Kita
seringkali menggunakan kepercayaan pada hal-hal yang meragukan, belum pasti
kebenarannya, atau paling tidak masih debatable statusnya. Kita tidak pernah
membicarakan kepercayaan pada tabel perkalian, misalnya. Maka, Iman adalah
kejahatan, karena ia berarti memercayai dalil ketika tidak ada alasan yang
sahih untuk mempercayainya---Bertrand
Russel
“setiap peraturan
tingkah-laku manusia harus diuji secara akal. Penderitaan manusia terjadi
justru karena manusia tidak setia terhadap prinsip-prinsip rasional”---Bertrand Russell
A. Riwayat Hidup
William Arthur Bertrand Russell lahir
di Ravenscroff, Wales Inggris 18 Mei
1872. dari keluarga bangsawan. Ibunya Lady
Katherine Amberley (anak Lord Stanley dari Aderley )dan ayahnya Viscaount John Amberley. Bertrand
Russell adalah cucu negarawan Victorian Lord John Russel---politisi Whig yang mengeluarkan
reformasi Bill tahun 1832. Orang tuanya
meninggal saat Bertrand Russell masih kecil lalu dipelihara oleh kakeknya Lord
John Russell. Masa kecilnya, Bertrand Russel tidak pernah
mengenyam pendidikan dasar formal di sekolah,
Neneknya lebih menyukai pendidikan privat dengan mendatangkan guru
privat wanita dari Swiss, Jerman dan tutor Inggris. Tahun 1934, ia ke Amerika
Serikat dan menjadi staf pengajar di Universitas California. Tahun 1941-1943,
ia menjadi lector pada Barnes Fundation di Philadelphia. Tahun 1944 kembali ke
Inggris dan megajar di Cambridge. Meninggal di Penrhyndeudraeth-Wales Utara
pada usia 98 tahun, tepat tanggal 2 Februari 1970.
Bertrand Russell dibesarkan oleh keluarga Kristen yang saleh. Pengaruh pendidikan
agama diterima secara kritis lalu secara radikal menolak iman kepercayaan akan
Allah dan iman tentang adanya kehidupan kekal, kehendak bebas dan eksistensi
Tuhan (perspektif teologi Kristen).
Ketika belajar di Combridge ia mempertanyakan ajaran-ajaran religius
teologis serta kebenaran-kebenaran dan kepastian. Refleksinya dipengaruhi pandangan teori evolusi Darwin,
hegelianisme dan sahabatnya seperti G.E. Moore, Whiteheat dan
Giussepe Peano. Salah satu alasan
penolakan Russell adalah kenyakinanya pada teori evolusi biologis Darwin. Pernyataan
tersebut disampaikan atas pertanyaan seorang tutor ortodoks Swiss; “If you are a Darwinian, I pity you. For one
cannot be a Darwinian and a Christian at the same time”. Russell
menjawab: “Idid not then believe in
the incompatibility, but I was already clear that if I had to choose, I would
choose Darwin” Bahwa manusia hanya bisa berbicara
persoalan-persoalan positivistis yang bisa dibuktikan secara empiris,
observatif seperti dilakukan Darwin dengan Evolusionisme biologisnya. Sedang
persoalan religious-teologi yang abstrak, metafisis yang dijarakan teologi
Kristen berada diluar realitas empiris yang sulit mengapai jawaban final.
Tahun 1900 dalam Kongres
Internasional Filsafat bertemu Giuseppe Peano---teoretikus matematika Italia---dan
segera melihat pentingnya ide-ide sendiri tentang pengertian dasar matematika, selama musim gugur tahun 1900, ia
menyelesaikan karya besarnya yang pertama, Prinsip-Prinsip Matematika .
"Secara intelektual," dia kemudian menulis, "ini adalah titik
tertinggi dalam hidup saya." Dengan
Whitehead dia menunjukkan bahwa matematika---terutama, aritmatika, tetapi pada
prinsipnya, semua matematika---adalah perpanjangan dari logika, bahwa tidak ada
konsep underived dan tidak ada asumsi belum terbukti perlu diperkenalkan selain
yang murni logika. Hasilnya diterbitkan sebagai Principia Mathematica
dalam tiga volume (1910-1913).
Selama Perang Dunia Pertama, Russel
menjadi terkenal karena pasifisme (paham yang menentang penggunaan kekuatan dan
kekerasan dalam kondisi apapun; utamanya penentangan terhadap alasan-alasan
yang membenarkan seseorang terlibat dalam perang bersenjata) yang
terang-terangan dan mendapat hukuman penjara selama enam bulan. Setelah perang
aktivitas Russel menjadi semakin
radikal. Mendirikan sekolah progresif untuk memberikan
kemerdekaan yang genuine kepada anak-anak dan menghindarkan mereka dari
pelbagai represi pendidikan konvensional. Pada 1949 diberi penghargaan warga negara
sipil paling terhormat di Inggris, “Order of Merit”. Pada tahun 1950 Russell memenangkan Hadiah
Nobel sastra untuk "tulisan-tulisannya sebagai juara kemanusiaan dan
kebebasan berpikir." Russell
meninggalkan pasifisme di awal Perang Dunia II, tetapi melanjutkan aktivitasnya
di gerakan perdamaian. Dia memimpin "Ban Bom" di Inggris, mengambil
bagian dalam demonstrasi di usia 89---menjalani hukuman penjara 7-hari. Campur
tangan dalam krisis rudal Kuba, dan menentang keterlibatan Amerika di
Vietnam.
Bertrand Russell figur pemikir-bebas dan filosof yang
kontroversial. Karya-karyanya terkenal luas dalam berbagai bidang: filsafat,
bahasa, politik, sains, hingga agama. Meski dikenal dengan pandangannya yang
keras dan kritis terhadap agama, namun sosiolog Max Weber menyebutnya “laki-laki kalem yang religius”. Ribuan
pembacanya bahkan menganggap Russell sebagai guru spiritual yang sederajat
dengan tokoh-tokoh mistik seperti Tagore, Albert Schweitzer, dan guru spiritual
lain di jaman kita. Meskipun lemah dalam
penampilan, ia kuat dan aktif sepanjang sebagian besar hidupnya, terlibat dalam
kontroversi sosial dan politik sampai meninggal di Penrhyndendraeth, Wales, 2
Februari, 1970.
B. Logika sebagai Esensi dari Filsafat
Permasalahan yang dihadapi para filsuf menurut Russell
adalah terkadang terlalu berlebihan dan
selalu berusaha mencapai sesuatu yang terbaik. Keadaan ini tidak mungkin bisa dicapai karena
disamping para filsuf kurang tepat melihat permasalahan filsafat juga metode
yang digunakan untuk pemecahannya.
Menurut Russell permasalahan filsafat dan metode filsafat selama ini
tidak mudah untuk dipahami atau dirumuskan .
Bahkan ada beberapa permasalahan yang sudah mulai ditinggalkan namun
sebenarnya masih bisa dipecahkan melalui metode-metode yang tepat dengan
tingkat pengetahuan yang lebih maju. Merumuskan
permasalahan ini, Russell membaginya ke dalam 3 tipe besar:
a. Tipe
pertama disebut tradisional klasik diwakili pemikiran Kant dan Hegel mengenai kecenderungan
mengadopsi pemecahan permasalahan yang terjadi dengan metode dan hasil yang
dicapai di masa Plato dan para filusuf Yunani yang menekankan rasio. Metode deduksi apriori digunakan untuk
mengkaji fenomena yang ada. Semua realita adalah suatu kesatuan dan tidak ada
perubahan sementara Sense yang ada dalam dunia merupakan ilusi. Keganjilan dari
hasil yang diperoleh oleh para filusuf tidak membuat mereka merasa cemas karena
bagi mereka rasio merupakan satu-satunya keabsahan yang sahih. Ketika para filsuf
yang jadi acuan meninggal, ajarannya
terus dipertahankan dengan menggunakan kekuasaan, tradisi, kekuatan hukum dan
otoritas agama. Di Inggris, rasio apriori
digunakan untuk mengungkapkan rahasia tentang dunia dan membuktikan
kenyataan seperti yang tampak. Logika Tradisional Klasik dikonstruksikan melalui proses negasi. Dunia
dibentuk oleh logika dengan sedikit peran dari pengalaman. Dunia, menurut tipe
ini, merupakan ”organic unity”,
dimana bagian-bagiannya yang berbeda bergabung menjadi satu dan bekerja sama
karena mereka sadar bahwa mereka berada dalam satu tempat yang sama sebagai
satu kesatuan. Intinya tipe ini merupakan penggabungan antara pemikiran Yunani
yang menekankan pada rasio dan abad pertengahan yang menkankan pada
kesempurnaan alam semesta.
b. Tipe kedua adalah
Evolusionisme, dimulai dari pemikiran
Darwin hingga Herbert Spencer dan perkembangan selanjutnya didominasi pemikiran William James dan Bergson.
Evolusionisme, percaya pada dirinya yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan,
sebuah pembebasan dari harapan-harapan, memberikan inspirasi dalam menghidupkan
kembali kekuatan manusia. Evolusionisme ini bukan ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya, dan juga bukan metode untuk memecahkan masalah. Filsafat ilmiah
yang sesungguhnya adalah suatu yang lebih kuat sekaligus lebih longgar, menguak
harapan-harapan tentang keduaniaan dan membutuhkan beberapa disiplin supaya
berhasil dalam mempraktekkannya. Logika, matematika, fisika hilang dalam tipe
ini disebabkan karena mereka terlalu statis. Apa yang nyata adalah sesuatu yang
mendesak dan bergerak menuju pada satu tujuan. Terdapat 2 kritik terhadap hal
ini; pertama, kebenaran tidak
mengikuti apa yang telah dihasilkan ilmu pengetahuan yang selalu memperhatikan
fakta yang mengalami evolusi. Kedua,
motif dan kepentingan diinspirasikan oleh praktek-praktek eklusif. Hal yang
paling penting dalam tipe Evolusionisme adalah pertanyaan tentang tujuan
manusia atau setidaknya tentang tujuan hidup manusia. Evolusionisme lebih
tertarik pada moralitas dan kebahagiaan dari pada pengetahuan semata.
c. Tipe Ketiga adalah yang disebut Logika Atomisme, melihat filsafat
melalui metode kritis matematika bertujuan mengupas habis struktur hakiki
bahasa dan dunia melalui jalan analisis. Menurut Russell filsafat bertugas
menganalisa fakta-fakta. Bagi Russell suatu proposisi terdiri dari
kata-kata, yang menunjukkan kepada data inderawi (sense-data) dan
universalia (universalis), yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi. Proposisi atomis, sama sekali tidak
mengandung unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu
fakta atomis. Bahasa sepadan dengan dunia dan melalui bahassa kita dapat
menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada. Bahasa menggambarkan realitas
(bahasa sempurna) terlepas dari kedwiartian dan kekaburan, yaitu bahasa logis
yang dirumuskan dalam principia mathematica. Dengan proposisi atomis
kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya menggunakan kata ”dan” atau
”atau” dihasilkan suatu proposisi molekuler (molecular
proposition). Tetapi tidak ada fakta molekuler yang hanya menunjuk pada
fakta-fakta atomis. Kebenaran atau ketidak benaran suatu proposisi molekuler
tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis yang terdapat di
dalamnya. Jadi fakta-fakta yang atomis menentukan benar tidaknya proposisi apa
pun juga. Atau perkataan Russell adalah ”molecular proposition are
truth-function’s of propositions.
C. Serangan Balik Terhadap Idealisme
Dalam perkembangan
sejarah filsafat Barat, terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran
kefilsafatan; Idealisme berpusat di Jerman dan Empirisme
di Inggris.
Pertentangan dua aliran tersebut terjadi sejak akhir abad 18 (Kaelan, 1998) tapi sejak pertengahan abad
19, Idealisme mulai mendominasi di Inggris, dengan sebutan Neo-Idealisme---reaksi atas materialisme dan positifisme.
Menurut aliran idealisme, realitas terdiri atas; ide-ide,
pikiran-pikiran, akal, jiwa dan bukan
benda-benda material. Idealisme menyatakan bahwa mind
atau jiwalah yang real sementara materi hanya
produk sampingan dari mind.
Menurut Idealisme, bahwa realitas
dasar terdiri atas ide, pikiran dan jiwa yang ketiganya
berhubungan
erat sebagai realitas sesungguhnya. Dunia diartikan berlainan dari
indera
dan segalanya ditafsir dengan hukum-hukum pikiran dan
kesadaran.
Penganut idealisme
yang
berpengaruh besar di Inggris; Francis Herbert Bradley (1846-1924) pendapatnya
tentang hubungan antara pemikiran dengan realitas merupakan kritik terhadap
teori pengenalan dari paham empirisme.
Menurut Bradley, metode kaum empiris merupakan kesalahan sebab mereka kurang
memperhatikan keputusan (judgements) atau proposisi.
Reaksi atas kondisi
tersebut, memunculkan
Neo-Realisme dengan tokoh penting; George Edward Moore, Alfred Nort Whitehead, dan Samuel
Alexander,
menyusul Bertrand Rusell dan beberapa filsuf lingkungan
Wina seperti Ludwig Wittgeinstein, dan Alfred Yulles Ayer. Cara berpikir Neo-Realisme penyelidikan terhadap linguistik dan logika
analisa dari istilah-istilah, konsep-konsep, dan preposisi-preposisi---berbeda dengan Neo-Idealisme bahwa dunia adalah
satu kesatuan mutlak yang tak terbagi-bagi.
Aliran Neo-Realisme merupakan serangan balik dari aliran pemikiran
filsafat yang telah lama berkembang di Inggris. berkatian dengan tradisi
empirisme-materialisme, yang berakar dari pemikiran Jhon Locke, David Hume, dan
John John Stuart Mill. Neo-Realisme ingin menjauhkan diri dari implikasi metafisika
dan konsep pluralisme yang dikembangkan oleh para penganut Neo-Hegelianisme. Mereka meninjau kembali metode analisa
bahasa
yang diarahkan pada penyelidikan bahasa. Akhirnya muncullah
istilah-istilah seperti, Empirisme Logis, Positivisme Logis, Neo-Positivisme, Analisa Linguistik, Analisa Semantik, Filsafat Bahasa dan Filsafat Analitik (Asep Hidayat, 2006). Istilah yang
terakhir merupakan salah-satu yang populer dalam perkembangan filsafat abad 20. Filsafat analitis
lahir sebagai respon atas kerancuan dan permasalahan dalam menjelaskan dan
menguraikan ungkapan-ungkapan filosofis
yang digunakan untuk membahas, menjelaskan dan memecahkan
masalah filsafat dengan menggunakan analisa bahasa, ataupun melalui analisis linguistik. Salah-satu teori dalam
filsafat analitis adalah Atomisme Logis
dinisbatkan pada Ludwig Wittgenstein dan Bertran Russel.
Pemikiran atomisme logis lebih dulu
dikembangkan Wittgenstein dalam “Tractatus Logico Philosophicus”.
Namun aliran atomisme logis pertama kali
dikemukakan Bertrand Russell dalam artikelnya “Contemporary British
Philosophy” terbit tahun 1924.
D. Atomisme Logis
Bertrand Russell
penganut empirisme mengikuti jejak John Locke dan David Hume. Atomisme Logis dipilih oleh
Russel menunjukkan pengaruh David Hume
dalam An Enguary Concerning Human Understanding tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua
ide yang kompleks terdiri dari ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis sebagai ide terkecil. Filsuf menurut Hume hendaknya melakukan analisis psikologis terhadap ide. Atomisme psikologis
Hume ditolak oleh Russell
sebab yang seharusnya dianalisis bukan pada aspek psikologis,
melainkan terhadap proposisi-proposisi ( Kaelan, 1998. Dalam menyusun
logika atomisme logisnya, juga tampak
pengaruh Bradley, dimana realitas itu terwujudkan dalam
suatu bahasa yang merupakan suatu proposi-proposisi. Logika atomisme Russell
merupakan empirisme yang didasarkan pada putusan-putusan atau proposisi dan
bukan atas ide-ide. Russell menolak pandangan metafisik dari
idealisme melainkan formulasi logika dan paling fundamental dalam filsafat.
Konsep pemikiran atomisme logisnya Russell membuat
sintesis berbagai macam pemikiran dari para filsuf sebelumnya maupun filsuf
sejamannya.
Atomisme logis
Russel bertolak dari tiga poin
sebagai tujuan filsafat; pertama, mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang
paling padat dan sederhana untuk merumuskan dengan
jelas sintesisnya. Kedua,
menghubungkan logika dan matematika bahwa antara ilmu eksak dan sastra tidak dipisahkan. Logika dan tata
bahasa tidak hanya penting untuk bahasa namun merupakan dasar bagi matematika.
Ketiga, analisis bahasa yakni mencari pengetahuan yang benar sehingga akan didapat pengetahuan yang benar tentang realitas. Di samping itu,
filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Seperti zoologi yang
bertugas menentukan jenis-jenis binatang. Fakta yang dimaksud ialah ciri-ciri
atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda. Fakta-fakta tidak
dapat bersifat benar atau salah. Yang dapat bersifat benar atau salah adalah proposisi
yang mengungkapkan fakta-fakta. Dengan kata lain, proposisi merupakan simbol
dan tidak merupakan bagian dari dunia. Suatu proposisi yang terdiri dari
kata-kata, yang menunjukkan pada data inderawi (sense-data) dan universalia,
yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi.
Kerena suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta
atomis, Russell menyimpulkan bahwa bahasa sepadan dengan dunia. Bahasa
melukiskan realitas. Melalui bahasa kita menemukan fakta-fakta jenis mana yang
ada. Tapi harus
ditekankan di sini, yang dimaksud Russell dengan bahasa bukanlah bahasa biasa,
melainkan bahasa yang sempurna, yang sama sekali terlepas dari kedwiartian dan
kekekaburan. Bahasa logis atau bahasa logika yang dirumuskannya dalam karyanya Principia
Mathematica
(K. Bertens, 2002).
Menurut Russell,
bahasa logika sangat membantu aktivitas analisis bahasa. Teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika menurutnya akan mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan
struktur realitas
(Asep Hidayat, 2006). Russell mengkritik
George Edward Moore, yang menganjurkan untuk memakai bahasa biasa sebagai alat
analisis. Moore mendasarkan analisisnya pada Common Sense atau akal sehat. Ia beranggapan bahwa bahasa
sehari-hari atau bahasa alamiah telah memadai untuk berfilsafat(Kaelan, 1998). Bagi Russel hal
itu tidak tepat, karena tujuan filsafat tak hanya mengkritisi ungkapan-ungkapan
para filsuf neo hegelianisme, tetapi bermaksud
membangun corak filsafat saintifik.
Bahasa biasa, menurut Russel, memiliki sususan yang
buruk. Selain itu banyak mengandung
makna ganda. Jika kita tetap bersikeras menggunakan bahasa biasa sebagai alat
analisa, akan menjadi penghalang besar bagi kemajuan filsafat(Kaelan, 1988). Prinsip analisis
yang diterapkan Russel dalam konsep atomisme logisnya memiliki konsekuensi
dirumuskannya ungkapan bahasa yang memiliki formulasi logis. Dengan kata lain,
perlu ditentukan formulasi logis dalam ungkapan bahasa. Russel
mengungkapkan, problema filsafat muncul justru karena keterbatasan bahasa
sehari-hari dan penyimpangan penggunaan bahasa dalam filsafat. Hal ini
dikarenakan kurang dipahaminya formulasi logika dalam ungkapan-ungkapan bahasa.
Struktur gramatika belum tentu dapat menentukan struktur logis dari suatu
ungkapan bahasa. Menurut Russell,
ada suatu kalimat yang memiliki struktur gramatikal yang sama namun berbeda
dalam hal struktur logisnya. Misalnya kalimat Lions are yellow dan Lions
are real. Kedua kalimat itu memiliki struktur gramatikal yang sama. Namun
struktur logisnya berbeda
(K. Bertens, 2002). Dalam hal ini, Russell menginginkan penggunaan metode
saintifik untuk cara kerja filsafat. Ia berharap dengan begitu, filsafat
menjadi bercorak ilmiah.
Tugas filsafat
merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta. Analisis logis ialah pemikiran didasarkan metode
deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori. Sedang sintesis logis ialah
proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik sehingga melahirkan pengetahuan yang baru.
Russell
mendahulukan analisis logis karena teori yang didasarkan pada fakta-fakta
empirik tidak akan menjangkau pengetahuan universal. Dengan metode tersebut, Russell menyusun
teori atomisme logisnya berijak pada bahasa logika dengan melakukan
kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk mendapatkan apa yang
disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis. Seluruh pengetahuan
akan dapat diungkap jika menggunakan bahasa logika
dan analisis yang
benar akan menghasilkan pengetahuan
yang benar tentang realitas (hakikat sesuatu
dari dunia).
Unsur terkecil dari
bahasa, yakni proposisi atomis (pada dasarnya
merupakan proposisi atomik tentang dunia). Suatu proposisi
terdiri dari kata-kata yang menunjukkan data inderawi dan universalia atau
ciri-ciri atau relasi-relasi.
Russell kemudian
menjelaskan tentang adanya dua proposisi dalam suatu kalimat yakni, Proposisi Atomis dan Proposisi Molekuler atau Majemuk. Sebagai contoh; data indera yang
disebut ‘putih’ ditunjukan dengan
nama diri yang logis. Proposisi ini disebut
proposi atomis, karena tidak mengandung unsur-unsur molekul atau
majemuk. Namun kata ‘putih’ berdiri di samping warna merah, biru, hitam dan
lain sebagainya
maka suatu proposisi atomis dengan sendirinya mengungkapkan
fakta atomis tentang dunia.
Jika suatu proposisi atomis benar-benar menggambarkan
dunia fakta, maka proposisi molekuler dengan sendirinya menjadi benar, karena
ia menggambarkan suatu dunia fakta. Tidak mungkin dikatakan benar, jika suatu
kalimat tidak mengandung suatu proposisi yang menggambarkan fakta. Tidak juga
dikatakan benar, jika ia tidak mengandung fakta-fakta atomis. Kita dapat
membentuk proposisi majemuk, misalnya dengan memakai kata ‘dan’, ‘atau’, dan
sebagainya---tetapi perlu diingat, bahwa tidak ada fakta majemuk atau
molekuler. Russell mengakui kalau ada
proposisi yang
tidak bergantung pada adanya proposisi atomis. Misalnya, proposisi yang
menyatakan; “semua manusia akan mati”. Proposisi ini tidak
bergantung pada rangkaian si A akan mati, si B akan mati,
dan seterusnya, melainkan bergantung pada fakta umum. Contoh lain adalah
proposisi yang mengatakan ‘tidak ada kuda berkaki sepuluh.’ Proposisi ini
menjadi benar atau tidak benar berdasarkan sifat fakta (K. Bertens, 2002). Begitu juga dengan
proposisi negatif seperti “tidak ada angsa
yang tidak putih”, kebenarannya bergantung pada fakta bahwa tidak ada
angsa yang tidak berwarna putih.
E. Teori Pengetahuan
Para ilmuan berpendapat bahwa pengetahuan
yang benar hanya bidang-bidang yang bisa diuji dengan pasti seperti matematika
dan ilmu alam dan keberadaan hanya bisa di pastikan secara eksperimental,
observatif, matematis dalam ruang dan
waktu. Dengan demikian, saintisme merupakan suatu ideologi materialistik pengetahuan dan kebenaran yang sahi terdapat
dalam batas lingkup ilmu-ilmu alam. Di
bidang kultur, Tuhan bukanlah pusat sejarah, melainkan manusia. Manusia adalah
segala-galanya. Manusia akhirnya lebih mengandalkan dan mencintai ilmu–ilmu
positif yang konkrit dan dapat dipertanggung jawabkan secara empirik, sementara
pengetahuan transenden tergusur dengan sendirinya. Iman dan akal saling
berlawanan. Akhirnya akal budi menemukan otonomi dan autoritas terhadap iman
yang boleh menyimak realitas yang bukan batasanya menurut metodologi akal.
Menurut Russell “setiap peraturan tingkah-laku manusia
harus diuji secara akal. Penderitaan manusia terjadi karena manusia tidak setia
terhadap prinsip-prinsip rasional”. Segala
realitas ditelaah secara ilmiah melalui metode saintifik. Peran gemilang ilmu
pengetahuan ilmiah secara sistimatis, konkrit dan
komprehensif dipaparkan dalam karya “ The Impact of Science on Society”. ilmu
pengetahuan ilmiah mampu menjawab segala problem manusia. Sebab ilmu
pengetahuan dapat memampukan kita untuk mengetahui sesuatu dan melakukan
sesuatu. Berpijak pada metode observatif
saintifik, Russell bahwa kebenaran yang pasti hanya
dicapai lewat telaah ilmu pengetahuan ilmiah, Tuhan dan agama sebagai penegasan
atas realitas mutlak dimengerti secara ilmiah.
Russell mengawali permenungan
filosofinya dengan pertanyaan; apakah
ada pengetahuan di dunia yang begitu pasti sehingga tidak ada satupun manusia
rasioanal dapat meragukannya? Menjawab pertanyaan tersebut, Russell mengajarkan
agar terlebih dahulu kita memahami dunia. Persis disisni kita membutuhkan satu
pencerahan budi untuk memecahkan persoalaln yang tengah didahapi. Kesadaran ini
ada karena kita menginginkan satu kejelasan mendasar dan terlepas dari hal-hal yang dogmatis. Meretas ketidakjelasan dan ketidakpastian
realitas Russelll menggunakan teori pengetahuan akan realitas melalui
pengenalan dan deskripsi; pengetahuan pengenalan memgandaikan bahwa kita
mengenal sesuatu tanpa perantara dari segala proses penyimpulan atau segala
pengetahuan tentang kebenaran. Kita mengenal benda yang kita sadari secara
langsung. Sementara pengetahuan deskripsi itu sebuah objek diketahui tanpa mengahdirkan secara real
obyek itu. Jadi pengetahuan deskripsi adalah pengetahuan akan sesuatu benda
atau barang melalui gambaran yang diberikan.
Russell membangun teori pengetahuan tersebut untuk menghindari jawaban dogmatis
dan kaku atas pertanyan-pertanyaan yang hakiki dan mendasar akan realitas atau meretas
keraguan manusia akan segala sesuatu dengan satu pengetahuan yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Russell tidak mengingikan satu
pengetahuan yang kaku melainkan sesuatu pengetahuan yang kebenarannya dapat
dibuktikan secara ilmiah.
Teori kepercayaan dan kebenaran secara
terperinci terurai dalam The Pincipia of Matematica. Dalam teori ini Russell
mendefenisikan kepercayaan sebagai
suatu sikap batin kepada obyek tertentu.
Kepercayan adalah suatu sikap mental batin yang terarah kepada obyek dari
sebuah proposisi, yang dipandang sebagai seatu realitas obyektif yang
asli. Isi kepercayan ditentukan oleh proposisi-propsisi
yang dikategorikan atas tiga macam dan saling
berhubungan; (1) Kepercayaan yang isinya hanya terdiri dari kata-kata (2)
Kepercayaan terdiri dari symbol dan gambar. (3) Kepercayaan yang isinya
terdiri dari kata-kata, symbol dam gambar.
Russell sampai pada satu kesimpulan bahwa kerpercayaan lahir dari
perasaan tertentu yang tertuju pada isi kerpercayaan yang dikelompokkan dalam
tiga model; ingatan atau memori, pengharapan atau expectation dan persetujuan,
penerimaan.
E. Sains dan Etika
Kajian tentang etika, secara
tradisional terdiri dua bagian; satu bagian mengenai “aturan-aturan moral”,
bagian lain “apa yang baik dalam dirinya sendiri”. Aturan-aturan tingkah laku,
banyak di antaranya memiliki asal-muasal ritual, memainkan bagian terbesar
dalam kehidupan orang liar dan orang-orang primitive. Aturan-aturan moral lain, semisal larangan membunuh
dan mencuri, memiliki kegunaan sosial lebih jelas. Namun ketika manusia menjadi
reflektif, memberikan lebih sedikit penekanan terhadap aturan-aturan moral dan
lebih banyak pada cara berpikir (state of mind).” (Russel, 2005). Lalu apakah
yang bisa kita jadikan sebagai patokan bagi nilai? Russel kemudian menjelaskannya
dengan tawaran “pertimbangan hati nurani”. Namun disini terdapat dua kesulitan yang berbeda dalam teori tersebut (hati nurani);
pertama, hati nurani mengatakan hal yang berbeda terhadap orang-orang yang
berbeda; kedua, memberi kita pemahaman mengenai sebab-sebab duniawi dari berbagai
perasaan yang berkaitan dengan hati nurani.” (Russel, 2005). Kenyataannya hati-nurani merupakan produk
dari pendidikan, dan dapat dilatih untuk merestui atau mencela, dalam sebagian
besar umat manusia, ketika mungkin dianggap sesuai oleh para pendidiknya.”
(Russel, 2005). “Oleh karenanya,
sementara benar jika kita ingin membebaskan etika dari aturan-aturan moral
eksternal, ini tidak dapat dicapai secara memuaskan dengan menggunakan gagasan
tentang “hati-nurani”.” (Russel, 2005).
Sangat “kabur”nya pengertian hati
nurani, Russel tidak sepakat melandasi etika dengan pertimbangan “hati nurani”. Russel lalu mengambarkan bentuk rasional
untuk pertimbangan nilai tentang apa yang dikatakan sebagai “Kebaikan”. Para filosof telah membentuk konsepsi-konsepsi yang berbeda
tentang Kebaikan. Sebagian berkeyakinan berada dalam pengetahuan dan cinta akan
Tuhan; sebagian lagi dalam cinta universal; yang lainnya lagi dalam
kesenangan.” (Russel, 2005). Mengatakan ini atau itu adalah “Kebaikan”, membawa diri
kita sendiri terlibat dalam kesulitan. Dalam persoalan ilmiah, bukti dapat
dikemukan pada kedua pihak, dan akhirnya ada satu pihak memiliki alasan yang
lebih baik, atau jika ini tidak terjadi, persoalan tetap dibiarkan tidak-terselesaikan.
Tetapi dalam pertanyaan yang berkaitan dengan apakah ini atau itu merupakan “Kebaikan
tertinggi”, tidak ada bukti apa pun; masing-masing pendebat menyerukan emosi-emosinya sendiri, dan
menggunakan alat-alat retorik sebagai karang-karangan yang memunculkan
emosi-emosi yang sama pada pihak lain.” (Russel, 2005).
Seluruh gagasan tentang baik dan buruk
memiliki hubungan tertentu dengan hasrat. Segala hal yang kita dambakan adalah
“baik” dan segala hal yang kita takutkan adalah “buruk”. Jika kita semua
sepakat dengan hasrat-hasrat kita, masalah tersebut dapat ditinggalkan di sana,
tetapi sayangnya hasrat-hasrat kita saling bertentangan.” (Russel, 2005). Etika yang diupayakan banyak filsuf adalah
etika yang objketif. Untuk melihat bagaimana etika bisa objektif (yang hal ini
diragukan sendiri oleh Russel), kita bisa menganalisis dari “pernyataan-pernyataan
bernilai” berikut ini; ketika seseorang mengatakan “ini baik dalam dirinya
sendiri”, tampak sama ketika dia
mengatakan “ini adalah kubus” atau “ini rasanya manis”. Saya menganggap bahwa
apa yang sebenarnya dimaksudkan orang tersebut adalah: “Saya menginginkan
setiap orang menginginkan ini”, atau bahkan” Akankah setiap orang menginginkan
ini”. Jika yang dikatakannya diinterpretasikan sebagai sebuah pernyataan, ia
sekadar merupakan peneguhan atas keinginan pribadi sendiri; jika, di sisi lain,
diinterpretasikan dengan cara umum, ia tidak menyatakan apa pun, tetapi sekadar
menginginkan sesuatu. Keinginan tersebut, sebagai sebuah kejadian, bersifat
personal, tetapi apa yang diinginkannya bersifat universal.
Jika seorang filosof mengatakan
“Keindahan itu baik”, saya mungkin menginterpretasikannya sebagai bermaksud
“Bukankah setiap orang mencintai keindahan”.” (Russel, 2005). “Kalimat pertama dari kalimat-kalimat ini
tidak membuat penegasan apapun, tetapi mengekspresikan sebuah keinginan, karena
ia tidak meneguhkan apapun, secara logis tidak mungkin bahwa harus ada bukti
yang digunakan untuk mendukung atau melawannya, atau karena ia harus memiliki
kebenaran dan kesalahan kesalahan sekaligus. Kalimat kedua, alih-alih sekadar
merupakan pilihan, benar-benar mengungkapkan pernyataan tertentu, tetapi itu
adalah pernyataan tentang keadaan pikiran sang filosof, dan ia hanya dapat
disangkal dengan bukti bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk mengatakan apa
yang telah dia katakan. Kalimat kedua
bukan wilayah etika, tetapi wilayah psikologi atau biografi. Kalimat
pertama, yang benar-benar merupakan bagian etika, mengekspresikan sebuah hasrat
akan sesuatu, tetapi tidak menegaskan apa pun.” (Russel, 2005).
Umat manusia menginginkan bahwa ia
seharusnya bahagia, atau sehat, atau cerdas, atau menyukai-perang, dan
seterusnya. Setiap keinginan ini, jika memang kuat, akan memproduksi
moralitasnya sendiri; tetapi jika kita tidak memiliki keinginan-keinginan umum
semacam ini, perilaku kita, apapun mungkin etika yang kita miliki, hanya akan
melayani tujuan-tujuan sosial sejauh kepentingan pribadi dan
kepentingan-kepentingan masyarakat dapat selaras. Adalah tanggung jawab
institusi-institusi yang bijak untuk menciptakan keselarasan semacam ini sejauh
itu dimungkinkan, dan untuk yang lainnya, apapun mungkin definisi teoritik kita
tentang nilai, kita harus bergantung pada eksistensi hasrat-hasrat impersonal.”
(Russel, 2005). Landasan setiap teori
etika dan nilai adalah apapun yang akan dilakukan dan dipilih, satu hal yang
mesti tetap dipegang adalah pencapaian kebahagiaan umat manusia: “Apapun definisi kita tentang “Kebaikan” dan
apakah kita mempercayainya sebagai subjektif atau objektif, mereka yang tidak
menginginkan kebahagiaan umat manusia tidak akan melakukan upaya
melanjutkannya, sementara mereka yang benar-benar menginginkannya akan
melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan untuk mewujudkannya.” (Russel,
2005). Sains bagi Russel tidak dapat
memutuskan persoalan nilai, karena ia berjalan dengan aturan yang unik
(metode-metode ilmiah) demi kemajuan sains itu sendiri. Pengetahuan apapun yang
dapat dicapai, harus dicapai melalui metode-metode ilmiah; dan apa yang tidak
dapat ditemukan sains, umat manusia tidak dapat mengetahuinya.” (Russel, 2005).
F. Sains dan Agama
Teori Russel mengenai nilai
dikemukakannya dalam karyanya yang
fenomenal “Religion and Science” (Agama dan Ilmu) pertama kali diterbitkan pada
1935, mengalami cetak ulang selama lebih dari dua puluh empat kali. Russel
memandang sains sebagai upaya untuk memahami dunia pengalaman melalui hukum
yang tak terputus-putus (unbroken law), dan agama baginya, merupakan sebuah
fenomena kompleks dengan klaim-klaim (kredo) mengenai hal-hal yang dianggap
mutlak (Frondizi, 2001)
Baginya, agama dan sains telah lama terlibat dalam perang, dengan mengklaim teritori, gagasan-gagasan, dan kesetiaan-kesetiaan yang sama untuk mereka masing-masing. Perang ini telah dimenangkan oleh sains secara menyakinkan. Semenjak Kopernikus, sains dan teologi mengalami ketidaksepakatan, sains terbukti menang. Kita juga telah melihat bahwa, di mana persoalan-persoalan praktis dilibatkan, seperti dalam perdukunan dan pengobatan, sains berhasil mempertahankan usaha mengurangi penderitaan manusia, sementara teologi telah mendorong kekejaman alami manusia. Penyebaran pandangan ilmiah, sebagaimana dipertentangkan dalam pandangan teologis, tak dapat disangkal selama ini telah berguna bagi kebahagiaan manusia.” (Russel, 2005). Matinya agama, hilanglah takhayul, penindasan dan kebencian. Keberhasilan sains, datanglah pemahaman dan kebebasan serta cinta kasih. Sebagian konflik-konflik yang lebih menonjol antara para teolog dan para ilmuan selama empat abad terakhir, dan kita telah berusaha menilai hubungan antara sains masa-sekarang dengan teologi masa-sekarang.
Baginya, agama dan sains telah lama terlibat dalam perang, dengan mengklaim teritori, gagasan-gagasan, dan kesetiaan-kesetiaan yang sama untuk mereka masing-masing. Perang ini telah dimenangkan oleh sains secara menyakinkan. Semenjak Kopernikus, sains dan teologi mengalami ketidaksepakatan, sains terbukti menang. Kita juga telah melihat bahwa, di mana persoalan-persoalan praktis dilibatkan, seperti dalam perdukunan dan pengobatan, sains berhasil mempertahankan usaha mengurangi penderitaan manusia, sementara teologi telah mendorong kekejaman alami manusia. Penyebaran pandangan ilmiah, sebagaimana dipertentangkan dalam pandangan teologis, tak dapat disangkal selama ini telah berguna bagi kebahagiaan manusia.” (Russel, 2005). Matinya agama, hilanglah takhayul, penindasan dan kebencian. Keberhasilan sains, datanglah pemahaman dan kebebasan serta cinta kasih. Sebagian konflik-konflik yang lebih menonjol antara para teolog dan para ilmuan selama empat abad terakhir, dan kita telah berusaha menilai hubungan antara sains masa-sekarang dengan teologi masa-sekarang.
Alcapone, 31 Desember
2015
G. Daftar Pustaka
Asep
Hidayat, Filsafat Bahasa, Rosda Karya, Bandung, 2006
Kaelan,
Filsafat Bahasa, Paradigma, Yogyakarta, 1998
Bertrand
Russell, The Impact of Science In Society, London Sidney Welington,
NWIN Papersbacks,1952.
__________,
The Life and Wisdom of Bertrand Russell, dalam AL. Seckel, (Ed.)
Bertrand Russell On God & Religion, Buffalo, New
York,1986.
__________,
The Problems of Philosophy, Diterjemahkan oleh Ahmad Asnawi, Oxford
University Press, 1912.
Ayer,
A. J., Bertrand Russell, Chicago & London: University of Chicago
Press, 1972.
Bakker,
A., Metode-Metode Filsafat, Jakarta; Lalia, 1984.
Bakker,
Anton dan Ahmad Charis, Metodologi Penelitian Filsafat Yogyakarta,
Kanisius 1994.
Bertens,
K., Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
Diane
Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakan (Terj.),
Jakarta: Murai Kencana, 2001.
Dister,
Niko Syukur, Descartes, Hume dan Kant: Tiga tonggak Filsafat Modern,
dalam F.X. Mudji Sutrisno (Ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Jerman,
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Hammarsma,
Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT. Gramedia, 1990.
Laba
Lajar, Leo, Sekularisasi dan sekularisme: Autonomi terhadap Allah?
Dalam Alex Seran,& Embu Henriques (Ed.), Iman dan Ilmu: Refleksi
Iman Atas Masalah-Masalah Aktual, Yogyakarta; Kanisius, 1992.
Palmer,
Joy A., (Ed.), Fifty Modern Thinkers on Education, Yogyakarta: IRCiSoD,
2006.
Paul
Edwars, (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII & VIII, New
York: Macmillan Pub., 1967.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar