Kamis, 14 Januari 2016

Ibnu Rusyd; Filosof Muslim dari Andalusia







Kebenaran teks-teks ketuhanan tidak mungkin bertentang dengan akal budi, keduanya saling menguatkan dan mendukung karena keduanya anugerah Tuhan---Ibn Rusyd    

Manusia yang paling sempurna bukanlah manusia dengan otak yang sempurna melainkan yang dapat mempergunakan sebaik-baiknya dari bagian otaknya yang kurang sempurna---Aristoteles    



A.              Pendahuluan
Nama lengkap Abu al-Wahid Ibn Rusyd  (penulis Barat  menyebut: Averroes) asal Cordova ---masa kerajaan raja Magrib, Al-Manshur Ya’qub---salah satu kota terbesar di Andalusia sebelum disebut Spanyol. Ibn Bassam mengatakan: “Cordova merupakan tujuan terakhir, pusat kebanggaan, ibu kota, tempat yang tenteram bagi orang-orang mulia dan orang-orang bertaqwa dan negeri bagi orang-orang cerdik pandai, kota terpenting diantara kota-kota lainnya, tempat tersebarnya berbagai macam ilmu, qubbah al-islam (pusat peradaban islam), tempat munculnya pemimpin agama, tempat berkembangnya pemikiran yang lurus, ladang yang menghasilkan banyak intelektual dan laut yang menghasilkan cendikiawan yang cemerlang, dari langitnya muncul bintang-bintang bumi, bintang-bintang zaman, dan pendekar puisi dan prosa. Di sana disusun dan ditulis karya-karya yang menakjubkan.
Khalifah Al-Hakam (Al-Mustansir Billah Bin Abdulrahman al-Nashir Lidinillah, wafat 366 H), menaruh perhatian besar kepada ilmu. Ia mengirim orang untuk mencari (membeli) buku-buku ke wilayah timur, seperti Baghdad dan Mesir dan sebagai akibatnya banyak orang dalam kesehariannya bergerak dengan sungguh-sungguh menggeluti ilmu-ilmu kuno (karya-karya warisan yunani) dan mempelajari pandangan mereka. Ia juga mendorong para cendikiawan agar bergabung dengannya, dan ia juga menyediakan tempat tinggal serta perlindungan bagi mereka dari tindasan kaum fanatis. Keadaan berbalik setelah anaknya (Hisyam) berkuasa dan pengaruh pengawal pribadinya Abu Umar al-Ma’afiri al-Qahthani memerintahkan para ulama (tokoh agama) untuk membakar dan menghancurkan buku-buku  karya klasik meliputi ilmu logika, astronomi dan ilmu-ilmu kuno lainnya, selain buku-buku dalam bidang kedokteran dan hitung.
   Kakek Ibn Rusyd adalah Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Maliki, meninggal tahun 520 H, seorang qadhi (hakim) di Cordova, termasuk seorang faqif, ‘alim dan hafizh dalam bidang fiqh juga seorang ulama  madzhab Maliki, mengusai ilmu fara’idh dan ilmu ushul dan sangat dalam pengetahuannya tentang agama. Sebagimana kakeknya, ayahnya juga seorang faqih besar. Ibn Rusyd mempelajari kitab Al-Muwaththa’  dari ayahnya secara hafalan. Ibn Rusyd belajar fiqh tidak hanya dari ayahnya, juga dari Abu al-Qasim bin Basykuwal, Abu Marwan bin Masarrah, Abu Bakr bin Samhun, Abu Ja’far bin Abdul Aziz dan Abu Abdillah al-Madzari. Setelah mendalami kajian  fiqh dari berbagai guru, ia menyusun kitabnya yang monumental, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, di sana ia tuangkan sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat (dalam fiqh) serta alasan masing-masing.
     Kehidupan Ibn Rusyd yang paling penting  adalah hubungannya dengan penguasa negeri Maghrib yakni Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min bin Ali al-Qaisi al-Kumi, (Khalifah ini memadukan dua hal, yakni mendalami agama, mempunyai sifat wara’ dan taqwa pada satu sisi dan pada segi lainnya keinginannya yang kuat untuk mempelajari filsafat)---dikenalkan sebagai “sang cucu” oleh Ibn Thufail pemikir besar yang menguasai berbagi bidang filsafat dan hikmah.  Ibn Rusyd adalah seorang faqih, selalu mengkaji persesuaian antara akal dan syariat atau menggunakan qiyas syar’i, bahkan digunakan untuk mempertahankan penalaran rasional dan keseimbangan persesuaian antara filsafat dan agama. Namun kekhawatiran sebagian fuqaha konservatif dan klaim mereka mengenai agama dan filsafat serta perseteruan antara pemikir liberal dan ulama konservatif lalu pemikiran Ibn Rusyd  dikatakan kafir dan zindiq---didorong keinginan mereka untuk tampil mengusai suasana intelektual dan menuding ilmu-ilmu kuno (Yunani) sebagai ilmu terbuang yang tidak boleh digeluti.  Ibn Rusyd kemudian diasingkan ke Lausanne, sebuah tempat di dekat Cordova namun akhirnya Khalifah Al-Manshur mengundangnya ke Maroko untuk memulihkan nama baiknya dan memberi pengampunan.  Hingga akhirnya Ibn Rusyd meninggal dunia pada malam kamis tanggal 9 Shafar 595 bertepatan tanggal 10 Desember 1198.

B.         Ibn Rusyd Dan Aristoteles
             Ibn Rusyd mencurahkan pikirannya mempelajari karya-karya  Aristoteles sebagai komentar dan membuat ringkasan. Komentarnya atas karya-karya Aristoteles terdiri dalam tiga macam, (1) al-syarh al-akbar (komentar besar) (2) al-syarh al-Awsath (komentar menengah) dan al-Talkhish (ringkasan).  Karena komentar-komentarnya Ibn Rusyd disebut Al-Syarif (komentar atau pengulas). Aristoteles oleh Ibn Rusyd  dipandang sebagai yang penting di atas semua filosof sebelum maupun sesudahnya. Di dalam pengantar buku Physica, ia mengatakan; “penyusunan buku ini adalah orang yang paling berakal, dialah orang yang menyusun buku-buku dalam ilmu logika, fisika dan matematika dan lain-lain. Alasannya karena buku-buku yang ditulis sebelum kehadiran Aristoteles dalam bidang-bidang ilmu tersebut masih tidak layak diperhitungkan.  Bahkan dalam ringkasan buku De Anima, ia mengatakan; Kita bersyukur sekali kepada Allah karena Dia telah memilih dan memberi kesempurnaan kepada orang tersebut (Aristoteles) dan menempatkannya pada posisi tertinggi manusia yang tidak dapat dicapai oleh orang lain setiap masa. Ia terkesan dengan Aristoteles dan melihatnya tidak membuat kesalahan, sebab ia mengikuti metode burhani (demonstratif).
Jika ia melontarkan kritik terhadap pandangan orang lain, maka itu disebabkan pandangan tersebut tidak sesuai dengan filsafatnya serta prinsip-prinsip pemikiran dan filsafat Aristoteles. Dalam pengantar ringkasan buku Al-sama’ al-Thabi’I ia katakan: “Yang kami maksudkan dengan pendapat ini adalah agar kita dapat langsung mengambil buku-buku Aristoteles dan memperbaharui ungkapan-ungkapan ilmiah yang sesuai dengan pandangan yang paling kuat (paling sesuai) dan kita kesampingkan pandangan-pandangan tokoh klasik lainnya yang ada padanya. Jika itu kurang memuaskan dan tidak berguna untuk mengetahui pandangannya, maka kami mengambil pendapat tersebut di antara pendapat-pendapat para tokoh klasik, karena semua orang tahu bahwa cara itulah yang paling memuaskan dan menjadi landasan yang paling kokoh. Yang kami maksudkan dengan itu adalah karena banyak orang menolak pandangan Aristoteles tanpa mengetahui hakikat pandangan tersebut dan  itulah yang menjadi penyebab keengganan orang untuk mengetahui kebenaran yang ada di dalamnya atau sebaliknya.
Ibn Rusyd membela pandangan Aristoteles  tetapi tidak terikat dengan teks Aristoteles, karena menurutnya jiwa manusia senantisa menginginkan kebebasannya, maka jika engkau tidak mengikatnya dengan suatu teks maka akan engkau ketahui bagaimana ia berbuat dengan kebebasannya menafsirkan teks itu. Ibn Rusyd membuat komentar  karya-karya Aristoteles dan terpengaruh olehnya, maka ia pun dapat membangun pandangannya sendiri. Terakhir, tampaknya arah yang tepat dalam kajian mengenai pemikiran Ibn Rusyd dan teori-teorinya adalah menghilangkan jarak pemisah antara buku Aristoteles, yang dikomentari dan diringkas oleh Ibn Rusyd dan diberikannya juga pandangan dan teori-teorinya, dengan kapasitasnya sebagai seorang penulis yang menulis buku seperti Fashl al-Maqal, Manahij al-Adillah atau Tahafut al-Tahafut. Jika tidak demikian mengapa sampai Ibn Rusyd tertarik kepada Aristoteles sedemikian rupa sebagaimana tersebut diatas. Misalnya kita lihat Ibn Rusyd dalam menafsirkan buku Metaphysica karya Aristoteles. Ketika membahas pandangan Aristoteles tentang kekekalan alam, Ibn Rusyd langsung menjelaskan kelebihan Aristoteles dari orang lain, katanya: “Masalah ini merupakan yang paling sulit dan dalam hal itu kami katakan sekadar daya dan kemampuan kami dan sesuai dengan pendahuluan dan dasar-dasar yang dikemukakan dalam pandangan tokoh itu yang kami dapati, sebagaimana dikatakan oleh Alexsander (Murid Aristoteles) bahwa pandangannya adalah yang paling kecil tingkat kekeliruan dan paling banyak kesesuain dan kecocokannya dalam masalah wujud, dan paling jauh dari pertentangan.

C.               Pandangannya Sendiri
Kekhasan pandangan Ibn Rusyd adalah keyakinannya terhadap dasar-dasar kebenaran rasional  dan ajakan untuk menyesuaikannya dengan filsafat serta mengungkapkan sebagai panduan  berpikir benar.   Ibn Rusyd mengkritik para ulama kalam sebagai pakar jadal (perdebatan) bukan pakar burhan (pembuktian). Ia juga mengesampingkan tasawuf karena tasawuf  khusus untuk golongan tertentu saja.  Ibn Rusyd menghendaki dasar-dasar menyeluruh, umum dan jelas yang mudah membawa akal dalam menentukan hukum terhadap sesuatu dan pandangan tentang semua maujud. Dengan alasan itu ia menilai pentingnya logika Aristoteles serta ajaran-ajaran para filosof sebelumnya. 
Atas dasar itu juga ia menyerang orang-orang yang mengingkari pentingnya filsafat dan para filosof.  Ibn Rusyd mengatakan: “Tidak pantas kita mengacaukan ajakan para filosof seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali, karena orang berilmu tujuan sesungguhnya mencari kebenaran bukan membuat keraguaan dan mencela akal : “Jika ada Filosof yang salah dalam mendapat kebenaran, tidak dapat dikatakan bahwa ia sengaja menutupinya. Jelas bahwa para filosof itu pada dasarnya adalah mencari kebenaran, dan mereka tidak menutupinya. Harus dilakukan pemeriksaan dengan seksama mengenai ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan dan dipergunakan oleh orang-orang dulu dalam pemeriksaan dan oleh karenanya orang harus mendengarkan pendapat orang-orang yang berselisih dalam segala hal yang diperiksa, karena ia haruslah termasuk pendamba kebenaran. Mereka harus mendengarkan argumentasi orang-orang tersebut selengkapnya agar adil, sebagai mana kata sang filosof tersebut: “hendaknya orang itu mengemukakan argumentasi kepada lawannya sebagaimana ia mendatangkannya untuk dirinya sendiri, yakni agar ia berusaha dengan sunguh-sungguh dalam mencari kebenaran untuk dijadikan pandagannya, atau menerima argumentasi mereka seperti yang mereka terima untuk diri sendiri.

D.              Wahdah Al-Wujud
            Tentang kesatuan wujud (Wahdah Al-Wujud) adalah kesatuan antara pelaku dan perbuatannya, pelaku dan pengaruhnya serta Tuhan dan ciptaan-Nya. Ibn Rusyd menolak pendirian tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan tajsid (penggambaran Tuhan sebagai fisik) karena ia membangun konsepsinya mengenai segala sesuatu berdasar tawhid, tanzih, dan tajrid dalam bentuk tertinggi dari konsep-konsep filosofis mengenai konsep tersebut. Oleh karenanya pembahasan tentang pendiriannya mengenai masalah (wahdah al-wujud) mengantar pendiriannya kepada hakekat mengenai kaitan Allah dan wujud.
Semua wujud mempunyai dua wujud; wujud inderawi (sensible) dan wujud ma’qul (rasionable), demikian juga bentuk mempunyai dua wujud, yakni wujud ma’qul (rasionable) jika terlepas dari hayula (materi azali) dan wujud inderawi  (sensible) jika masih berada dalam hayula.   “Jiwa adalah esensi (dzat)---bukan jisim yang hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, dan berbicara. Adanya kesatuan jiwa, adapun berbilangnya itu muncul pada materi serta apa-apa yang di tempati jiwa dan merupakan aksiden yang menjadi tempat kembali jiwa kepada kesatuan.  Penyebab adanya jumlah dan pluralitas  adalah materi dan penyebab kesepakatan pandangan mengenai jumlah dan pluralitas adalah bentuk.  Contohnya;  si zaid bukanlah si Amr karena pluralitas, tetapi mereka satu karena bentuk, yaitu jiwa. Andaikan jiwa Zaid adalah bukan jiwa Amr karena jumlah seperti halnya Zaid adalah bukan Amr karena jumlah, tentulah jiwa Zaid dan jiwa Amr adalah dua karena jumlah namun satu karena bentuk. Maka ada jiwa pada jiwa, sehingga dengan sendirinya jiwa Zaid dan Amr adalah satu karena bentuk dan satu karena bentuk itu berhubungan dengan jumlah pluralitas, yakni ada pembagian dari segi materi.
Sifat-sifat jiwa; mengetahui, berkehendak,  dan bergerak.  Mereka tidak melihat bahwa sifat-sifat esensi itu tidak menjadikan benda yang disifati itu secara aktual menjadi banyak, melainkan menjadi banyak oleh sebab banyaknya yang terbatas karena adanya bagian-bagian batasan---pluralitas dalam ide, bukan pluralitas aktual di luar jiwa. Benda-benda menjadi banyak karena materi substansial (al-hayula al-jawhariyah) sedang perbedaan benda-benda tersebut karena aksidennya, bagi mereka bukanlah perbedaan substansial, baik kuantitas maupun kualitas, dan berbagai segi lainnya. Pendirian Ibn Rusyd cenderung kepada adanya kesatuan jiwa secara aktual meskipun berbilang dalam bentuk karena materi dan tempat.

E.               Wujud yang Hidup
            Ibn Rusyd berpendapat bahwa benda-benda langit adalah hewan (mahluk hidup). Bahkan  benda mati (jamud) mempunyai perbuatan meskipun tidak muncul dari akal, “Bahwa benda mati jika dikatakan tidak mempunyai perbuatan, sesungguhnya yang tidak ada padanya adalah perbuatan yang muncul dari akal dan kehendak, bukan perbuatan absolut”. Semua benda langit digerakkan oleh partikulir yang menyerupai partikulir anggota tubuh pada satu hewan dan gerakannya partikulir. Gerakan esensial bersumber dari tabiat jisim yang hidup, bukan dari selain itu. Katanya: “Sesungguhnya semua bola (planet) di langit itu hidup, dalam arti mempunyai Jisim dengan ukuran dan bentuk tertentu, bergerak dengan esensinya dari arah tertentu, bukan dari sembarang arah yang dikehendaki.  Jika kita melihatnya sebagai jisim dengan kuantitas dan kualitas tertentu, ia bergerak dari esensinya pada tempat dari sisi tertentu bukan dari sesuatu yang berada di luarnya, juga bukan dari salah satu segi-seginya yang dikehendaki.
Semua maujud (yang ada di alam) ini karena melampaui tabiat rasional mangarah kepada persatuan, sebagaimana yang ada pada Allah yaitu dzat yang tidak bersusun. Bahkan jisim-jisim yang tidak hidup mungkin dapat naik ke arah dzat  tertinggi itu sepanjang ia melampaui yang lain atas tabiat rasional, sehingga semua benda mengingikan persatuan bersama salah satu esensi (makna) sesungguhnya yang menyatukan hakikat bersama esensi Tuhan dan tidak ada yang dapat bersatu bersamanya kecuali sesuatu yang satu.
Pemikiran Ibn Rusyd mengenai kesatuan alam menyerupai  seekor hewan dan pembicaraan mengenai potensi spiritual yang berlaku padanya, ikatan dengan seluruh bagian-bagiannya, yaitu potensi yang kita sebut  “akal”, “aturan”, “penggerak” dan “tujuan”. Ia mengtakan: “Seluruh benda langit gerakan partikulirnya menyerupai anggota badan hewan yang terdiri dari bagian-bagian (partikukar) serta gerakan-gerakan partikularnya. Para filosof meyakini adanya keterkaitan benda-benda langit antara satu dengan lainnya dan kembali kepada satu jisim, satu tujuan dan kerjasamanya dalam satu perbuatan---bahwa alam ini seluruhnya kembali kepada sebab yang satu”. Selanjutnya: bahwa keadaan sebab-sebab yang terpisah dan yang tidak terpisah melimpah dari Sebab Pertama. Dengan pelimpahan potensi yang satu itu berarti alam seluruhnya adalah satu, dan dengan potensi itu pula bagian-bagiannya terkait sehingga seluruhnya mengarah kepada satu perbuatan,  sebagaimana keadaan pada badan seekor hewan yang berbeda-beda potensi dan perbuatannya. Menurut para cendikiawan hal itu menjadi satu maujud karena satu potensi yang ada padanya yang melimpah dari yang Pertama. Mengenai hal itu mereka sepakat bahwa langit seluruhnya adalah seeokor hewan dan gerakan sehari-hari yang ada pada keseluruhannya merupakan gerakan universal pada tempat bagi hewan. Gerakan-gerakan pada bagian-bagian langit seperti gerakan-gerakan partikulir pada anggota badan hewan. Mereka berargumentasi bahwa pada hewan ada satu potensi yang karenanya hewan menjadi satu dan karenanya pula semua potensi yang ada padanya melahirkan satu perbuatan yaitu untuk keselamatan hewan tersebut. Potensi tersebut berkaitan dengan potensi yang melimpah dari Sebab Pertama, jika tidak demikian maka bagian-bagiannya akan bercerai berai dan sedikit pun tidak tersisa. Jika pada hewan harus ada satu potensi spiritual yang berlaku pada semua bagiannya maka macam-macam potensi dan jisim yang ada padanya adalah satu, sehingga mengenai jisim yang ada padanya bahwa ia adalah satu jisim.  Mengenai potensi yang ada padanya bahwa ia adalah satu potensi.
Ibn Rusyd telah menyatakan adanya kesatuan rasional pada wujud yang dapat kita jumpai pada Talkhish Ma ba’d al-Thabi’ah, Tahafut al-Tahafut dan Fashl al-Maqal. Ibn Rusyd berpendapat bahwa sebab pertama  adalah akal. Menyatamakan antara ‘aqil  (akal pikiran) dengan ma’qul (yang dipikirkan). Sebab pertama atau akal itu ketika memikirkan dzat-Nya sendiri, sebab yang lain sama sekali itu pada dzat-Nya yang maha mulia. Dzat-Nya adalah yang lain dan yang lain adalah dzat-Nya. Ibn Ruyd berpendapat adanya kesatuan wujud lebih dari kesatuan rasional dan dia menjadikan sebab Pertama itu sebagai wujud sesuatu yang satu, baik menurut pengertian akal maupun secara empiric, dari ajaran Aristoteles mengenai kesatuan wujud tersebut yang member makna wujud pada wujud. Ia mengatakan: “kesatuan itu bervariasi adanya pada yang maujud sesuai dengan karakternya dan dari kesatuan dan pemberian itu diperoleh adanya wujud pada tiap-tiap yang maujud dan masing-masing meningkat kepada kesatuan pertama, seperti apa yang dihasilkan oleh panas yang terdapat pada tiap-tiap maujud, yaitu segala segala yang panas dari yang panas, yakni api dan meningkat kepadanya”, karena itu Aristoteles memadukan antara wujud empirik dan wujud rasional. Katanya: “Alam ini satu dan berasal dari yang Satu, yang Satu itu dari satu sisi merupakan penyebab terjadinya kesatuan dan dari sisi lain menjadi penyebab terjadinya pluralitas”.
Pendiriannya terhadap Wahdah Al-Wujud   bahwa yang benar adalah orang-orang yang berpendapat bahwa dzat Allah adalah wujud dan maujud semuanya, penyebab pertama, akal, aturan dan penggerak adalah semua yang dipikirkan, yakni wujud itu sendiri. Ia adalah jiwa yang berlaku pada wujud yang hidup, yakni kejadian dan alam ini.  Dengan demikian konsepsi Ibn Rusyd mengenai azali dan kekalnya alam di samping pandangannya tentang kesatuan dzat dan alam, adalah bahwa semua itu bagi kita menjadi konsep yang saling melengkapi. Hal itu kita anggap sesuai sepenuhnya dengan konsep filsafat materialisme mangenai persoalan tersebut, setidaknya mengenai apa yang berkaitan dengan asas-asas, substansi serta pembagian terpenting. Batas pemisah yang jelas antara materialisme dan idealism; Oleh kaum materialisme melihat pemikiran, kesadaran, dan pengetahuan sebagai kebalikan dari kenyataan objektif yang ada dalam bentuk tersendiri di luar pikiran manusia. Karena itu mereka berpendapat mengenai hubungan kausalitas yang berlaku pada kenyataan obyektif sebagai hubungan substansial yang menunjukkan keterkaitan yang niscaya antara sebab dan musabab. Sedangkan filosof idealis berpendapat bahwa di dalam pemikiran, kesadaran dan pengetahuan ada sumber yang berlainan dengan kenyataan dan kenyataan itu tidak mempunyai wujud obyektif tersendiri di luar pikiran manusia. Karena itu mereka mengembalikan pertumbuhan wujud ini kepada “pemikiran”, dan membangun terori yang berbunyi “di permulaan terdapat kata” sebab mereka menolak adanya kausalitas atau mengingkari adanya hubungan yang niscaya antara sebab dan musabab. Mereka melihat hal itu sekedar sebagai “hubungan”, “kebiasaan” atau “kebetulan” yang terjadi secara berulang-ulang dan terus-menerus.

Alcapone, 07 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar