materialisme dan positifisme.  Menurut aliran idealisme, realitas terdiri atas;  ide-ide, pikiran-pikiran, akal, jiwa dan bukan benda-benda material. Idealisme menyatakan bahwa mind atau jiwalah yang real sementara materi hanya produk sampingan dari mind.  Menurut Idealisme, bahwa realitas dasar terdiri atas ide, pikiran dan jiwa yang ketiganya berhubungan erat  sebagai realitas  sesungguhnya. Dunia diartikan berlainan dari indera dan segalanya ditafsir dengan hukum-hukum pikiran dan kesadaran.  Penganut idealisme yang berpengaruh besar di Inggris; Francis Herbert Bradley (1846-1924)  pendapatnya tentang hubungan antara pemikiran dengan realitas merupakan kritik terhadap teori pengenalan dari paham empirisme.  Menurut Bradley, metode kaum empiris  merupakan kesalahan sebab  mereka kurang memperhatikan keputusan (judgements) atau proposisi.
Reaksi atas kondisi tersebut, memunculkan Neo-Realisme dengan  tokoh penting; George Edward Moore, Alfred Nort Whitehead, dan Samuel Alexander,  menyusul Bertrand Rusell dan beberapa filsuf lingkungan Wina seperti Ludwig Wittgeinstein, dan Alfred Yulles Ayer.  Cara berpikir Neo-Realisme penyelidikan terhadap linguistik dan logika analisa dari istilah-istilah, konsep-konsep, dan preposisi-preposisi---berbeda dengan Neo-Idealisme bahwa dunia adalah satu kesatuan mutlak yang tak terbagi-bagi.   Aliran Neo-Realisme merupakan serangan balik dari aliran pemikiran filsafat yang telah lama berkembang di Inggris. berkatian dengan tradisi empirisme-materialisme, yang berakar dari pemikiran Jhon Locke, David Hume, dan John John Stuart Mill.  Neo-Realisme ingin menjauhkan diri dari implikasi metafisika dan konsep pluralisme yang dikembangkan oleh para penganut Neo-Hegelianisme. Mereka meninjau kembali metode analisa bahasa yang diarahkan pada penyelidikan bahasa. Akhirnya muncullah istilah-istilah seperti, Empirisme Logis, Positivisme Logis, Neo-Positivisme, Analisa Linguistik, Analisa Semantik, Filsafat Bahasa dan Filsafat Analitik (Asep Hidayat, 2006).  Istilah yang terakhir merupakan salah-satu yang populer dalam perkembangan filsafat abad 20.  Filsafat analitis lahir sebagai respon atas kerancuan dan permasalahan dalam menjelaskan dan menguraikan ungkapan-ungkapan filosofis yang  digunakan untuk membahas, menjelaskan dan memecahkan masalah filsafat dengan menggunakan analisa bahasa, ataupun melalui analisis linguistik.  Salah-satu teori dalam filsafat analitis adalah Atomisme Logis dinisbatkan pada Ludwig Wittgenstein dan Bertran Russel. Pemikiran atomisme logis lebih dulu  dikembangkan Wittgenstein dalam “Tractatus Logico Philosophicus”. Namun  aliran atomisme logis pertama kali dikemukakan Bertrand Russell dalam artikelnya “Contemporary British Philosophy” terbit tahun 1924.  

D.  Atomisme Logis
Bertrand Russell penganut empirisme mengikuti jejak John Locke dan David Hume.  Atomisme Logis dipilih oleh Russel menunjukkan  pengaruh David Hume dalam An Enguary Concerning Human Understanding tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia.  Menurut Hume semua ide yang kompleks terdiri dari ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis sebagai ide terkecil. Filsuf menurut Hume hendaknya melakukan analisis psikologis terhadap ide.   Atomisme psikologis Hume ditolak oleh Russell sebab yang seharusnya dianalisis bukan pada aspek psikologis, melainkan terhadap proposisi-proposisi ( Kaelan, 1998.  Dalam menyusun logika atomisme logisnya, juga tampak pengaruh Bradley, dimana realitas itu terwujudkan dalam suatu bahasa yang merupakan suatu proposi-proposisi. Logika atomisme Russell merupakan empirisme yang didasarkan pada putusan-putusan atau proposisi dan bukan atas ide-ide.   Russell menolak pandangan metafisik dari idealisme melainkan formulasi logika dan paling fundamental dalam filsafat.  Konsep pemikiran atomisme logisnya Russell membuat sintesis berbagai macam pemikiran dari para filsuf sebelumnya maupun filsuf sejamannya.
Atomisme logis Russel bertolak dari tiga poin sebagai tujuan filsafat;  pertama, mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana  untuk merumuskan dengan jelas sintesisnya.  Kedua, menghubungkan logika dan matematika bahwa antara ilmu eksak dan sastra tidak dipisahkan.  Logika dan tata bahasa tidak hanya penting untuk bahasa namun merupakan dasar bagi matematika.  Ketiga, analisis bahasa yakni mencari pengetahuan yang benar sehingga akan didapat pengetahuan yang benar tentang realitas.  Di samping itu, filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Seperti zoologi yang bertugas menentukan jenis-jenis binatang. Fakta yang dimaksud ialah ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.  Fakta-fakta tidak dapat bersifat benar atau salah. Yang dapat bersifat benar atau salah adalah proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Dengan kata lain, proposisi merupakan simbol dan tidak merupakan bagian dari dunia. Suatu proposisi yang terdiri dari kata-kata, yang menunjukkan pada data inderawi (sense-data) dan universalia, yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi.  Kerena suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta atomis, Russell  menyimpulkan bahwa bahasa sepadan dengan dunia. Bahasa melukiskan realitas. Melalui bahasa kita menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada.  Tapi harus ditekankan di sini, yang dimaksud Russell dengan bahasa bukanlah bahasa biasa, melainkan bahasa yang sempurna, yang sama sekali terlepas dari kedwiartian dan kekekaburan. Bahasa logis atau bahasa logika yang dirumuskannya dalam karyanya Principia Mathematica (K. Bertens,  2002).
 
Menurut Russell, bahasa logika sangat membantu aktivitas analisis bahasa. Teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika menurutnya akan mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas (Asep Hidayat, 2006). Russell mengkritik George Edward Moore, yang menganjurkan untuk memakai bahasa biasa sebagai alat analisis. Moore mendasarkan analisisnya pada Common Sense atau akal sehat. Ia beranggapan bahwa bahasa sehari-hari atau bahasa alamiah   telah memadai untuk berfilsafat(Kaelan, 1998).  Bagi Russel hal itu tidak tepat, karena tujuan filsafat tak hanya mengkritisi ungkapan-ungkapan para filsuf neo hegelianisme, tetapi bermaksud membangun corak filsafat saintifik.  Bahasa biasa, menurut Russel, memiliki sususan yang buruk. Selain itu banyak  mengandung makna ganda. Jika kita tetap bersikeras menggunakan bahasa biasa sebagai alat analisa, akan menjadi penghalang besar bagi kemajuan filsafat(Kaelan, 1988).  Prinsip analisis yang diterapkan Russel dalam konsep atomisme logisnya memiliki konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa yang memiliki formulasi logis. Dengan kata lain, perlu ditentukan formulasi logis dalam ungkapan bahasa.  Russel mengungkapkan, problema filsafat muncul justru karena  keterbatasan bahasa sehari-hari dan penyimpangan  penggunaan bahasa dalam filsafat. Hal ini dikarenakan kurang dipahaminya formulasi logika dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatika belum tentu dapat menentukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa.  Menurut Russell, ada suatu kalimat yang memiliki struktur gramatikal yang sama namun berbeda dalam hal struktur logisnya. Misalnya kalimat Lions are yellow dan Lions are real. Kedua kalimat itu memiliki struktur gramatikal yang sama. Namun struktur logisnya berbeda (K. Bertens, 2002).  Dalam hal ini, Russell menginginkan penggunaan metode saintifik untuk cara kerja filsafat. Ia berharap dengan begitu, filsafat menjadi bercorak ilmiah.
Tugas filsafat merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta. Analisis logis ialah pemikiran didasarkan  metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori. Sedang sintesis logis ialah proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik sehingga   melahirkan pengetahuan yang baru.  Russell mendahulukan analisis logis karena teori yang didasarkan pada fakta-fakta empirik tidak akan menjangkau pengetahuan universal.  Dengan metode tersebut,  Russell menyusun teori atomisme logisnya berijak pada bahasa logika dengan  melakukan kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk mendapatkan apa yang disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis.  Seluruh pengetahuan akan dapat diungkap jika menggunakan bahasa logika dan analisis yang benar akan menghasilkan pengetahuan yang benar tentang realitas (hakikat sesuatu dari dunia).
Unsur terkecil dari bahasa, yakni proposisi atomis (pada dasarnya merupakan proposisi atomik tentang dunia).  Suatu proposisi terdiri dari kata-kata yang menunjukkan data inderawi dan universalia atau ciri-ciri atau relasi-relasi.   Russell kemudian menjelaskan tentang adanya dua proposisi dalam suatu kalimat yakni, Proposisi Atomis dan Proposisi Molekuler atau Majemuk. Sebagai contoh;  data indera yang disebut ‘putih’ ditunjukan dengan nama diri yang logis. Proposisi ini disebut  proposi atomis, karena tidak mengandung unsur-unsur molekul atau majemuk. Namun kata ‘putih’ berdiri di samping warna merah, biru, hitam dan lain sebagainya maka suatu proposisi atomis dengan sendirinya mengungkapkan fakta atomis tentang dunia.  Jika suatu proposisi atomis benar-benar menggambarkan dunia fakta, maka proposisi molekuler dengan sendirinya menjadi benar, karena ia menggambarkan suatu dunia fakta. Tidak mungkin dikatakan benar, jika suatu kalimat tidak mengandung suatu proposisi yang menggambarkan fakta. Tidak juga dikatakan benar, jika ia tidak mengandung fakta-fakta atomis.  Kita dapat membentuk proposisi majemuk, misalnya dengan memakai kata ‘dan’, ‘atau’, dan sebagainya---tetapi perlu diingat, bahwa tidak ada fakta majemuk atau molekuler.  Russell mengakui kalau ada  proposisi yang tidak bergantung pada adanya proposisi atomis. Misalnya, proposisi yang menyatakan; semua manusia akan mati”.  Proposisi ini tidak bergantung pada rangkaian si A akan mati, si B akan mati, dan seterusnya, melainkan bergantung pada fakta umum.  Contoh lain adalah proposisi yang mengatakan ‘tidak ada kuda berkaki sepuluh.’ Proposisi ini menjadi benar atau tidak benar berdasarkan sifat fakta (K. Bertens, 2002).  Begitu juga dengan proposisi negatif seperti tidak ada angsa yang tidak putih, kebenarannya bergantung pada fakta bahwa tidak ada angsa yang tidak berwarna putih.

E.   Teori Pengetahuan
Para ilmuan berpendapat bahwa pengetahuan yang benar hanya bidang-bidang yang bisa diuji dengan pasti seperti matematika dan ilmu alam dan keberadaan hanya bisa  di pastikan secara eksperimental, observatif, matematis  dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, saintisme merupakan suatu ideologi materialistik  pengetahuan dan kebenaran yang sahi terdapat dalam batas lingkup ilmu-ilmu alam.  Di bidang kultur, Tuhan bukanlah pusat sejarah, melainkan manusia. Manusia adalah segala-galanya. Manusia akhirnya lebih mengandalkan dan mencintai ilmu–ilmu positif yang konkrit dan dapat dipertanggung jawabkan secara empirik, sementara pengetahuan transenden tergusur dengan sendirinya. Iman dan akal saling berlawanan. Akhirnya akal budi menemukan otonomi dan autoritas terhadap iman yang boleh menyimak realitas yang bukan batasanya menurut metodologi akal.
Menurut Russell  “setiap peraturan tingkah-laku manusia harus diuji secara akal. Penderitaan manusia terjadi karena manusia tidak setia terhadap prinsip-prinsip rasional”.  Segala realitas ditelaah secara ilmiah melalui metode saintifik. Peran gemilang ilmu pengetahuan ilmiah  secara sistimatis, konkrit dan komprehensif dipaparkan dalam karya “ The Impact of Science on Society”. ilmu pengetahuan ilmiah mampu menjawab segala problem manusia. Sebab ilmu pengetahuan dapat memampukan kita untuk mengetahui sesuatu dan melakukan sesuatu.  Berpijak pada metode observatif saintifik,  Russell bahwa kebenaran yang pasti hanya dicapai lewat telaah ilmu pengetahuan ilmiah, Tuhan dan agama sebagai penegasan atas realitas mutlak dimengerti secara ilmiah.
Russell mengawali permenungan filosofinya dengan pertanyaan;  apakah ada pengetahuan di dunia yang begitu pasti sehingga tidak ada satupun manusia rasioanal dapat meragukannya? Menjawab pertanyaan tersebut, Russell mengajarkan agar terlebih dahulu kita memahami dunia. Persis disisni kita membutuhkan satu pencerahan budi untuk memecahkan persoalaln yang tengah didahapi. Kesadaran ini ada karena kita menginginkan satu kejelasan mendasar dan terlepas dari hal-hal yang dogmatis.  Meretas ketidakjelasan dan ketidakpastian realitas Russelll  menggunakan teori pengetahuan akan realitas melalui pengenalan dan deskripsi; pengetahuan pengenalan memgandaikan bahwa kita mengenal sesuatu tanpa perantara dari segala proses penyimpulan atau segala pengetahuan tentang kebenaran. Kita mengenal benda yang kita sadari secara langsung. Sementara pengetahuan deskripsi itu sebuah objek  diketahui tanpa mengahdirkan secara real obyek itu. Jadi pengetahuan deskripsi adalah pengetahuan akan sesuatu benda atau barang melalui gambaran yang diberikan.  Russell membangun teori pengetahuan tersebut untuk menghindari jawaban dogmatis dan kaku atas pertanyan-pertanyaan yang hakiki dan mendasar akan realitas atau meretas keraguan manusia akan segala sesuatu dengan satu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Russell tidak mengingikan satu pengetahuan yang kaku melainkan sesuatu pengetahuan yang kebenarannya dapat dibuktikan  secara ilmiah.
Teori kepercayaan dan kebenaran  secara terperinci terurai dalam The Pincipia of Matematica. Dalam teori ini Russell mendefenisikan kepercayaan sebagai suatu sikap batin  kepada obyek tertentu. Kepercayan adalah suatu sikap mental batin yang terarah kepada obyek dari sebuah proposisi, yang dipandang sebagai seatu realitas obyektif yang asli.  Isi kepercayan ditentukan oleh proposisi-propsisi yang dikategorikan  atas tiga macam dan saling berhubungan; (1) Kepercayaan yang isinya  hanya terdiri dari kata-kata (2) Kepercayaan terdiri  dari symbol dan gambar. (3) Kepercayaan yang isinya terdiri dari kata-kata, symbol dam gambar.  Russell sampai pada satu  kesimpulan bahwa kerpercayaan lahir dari perasaan tertentu yang tertuju pada isi kerpercayaan yang dikelompokkan dalam tiga model; ingatan atau memori, pengharapan atau expectation dan persetujuan, penerimaan.

E.   Sains dan Etika
Kajian tentang etika, secara tradisional terdiri dua bagian; satu bagian mengenai “aturan-aturan moral”, bagian lain “apa yang baik dalam dirinya sendiri”. Aturan-aturan tingkah laku, banyak di antaranya memiliki asal-muasal ritual, memainkan bagian terbesar dalam kehidupan orang liar dan orang-orang primitive.  Aturan-aturan moral lain, semisal larangan membunuh dan mencuri, memiliki kegunaan sosial lebih jelas. Namun ketika manusia menjadi reflektif, memberikan lebih sedikit penekanan terhadap aturan-aturan moral dan lebih banyak pada cara berpikir (state of mind).” (Russel, 2005).  Lalu apakah yang bisa kita jadikan sebagai patokan bagi nilai? Russel kemudian menjelaskannya dengan tawaran “pertimbangan hati nurani”.  Namun disini terdapat dua kesulitan yang berbeda dalam teori tersebut (hati nurani); pertama, hati nurani mengatakan hal yang berbeda terhadap orang-orang yang berbeda; kedua, memberi kita pemahaman mengenai sebab-sebab duniawi dari berbagai perasaan yang berkaitan dengan hati nurani.” (Russel, 2005).  Kenyataannya hati-nurani merupakan produk dari pendidikan, dan dapat dilatih untuk merestui atau mencela, dalam sebagian besar umat manusia, ketika mungkin dianggap sesuai oleh para pendidiknya.” (Russel, 2005).  “Oleh karenanya, sementara benar jika kita ingin membebaskan etika dari aturan-aturan moral eksternal, ini tidak dapat dicapai secara memuaskan dengan menggunakan gagasan tentang “hati-nurani”.” (Russel, 2005). 
Sangat “kabur”nya pengertian hati nurani, Russel tidak sepakat melandasi etika dengan pertimbangan “hati nurani”.  Russel lalu mengambarkan bentuk rasional untuk pertimbangan nilai tentang apa yang dikatakan sebagai  “Kebaikan”. Para filosof telah membentuk konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang Kebaikan. Sebagian berkeyakinan berada dalam pengetahuan dan cinta akan Tuhan; sebagian lagi dalam cinta universal; yang lainnya lagi dalam kesenangan.” (Russel, 2005).  Mengatakan  ini atau itu adalah “Kebaikan”, membawa diri kita sendiri terlibat dalam kesulitan. Dalam persoalan ilmiah, bukti dapat dikemukan pada kedua pihak, dan akhirnya ada satu pihak memiliki alasan yang lebih baik, atau jika ini tidak terjadi, persoalan tetap dibiarkan tidak-terselesaikan. Tetapi dalam pertanyaan yang berkaitan dengan apakah ini atau itu merupakan “Kebaikan tertinggi”, tidak ada bukti apa pun; masing-masing pendebat  menyerukan emosi-emosinya sendiri, dan menggunakan alat-alat retorik sebagai karang-karangan yang memunculkan emosi-emosi yang sama pada pihak lain.” (Russel, 2005).
Seluruh gagasan tentang baik dan buruk memiliki hubungan tertentu dengan hasrat.  Segala hal yang kita dambakan adalah “baik” dan segala hal yang kita takutkan adalah “buruk”. Jika kita semua sepakat dengan hasrat-hasrat kita, masalah tersebut dapat ditinggalkan di sana, tetapi sayangnya hasrat-hasrat kita saling bertentangan.” (Russel, 2005).  Etika yang diupayakan banyak filsuf adalah etika yang objketif. Untuk melihat bagaimana etika bisa objektif (yang hal ini diragukan sendiri oleh Russel), kita bisa menganalisis dari “pernyataan-pernyataan bernilai” berikut ini; ketika seseorang mengatakan “ini baik dalam dirinya sendiri”, tampak sama ketika dia mengatakan “ini adalah kubus” atau “ini rasanya manis”. Saya menganggap bahwa apa yang sebenarnya dimaksudkan orang tersebut adalah: “Saya menginginkan setiap orang menginginkan ini”, atau bahkan” Akankah setiap orang menginginkan ini”. Jika yang dikatakannya diinterpretasikan sebagai sebuah pernyataan, ia sekadar merupakan peneguhan atas keinginan pribadi sendiri; jika, di sisi lain, diinterpretasikan dengan cara umum, ia tidak menyatakan apa pun, tetapi sekadar menginginkan sesuatu. Keinginan tersebut, sebagai sebuah kejadian, bersifat personal, tetapi apa yang diinginkannya bersifat universal.
Jika seorang filosof mengatakan “Keindahan itu baik”, saya mungkin menginterpretasikannya sebagai bermaksud “Bukankah setiap orang mencintai keindahan”.” (Russel, 2005).  “Kalimat pertama dari kalimat-kalimat ini tidak membuat penegasan apapun, tetapi mengekspresikan sebuah keinginan, karena ia tidak meneguhkan apapun, secara logis tidak mungkin bahwa harus ada bukti yang digunakan untuk mendukung atau melawannya, atau karena ia harus memiliki kebenaran dan kesalahan kesalahan sekaligus. Kalimat kedua, alih-alih sekadar merupakan pilihan, benar-benar mengungkapkan pernyataan tertentu, tetapi itu adalah pernyataan tentang keadaan pikiran sang filosof, dan ia hanya dapat disangkal dengan bukti bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk mengatakan apa yang telah dia katakan. Kalimat kedua  bukan wilayah etika, tetapi wilayah psikologi atau biografi. Kalimat pertama, yang benar-benar merupakan bagian etika, mengekspresikan sebuah hasrat akan sesuatu, tetapi tidak menegaskan apa pun.” (Russel, 2005).
Umat manusia menginginkan bahwa ia seharusnya bahagia, atau sehat, atau cerdas, atau menyukai-perang, dan seterusnya. Setiap keinginan ini, jika memang kuat, akan memproduksi moralitasnya sendiri; tetapi jika kita tidak memiliki keinginan-keinginan umum semacam ini, perilaku kita, apapun mungkin etika yang kita miliki, hanya akan melayani tujuan-tujuan sosial sejauh kepentingan pribadi dan kepentingan-kepentingan masyarakat dapat selaras. Adalah tanggung jawab institusi-institusi yang bijak untuk menciptakan keselarasan semacam ini sejauh itu dimungkinkan, dan untuk yang lainnya, apapun mungkin definisi teoritik kita tentang nilai, kita harus bergantung pada eksistensi hasrat-hasrat impersonal.” (Russel, 2005).  Landasan setiap teori etika dan nilai adalah apapun yang akan dilakukan dan dipilih, satu hal yang mesti tetap dipegang adalah pencapaian kebahagiaan umat manusia:  “Apapun definisi kita tentang “Kebaikan” dan apakah kita mempercayainya sebagai subjektif atau objektif, mereka yang tidak menginginkan kebahagiaan umat manusia tidak akan melakukan upaya melanjutkannya, sementara mereka yang benar-benar menginginkannya akan melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan untuk mewujudkannya.” (Russel, 2005).  Sains bagi Russel tidak dapat memutuskan persoalan nilai, karena ia berjalan dengan aturan yang unik (metode-metode ilmiah) demi kemajuan sains itu sendiri. Pengetahuan apapun yang dapat dicapai, harus dicapai melalui metode-metode ilmiah; dan apa yang tidak dapat ditemukan sains, umat manusia tidak dapat mengetahuinya.” (Russel, 2005).

F.   Sains dan Agama
Teori Russel mengenai nilai dikemukakannya  dalam karyanya yang fenomenal “Religion and Science” (Agama dan Ilmu) pertama kali diterbitkan pada 1935, mengalami cetak ulang selama lebih dari dua puluh empat kali. Russel memandang sains sebagai upaya untuk memahami dunia pengalaman melalui hukum yang tak terputus-putus (unbroken law), dan agama baginya, merupakan sebuah fenomena kompleks dengan klaim-klaim (kredo) mengenai hal-hal yang dianggap mutlak (Frondizi, 2001)
Baginya, agama dan sains telah lama terlibat dalam perang, dengan mengklaim teritori, gagasan-gagasan, dan kesetiaan-kesetiaan yang sama untuk mereka masing-masing.  Perang ini telah dimenangkan oleh sains secara menyakinkan. Semenjak Kopernikus, sains dan teologi mengalami ketidaksepakatan, sains terbukti menang. Kita juga telah melihat bahwa, di mana persoalan-persoalan praktis dilibatkan, seperti dalam perdukunan dan pengobatan, sains berhasil mempertahankan usaha mengurangi penderitaan manusia, sementara teologi telah mendorong kekejaman alami manusia. Penyebaran pandangan ilmiah, sebagaimana dipertentangkan dalam pandangan teologis, tak dapat disangkal selama ini telah berguna bagi kebahagiaan manusia.” (Russel, 2005).  Matinya agama, hilanglah takhayul, penindasan dan kebencian.   Keberhasilan sains, datanglah pemahaman dan kebebasan serta cinta kasih.  Sebagian konflik-konflik yang lebih menonjol antara para teolog dan para ilmuan selama empat abad terakhir, dan kita telah berusaha menilai hubungan antara sains masa-sekarang dengan teologi masa-sekarang.  

Alcapone, 31 Desember 2015



G.  Daftar Pustaka

Asep Hidayat, Filsafat Bahasa, Rosda Karya, Bandung, 2006

Kaelan, Filsafat Bahasa, Paradigma, Yogyakarta, 1998

Bertrand Russell, The Impact of  Science In Society, London Sidney Welington, NWIN     Papersbacks,1952.

__________, The Life and Wisdom of Bertrand Russell, dalam AL. Seckel, (Ed.)    Bertrand Russell On God & Religion, Buffalo, New York,1986.

__________, The Problems of Philosophy, Diterjemahkan oleh  Ahmad Asnawi, Oxford University Press, 1912.

Ayer, A. J., Bertrand Russell, Chicago & London: University of Chicago Press, 1972.

Bakker, A., Metode-Metode Filsafat, Jakarta; Lalia, 1984.

Bakker, Anton dan Ahmad Charis, Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta, Kanisius 1994.

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakan  (Terj.), Jakarta: Murai      Kencana, 2001.

Dister, Niko Syukur, Descartes, Hume dan Kant: Tiga tonggak Filsafat Modern, dalam F.X. Mudji Sutrisno (Ed.), Para Filsuf Penentu Gerak  Jerman, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Hammarsma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT. Gramedia, 1990.

Laba Lajar, Leo, Sekularisasi dan sekularisme: Autonomi terhadap Allah?   Dalam Alex Seran,& Embu Henriques (Ed.), Iman dan Ilmu: Refleksi Iman Atas Masalah-Masalah Aktual, Yogyakarta; Kanisius, 1992.

Palmer, Joy A., (Ed.), Fifty Modern Thinkers on Education, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

Paul Edwars, (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII & VIII, New York:   Macmillan Pub., 1967.


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar