Kamis, 14 Januari 2016

Ludwig Wittgenstein; Filsafat Analitik dari Logico-Philosophicus ke Philosophical Investigations







“Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus membiarkannya dalam diam.”---Ludwig Wittgenstein



“Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat; makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa; makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan.” ---Ludwig Wittgenstein



A.   Sejarah Hidup
Ludwig Josef Johann Wittgenstein, filosof Inggris kelahiran Austria  oleh banyak kalangan dianggap filosof terbesar abad ke-20. Lahir di Vienna  1889 dari keluarga Yahudi Karl Wittgenstein---pengusaha dan salah satu orang terkaya di Austria.[1] Karl Wittgenstein dibesarkan sebagai seorang Protestan, dan istrinya, Leopoldine, juga keluarga Yahudi, dibesarkan sebagai seorang Katolik.  Banyak penulis, seniman, dan intelektual terkenal—Karl Kraus, Gustav Klimt, Oskar Kokoschka, dan Sigmund Freud—pengunjung rutin rumah Wittgenstein, dan pergelaran musik keluarga  sering dihadiri antara lain oleh Johannes Brahms, Gustav Mahler, and Bruno Walter.[2]  Setelah bersekolah di Linz dan Berlin, ia ke Inggris belajar teknik mesin di Universitas Manchester. Minatnya pada matematika murni membawanya ke Trinity College, Universitas Cambridge dan belajar sama Bertrand Russell.  Wittgenstein mendalami filsafat setelah membaca karya Russell The Principles of Mathematics. Ia mulanya pergi ke Inggris untuk melanjutkan studi tentang teknik mesin (engineering) yang telah ia mulai di Berlin, namun saat di Universitas Manchester, menjadi tertarik pada fondasi filosofis matematika yang menjadi dasar kerja profesionalnya. Ulasan buku tentang gagasan-gagasan logis dan filosofis matematikawan Jerman Gottlob Frege mendorongnya  mengunjungi Frege di Jena. Frege, saat itu berusia 63 tahun, sebaliknya menyarankan Wittgenstein  kembali ke Inggris dan bekerja bersama Russell di Cambridge.  menuruti nasihat Frege, Wittgenstein  menemui Russell, dan dimulailah masa kerjasama pemikiran di antara keduanya.[3
Pada tahun 1918, Wittgenstein merampungkan Tractatus Logico-Philosophicus  atau Wittgenstein-I (1921; terj. 1922), sebuah karya monumental yang memberikan “pemecahan final” terhadap berbagai persoalan filsafat. Ia kemudian mundur dari pergulatannya dengan filsafat, dan untuk beberapa tahun mengajar sebuah sekolah dasar di sebuah desa di Austria. Pada 1929  kembali ke Cambridge untuk kembali bergelut dengan filsafat dan mengajar di fakultas di Trinity College. Beberapa waktu kemudian ia menyangkal beberapa kesimpulan yang ada dalam Tractatus dan mengembangkan pandangan baru yang terangkum dalam Philosophical Investigations  atau Wittgenstein-II (pub. posthumously 1953; terj. 1953). Wittgenstein pensiun pada 1947, dan  meninggal di Cambridge 29 April 1951.

B.    Pengenalan
Aktfitas bahasa merupakan ciri khas manusia yang dengan bahasa manusia dapat melaksanakan refleksi dan kebebasannya (Chauchard, 1993:11). Bahkan Gadamer mengatakan bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia (Sumaryono, 1993: 26). Bahasa apapun ragamnya  memainkan peran sangat besar dalam kehidupan manusia.  “Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat; makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa; makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan.” Bahasa bukan hanya dilihat berdasarkan strukturnya. Bahasa adalah cerminan nilai-nilai masyarakatnya yang terpantul pada pelbagai tata permainan bahasa yang mereka gunakan.  Makna, struktur gramatika atau sintaksis ---hal yang selama ini mungkin kita “berhalakan”---hanya salah satu bentuk tata permainan bahasa dari pelbagai tata permainan bahasa dalam kehidupan.  Setiap bahasa juga mempunyai cara tersendiri untuk merepresentasikan objek atau maksud tertentu,  terpancar melalui rangkaian kata yang menjadi ayat dalam berbagai konteks kehidupan. Setiap konteks penggunaan bahasa, memiliki peraturan tersendiri kerana aturan penggunaannya menentukan dan menyingkapkan makna bahasa.
Cara berpikir dan bertindak sebuah masyarakat dapat dikenali lewat bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, karena melalui bahasa kita dapat memperoleh bukti bagaimana sebenarnya sistem konsep yang dimiliki bahasa yang berkaitan. Sistem konsep tersebut menuntun penuturnya dalam berfikir dan berbahasa serta merumuskan realitas kehidupan yang dapat berwujud simbol-simbol dan kategori gramatikal yang berbeda (Alwy Rahman, 1995:1). Penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia yang dilihat melalui pilihan leksikal dalam berinteraksi dan berkomunikasi, dapat menimbulkan kesalahfahaman dan bahkan kesan “lucu” sebab suatu konsep dan objek yang sama dimanifestasikan dengan penggunaan leksikal yang berbeda. Hal ini merupakan fakta bahwa bahasa berkait erat dengan aktiviti dinamik kekreatifan permainan bahasa yang seterusnya mencerminkan suasana sosial budaya masyarakat yang berkaitan.
Analisa bahasa sebagai suatu metode filsafat dianggap telah ada sejak Yunani Kuno. Beberapa dialog Plato, berkenaan dengan penjelasan atas istilah-istilah dan konsep-konsep. Namun, gaya berfilsafat ini mendapat penekanan yang baru pada abad ke-20. Dipengaruhi tradisi empirisisme Inggris awal—John Locke, George Berkeley, David Hume, dan John Stuart Mill—dan tulisan-tulisan matematikawan dan filosof Jerman Gottlob Frege terutama “On Sense and Reference” (“Über Sinn und Bedeutung” 1892 and “Thoughts”) “Gedanken” 1918]).  Filosof Inggris G. E. Moore dan Bertrand Russell menjadi pendiri aliran pemikiran filsafat analitik. Saat masih di Universitas Cambridge, Moore dan Russell menolak idealisme Hegelian, terutama  dijelaskan oleh  metafisikawan Inggris F. H. Bradley, bahwa tidak ada yang sepenuhnya riil kecuali Yang-Absolut. Dalam perlawanan mereka terhadap idealisme dan dalam keyakinan mereka bahwa perhatian yang cermat pada bahasa sangat penting dalam penyelidikan filosofis, mereka membentuk gaya dan mood baru dalam berfilsafat di dunia berbahasa Inggris pada abad ke-20.[4]
Perkembangan filsafat analitis dilatarbelakangi  kekacauan bahasa filsafat. Banyak teori serta konsep filsafat dipaparkan dengan bahasa yang membingungkan, bahkan semakin jauh dari bahasa sehari-hari (Bakker, 1984: 122). Filsafat dipandang sebagai ilmu yang sulit, membingungkan, dan kurang jelasnya makna diungkap, sehingga banyak orang mangalami kesulitan mempelajari. Persoalan tersebut jika terus berlangsung maka  ilmu filsafat akan tersingkir dari khasanah kajian ilmiah. Mengatasi kekacauan bahasa filsafat tersebut, tampillah G.E Moore,  mengembangkan tradisi analitika bahasa sebagai reaksi terhadap aliran idealisme yang berkembang di inggris saat itu, melalui karyanya Principia Ethica (Moore, 1954).  Filsafat analitik didefinisikan kurang lebih sebagai serangkaian pendekatan terhadap masalah-masalah filosofis yang menekankan studi bahasa dan analisa logis atas konsep yang terungkapkan lewat bahasa.[5] Gerakan atau aliran dalam filsafat ini memiliki beragam bentuk, antara lain analisa linguistik, empirisisme logis, positivisme logis, analisis Cambridge, dan “Filsafat Oxford.” Meskipun tidak ada doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran khusus yang diterima oleh gerakan tersebut secara keseluruhan, para filosof analitik dan linguistik sepakat bahwa aktivitas filsafat yang paling tepat adalah mengklarifikasi bahasa atau mengklarifikasi konsep. Tujuan aktivitas ini adalah menyelesaikan berbagai perselisihan filsafat dan memecahkan problem-problem filsafat yang dianggap bersumber dari kekacauan penggunaan bahasa.[6]

C.    Pemikiran Wittgenstein
Posisi Wittgenstein mendominasi sejarah filsafat analitik abad ke-20 lewat dua karya besarnya (secara prinsip bertentangan); Wittgenstein-I atau Tractatus Logico-Philosophicus (1921) dan Wittgenstein-II atau Philosophical Investigations (1953). Wittgenstein-I jadi rujukan analisis Cambridge pada tahun-tahun antara dua Perang Dunia dan sumber utama Positivisme Logis Lingkaran Wina sedang Wittgenstein-II menjadi sumber inspirasi utama bagi filsafat analitik yang berkembang seperempat abad setelah akhir Perang Dunia II, berpusat di Oxford dan berpengaruh di wilayah-wilayah dunia berbahasa Inggris.[7]  Wittgenstein-I, berupaya menentukan suatu bahasa ideal bagi filsafat didasarkan logika bahasa yang sempurna, bermakna univok, dan terbatas (Wittgenstein, 1969: 7).  Bermaksud mendapatkan bahasa yang seragam (uniformity) dalam bidang filsafat, agar para filsuf terhindar dari kekacauan bahasa. Mencoba menangkap dasar kesatuan melaui bahasa ideal, sehingga dasar pemikiran lebih bersifat konseptual. Dalil bahwa ada paralelitas antara bahasa dengan realitas, artinya bahasa dipandang sebagai gambar atau cermin realitas (Pitcher, 1964: 78).
Dalam Wittgenstein-II berubah secara radikal ketika  pluriformitas lebih menonjol dalam kehidupan konkrit. Univokalitas dalam Wittgenstein-I kemudian ditinggalkan, sebab Wittgenstein-II lebih menekankan pada penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari mengandung keberagaman yang membentuk permainan bahasa atau Language-Games (Lyotard, 1989: 10; Charlesworth, 1959: 104). Pluriformitas merupakan kenyataan konkrit yang tak terbantahkan dan begitu banyak permainan bahasa yang berlangsung sesuai dengan aturan mainnya masing-masing. Peranan penting sebuah aturan permainan tersebut dicontohkan dalam permainan catur (Wittgenstein, 1983: 12 dan 150). Wittgenstein II mencoba menangkap realitas sebagaimana adanya, sehingga dasar pemkirannya lebih bersifat realistik.
Sebelumnya Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa yang memiliki makna hanyalah bahasa deskriptif, kini ia menyangkalnya dengan mengajukan konsep "language game" (aturan atau tata bahasa). Bahasa deskriptif menurutnya hanya salah satu bentuk saja dalam keseluruhan penggunaan bahasa. Arti kata-kata hanya dapat dipahami dalam kerangka acuan aturan bahasa yang digunakan. Satu kata yang sama bila digunakan dalam tata bahasa dengan aturan pakai yang berbeda, akan mendapat arti yang berbeda.   Arti suatu kata selalu dapat berubah, tergantung penggunaannya.  Kata “kiri” dapat merupakan “lawan dari kanan”, atau bisa berarti “paham beraliran progresif”, atau juga bermakna “harap berhenti” alias “stop!” pengemudi kendaraan.  Dengan demikian, arti suatu kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, karena ia tak dapat dilepaskan dari tata aturan bahasa yang digunakan.   Suatu kata tidak harus menunjuk pada suatu obyek dan makna kata tergantung dalam penggunaannya.  Bahkan suatu kata tetap memiliki arti walaupun tidak ada obyek yang ditunjuknya.

1.      Tractatus Logico-Philosophicus (Teori Gambar atau Wittgenstein I)
Tractatus Logico-Philosophicus ditulis saat menjadi tahanan perang selama Perang Dunia I dan terbit di Jerman 1921 sebagai Logisch-Philosophische Abhandlung.  Tractatus Logico-Philosophicus  disajikan dalam sistem notasi angka dengan menunjukkan prioritas logis dari proposisi-proposisinya. Inti filsafatnya adalah Picture Theory yang menguraikan logika bahasa.  Menurut Wittgenstein hakekat bahasa merupakan gambaran logis realitas dunia (Wittgenstein, 1961:67) sedang hakekat  dunia merupakan keseluruhan fakta-fakta dan bukannya benda-benda (Wittgenstein, 1961:31). Adapun fakta merupakan States of Affairs, yaitu suatu keberadaan peristiwa. Satuan bahasa yang menggambarkan dunia merupakan suatu proposisi yang bersifat kompleks dan tidak terbatas, tersusun atas proposisi yang paling kecil yang disebut elementer atau proposisi Atomis---proposisi atomis menggambarkan satu atas  “nama-nama”  yang merupakan unsur satuan logis sehingga nama akan memiliki makna dalam hubungannya dengan proposisi.  Totalitas dari proposisi adalah bahasa yang menggambarkan realitas dunia.  Gambaran tersebut merupakan gambaran logis dan bentuk pictorial dari realitas yang diwakilinya (Ayer, 1986; 17) dan   kesesuain antara proposisi dengan realitas tersebut tidak hanya menyangkut hubungan pictorial saja, tetapi juga menyangkut situasinya (Pitcher, 1964:77).
Sebuah gambaran logis tentang kenyataan merupakan sebuah pikiran dan di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati dengan indra (Wittgenstein, 1961:3). Dengan demikian; sebuah proposisi menggambarkan sebuah fakta realitas dunia empiris sedang  proposisi yang tidak menggambarkan realitas dunia empiris adalah proposisi yang tidak bermakna---karena tidak mengungkapkan apa-apa.  Berdasarkan teori gambar tersebut,  maka ungkapan metafisis tidak mengungkapkan realitas fakta sehingga tidak bermakna---ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan, estetika, dan etika bersifat “mistis”.  Teori gambar dan logika bahasa digunakan sebagai dasar prinsip verifikasi dalam ilmu pengetahuan yang sampai saat ini masih besar pengaruhnya di seluruh dunia.   Dalam hubungan dengan metafisika, positivisme logis bersikap lebih radikal dengan  keinginan menghilangkan metafisika.  Secara keseluruhan, ada 7 tesis utama yang dikemukakan Wittgenstein:

1.        Dunia adalah segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the case).[9]
2.       Apa yang demikian adanya–suatu fakta–adalah eksistensi duduk-perkara (What is the case–a fact–is the existence of states of affairs).[10]
3.       Suatu gambaran logis fakta-fakta adalah suatu pemikiran (A logical picture of facts is a thought).[11]
4.       Suatu pemikiran adalah suatu proposisi dengan pengertian (A thought is a proposition with a sense).[12]
5.       Suatu proposisi adalah suatu fungsi-kebenaran dari proposisi-proposisi dasar (A proposition is a truth-function of elementary propositions).[13]
6.       Bentuk umum dari suatu fungsi-kebenaran adalah [`p, `ξ, N(`ξ)]. Inilah bentuk umum dari suatu proposisi. (The general form of a truth-function is [`p, `ξ, N(`ξ)]. This is the general form of a proposition.[14]
7.       Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus membiarkannya dalam diam. (What we cannot speak about we must pass over in silence).[15]

Wittgenstein-I memadukan atomisme Russellian dan apriorisme Fregean.[16] “Poin utamanya mengenai persoalan utama filsafat tentang apa yang dapat diungkapkan [gesagt] melalui proposisi—yakni, melalui bahasa—(dan, dengan demikian, apa yang bisa dipikirkan) dan apa yang tidak dapat diungkapkan oleh proposisi, melainkan hanya ditunjukkan [gezeigt]”[17].   Wittgenstein-I bersifat etis, yakni ingin membatasi sifat-dasar dari yang-etis dari dalam. “Semua hal yang oleh banyak orang diocehkan sekarang ini, saya definisikan dalam buku saya sebagai sesuatu yang lebih baik diam tentangnya.”[18] Mengikuti jejak Frege dan Russell, Wittgenstein menyatakan bahwa setiap kalimat yang bermakna harus memiliki struktur logis yang tepat, yang umumnya tersembunyi di balik selubung tampilan gramatik kalimat, karena itu memerlukan analisis logis agar menjadi jelas. Wittgenstein percaya bahwa setiap kalimat yang bermakna adalah suatu susunan fungsi-kebenaran dari kalimat-kalimat lain yang lebih sederhana, atau suatu kalimat atomik yang terdiri dari rangkaian nama sederhana. Karena itu, setiap kalimat atomik adalah suatu gambaran logis dari suatu duduk perkara yang mungkin, yang harus memiliki struktur formal yang tepat sama sebagaimana kalimat atomik yang menggambarkannya. Wittgenstein kemudian menggunakan “teori gambar dari makna”  untuk mendapatkan kesimpulan tentang dunia dari pengamatannya tentang struktur kalimat-kalimat atomik. Ia secara khusus mempostulatkan bahwa dunia pada dirinya sendiri harus memiliki suatu struktur logis yang tertentu, meskipun kita mungkin tidak mampu menentukan struktur itu sepenuhnya.  Dunia terutama terdiri dari fakta-fakta, yang sesuai dengan kalimat-kalimat atomik yang benar, dan bukan atas benda-benda, dan bahwa fakta-fakta tersebut, pada gilirannya, merupakan rangkaian obyek-obyek sederhana, yang sesuai dengan nama-nama yang menyusun kalimat-kalimat atomik itu.[19]
Dalam konteks filsafat yang lebih luas, Wittgenstein-I memulai apa yang disebut linguistic turn dalam filsafat dengan enam alasan; Pertama, buku ini dianggap menentukan batas-batas pemikiran dengan menentukan batas-batas bahasa; menjabarkan batas-batas antara pengertian dan omong kosong.  Buku ini menempatkan bahasa—bentuk dan strukturnya—sebagai pusat penyelidikan filsafat. Kedua, tugas positif filsafat masa depan adalah analisa logico-linguistik atas kalimat.  Penjelasan logis atas pemikiran dilakukan dengan penjelasan atas proposisi-proposisi (kalimat-kalimat dengan pengertian). Ketiga, tugas negatif filsafat masa depan adalah memperlihatkan ketidak-sahihan penegasan-penegasan metafisis dengan menjelaskan cara di mana usaha untuk mengatakan apa yang diperlihatkan oleh bahasa melampaui, atau melanggar, batas-batas pengertian. Keempat, berusaha menjelaskan watak dasar tanda proposisi dengan menguraikan bentuk proposisi umum, yakni dengan memberi “suatu deskripsi atas proposisi-proposisi tanda-bahasa apa pun sedemikian rupa sehingga setiap pengertian yang mungkin bisa diungkapkan oleh suatu simbol yang sesuai dengan deskripsi tersebut, dan setiap simbol yang sesuai dengan deskripsi tersebut dapat mengungkapkan suatu pengertian, asalkan makna nama-namanya dipilih dengan tepat. Kelima, penyelidikan logis atas fenomena, penyingkapan bentuk-bentuk logis mereka, yang tidak dilakukan di dalam buku ini, akan dilakukan dengan analisis logis atas deskripsi linguistik fenomena. (Langkah pertama dalam menjalankan tugas ini dilakukan dalam tulisan pada 1929, “Some Remaks on Logical Form”, namun keseluruhan proyek tersebut gagal). Karena sintaksis logis bahasa pasti, dan harus, isomorfis dengan bentuk-bentuk logico-metafisis dunia. Keenam, pencapaian terbesar buku ini, sebagaimana dilihat oleh Lingkaran Wina, adalah penjabarannya atas watak keniscayaan logis. Hal ini dilakukan dengan suatu penyelidikan atas simbolisme. Bahwa seseorang dapat mengenali kebenaran suatu proposisi logis hanya dari simbol dianggap merupakan inti pandangan filsafat logika.[20]

2.     Philosophical Investigations ; Teori Permainan Bahasa atau Language Game atau Wittgenstein II
Wittgenstein II mengembangkan paradigma yang berlawanan dengan bahasa ideal berdasarkan logika. Wittgenstein II mendasarkan objek material filsafatnya pada bahasa sehari-hari yang digunakan  manusia. Jika Wittgenstein-I mendasarkan pemikirannya pada satu bahasa ideal yang memenuhi syarat logika, maka Wittgenstein-II mendasarkan pada bahasa biasa yang bersifat beraneka ragam.    Inti pemikiran Wittgenstein-II adalah ‘tata permainan bahasa’ (language games).  Hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.  Oleh karena itu, terdapat banyak permainan bahasa yang sifatnya dinamis, tidak terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusia.  Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu, dengan menggunakan aturan yang khas dan tidak sama dengan konteks penggunaan lainnya.  Berdasarkan macamnya, terdapat banyak penggunaan bahasa yang masing-masing memiliki aturan sendiri-sendiri dan hal itu merupakan suatu nilai.  Misalnya penggunaan bahasa dalam memberikan perintah dan mematuhinya, melaporkan suatu kejadian, berspekulasi mengenai suatu peristiwa, menyusun cerita dan membahasnya, bermain acting, membuat lelucon, berterima kasih, berdoa, menguji suatu hipotesis dan penggunaan bahasa lainnya (Wittgenstein, 1983;23).  Wittgenstein berkesimpulan bahwa makna sebuah kata  adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Dalam pemikirannya yang kedua ini, Wittgenstein tidak lagi mendasarkan pada bahasa ideal dan logis, tetapi mengembangkan pemikiran tentang pluralitas bahasa dalam kehidupan manusia.
Teori permainan bahasa  Wittgenstein tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa sehari-hari yang sifatnya sederhana sebagai penyempurnaan teori gambar (picture theory).  Untuk menggambarkan sesuatu yang abstrak---yang tidak dapat dijelaskan atau digambarkan secara langsung dengan menggunakan bahasa---Wittgenstein menggunakan strategi metafora dan analogi. Alasan ini akhirnya melahirkan Wittgenstein II yang dinamakan Permainan Bahasa; bahwa bahasa yang digunakan  manusia dalam interaksi dan komunikasi sehari-hari memiliki aturan tersendiri. Analisis bahasa dalam penggunaannya dalam konteks-konteks tertentulah yang dapat meningkatkan pemahaman dan membuat sebuah tanda yang lebih hidup dan bermakna. Makna kata dapat difahami secara mendalam berdasarkan kerangka acuan permainan bahasa dalam sesuatu bahasa yang digunakan.  Metafora digunakan untuk merujuk kepada gejala penggantian kata yang harfiah atau kata lain yang figuratif dan yang menjadi dasar penggantian adalah prinsip kemiripan atau analogi (Kris, 1999:73).  Metafora dan analogi (persamaan) ibarat strategi imaginasi yang bersifat puitik dan merupakan ungkapan yang penuh dengan kiasan. Metafora dan analogi bersatu atau berintegrasi dalam kehidupan sehari-hari---bukan saja dalam bahasa, tetapi juga dalam fikiran dan perbuatan (tindakan).   Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Harimurti Kridalaksana, 1984:123). Analogi pula adalah proses atau hasil pembentukan unsur bahasa kerana pengaruh pola lain dalam bahasa (Harimurti Kridalaksana, 1984:13).
Semua kalimat yang bukan gambaran atomik dari rangkaian obyek atau gabungan fungsi-kebenaran (truth-functional) dapat dipastikan tak bermakna. Contoh dari kalimat-kalimat seperti ini, antara lain, adalah proposisi-proposisi etika dan estetika, semua proposisi yang berkenaan dengan makna hidup, semua proposisi logika, bahkan semua proposisi filosofis, dan terakhir semua proposisi yang ada dalam Tractatus itu sendiri. Meskipun semua proposisi ini tidak bermakna, namun mereka bertujuan mengatakan sesuatu yang penting: apa yang berusaha mereka ungkapkan dalam kata-kata sebenarnya hanya bisa ditunjukkan.[21].  Dengan demikian, Wittgenstein menyimpulkan bahwa siapapun yang memahami Tractatus akhirnya akan membuang proposisi-proposisinya sebagai sesuatu yang tidak bermakna: mereka akan membuang tangga setelah mereka berhasil naik ke puncak. Orang yang telah mencapai keadaan itu tidak akan lagi punya keinginan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi filosofis. Ia akan menatap dunia secara langsung dan apa adanya, dan akan menyadari bahwa satu-satunya proposisi yang benar-benar bermakna hanyalah proposisi-proposisi ilmu alam; namun ilmu alam tidak pernah dapat menyentuh apa yang benar-benar penting dalam kehidupan manusia, yakni yang-mistis. Bahwa hal-hal yang bersifat etis, estetis, dan metafisis, bukanlah bagian dari (fakta) dunia, jika kita menerima dunia sebagaimana yang didefinisikan Wittgenstein dalam tesis pertama bukunya ini: “Dunia adalah segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the case).” Apa yang etis, estetis, dan metafisis sering kali adalah tafsiran kita terhadap fakta, terhadap sesuatu yang demikian adanya (“what is the case”). Dan sebagai suatu tafsiran, hal ini tentu akan selalu berbeda dari waktu ke waktu, dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dan karena perbedaan radikal yang mungkin dimunculkan dari tafsiran tiap-tiap orang terhadap fakta dunia, terhadap what is the case, maka hal ini memang lebih baik dibiarkan dalam diam: “Apa yang tidak dapat kita bicarakan, kita harus membiarkannya dalam diam (What we cannot speak about we must pass over in silence).”
Pemikiran filsafat Wittgenstein II  melahirkan aliran filsafat bahasa biasa (Ordinary Language Philosophy) dan postmodernisme kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris dan Amerika, serta memiliki pemikiran filsafat yang beraneka ragam.  Berdasarkan sejarah perkembangan linguistik pragmatik, pemikiran filsafat bahasa biasa inilah yang merupakan inspirasi dikembangkannya pragmatik.  Setelah Wittgenstein-II bermunculan filsuf-filsuf bahasa biasa, seperti Gilbert Ryle, J.L Austin, P.F. Strawson, dan John Wisdom di Inggris, kemudian berkembang ke Amerika Serikat dengan tokoh-tokohnya, antara lain Max Black, John Searle, H.P. Grice, Norman Malcom, dan W.P. Alston (Poerwowidagdo, 1972:34).  Tokoh pragmatik Inggris juga  filsuf bahasa menegaskan bahwa linguistik berkembang ke arah suatu bidang yang belum di kaji oleh kalangan linguis, yaitu disiplin yang menyangkut bentuk, arti, dan konteks (Leech, 1983:2).  Perkembangan yang cukup radikal terjadi di Amerika sebagai reaksi terhadap konsep sintaksisme model Chomsky, yang mengembangkan seluruh ilmu linguistik---termasuk fonologi dan semantic, dianggap relevan dalam kerangka sintaktik.  Reaksi yang keras muncul dari George Lakoff dan Robert Ross yang menegaskan bahwa kajian sintaktis tidak dipisahkan dengan pemakaian bahasa (Leech, 1983:2; Purwo, 1990:10; dan Wijana, 1996:4).Perkembangan pragmatik menemukan bentuknya tatkala John Searle mengembangkan Speech Act (1969) sehingga bidang ini merupakan suatu bidang baru dalam bidang kajian bahasa dalam hubungannya dengan penggunaannya dalam komunikasi kehidupan manusia.

D.   Menolak teori, menawarkan pemahaman
Menurut Wittgenstein, ada beberapa pertanyaan yang tidak memiliki jawaban ilmiah (scientific answers), bukan karena sangat mendalam dan  misteri yang tak dapat dijangkau, tetapi  karena ia bukan pertanyaan ilmiah (non-scientific questions). Pertanyaan tentang cinta, seni, sejarah, kebudayaan, musik merupakan pertanyaan yang terkait dengan upaya  memahami diri secara lebih baik. Filsafat baginya bukan sebuah teori, melainkan sebuah kegiatan. Filsafat bukan mengusahakan kebenaran ilmiah (scientific truth), tetapi kejelasan konseptual (conceptual clarity). Bagi Wittgenstein, perbedaan antara ilmu (science) dan filsafat (philosophy) terletak pada perbedaan keduanya dalam bentuk pemahaman: yang satu teoritis dan yang lain non-teoritis. Pemahaman ilmiah (scientific understanding) tampak melalui konstruksi dan pengujian atas hipotesis-hipotesis dan teori-teori sedang pemahaman filosofis (philosophical understanding) sepenuhnya non-teoritis, yaitu pemahaman yang saling berkaitan yang melibatkan sikap dan afeksi. Pemahaman non-teoritis adalah bentuk pemahaman yang tampak ketika, misalnya, kita mengatakan bahwa kita memahami suatu puisi, irama musik, suasana hati seseorang, atau bahkan mengerti sebuah kalimat. Memahami sebuah kalimat juga membutuhkan partisipasi dengan bentuk kehidupan, “language game” dan konteks kalimat.
Pada konteks filsafat, fenomena paling menjadi sorotan mengenai Hal Satu (The One) dan Hal Banyak (The Many ).  Para filsuf yang menekankan kesatuan realitas  bertolak dari Hal Satu  dinamakan Monisme sedang Pluralisme  menganggap, ada lebih dari dua prinsip asli sebagai suatu hakikat (Edwards P, 1967: 363-364). Bakker mengibaratkan monisme dengan istilah “bubur” sedang pluralisme dengan “pasir”. Baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistik maupun materialistik. Monisme mutlak menyusutkan sedapat mungkin segala kegandaan dan kemacam-ragaman, sehingga hanya tinggal satu realitas tunggal---entah materi atau roh. Sebaliknya pluralisme mutlak menghapus sedapat mungkin segala kesatuan dan keseragaman, sehingga hanya tinggal kejamakan mutlak, yaitu pecahan, entah pecahan materi atau titik-titik rohani.  Namun baik monisme mutlak maupun pluralisme mutlak mustahil dipertahankan sehingga yang ada hanya monisme lunak dan pluralisme lunak atau tendensi monistik dan pluralistik. Monisme lunak  menganggap hanya satu pengada, entah materi atau roh yang meliputi keseluruhan kenyataan. Segala bentuk monisme menekankan kesatuan dalam keanekaan. Sebaliknya plurlisme lunak menganggap kenyataan itu jamak dan beraneka ragam yang terdiri dari unit-unit yang serba otonom dan tanpa hubungan intrinsik. Pandangan Platon tentang Hal Satu dan Hal Banyak upayanya untuk merumuskan kenyataan atau realitas, yakni hal ada (being) dan hal menjadi (becoming). Tujuan utamanya untuk mendukung kebenaran pengetahuan---kebenaran pengetahuan bagi Platon hanya ditemukan dalam dunia ide, yaitu dunia yang bersifat tetap, satu dan tak terbagi----sebagai keterkaitan yang erat antara metafisika dengan epistemology, antara realitas dengan pengetahuan, antara kenyataan dengan kebenaran. Konsepsi tentang Hal Satu  oleh Plotinus---mengembangkan ajaran Platon dalam rangka mendukung pandangannya tentang adanya hierarki dalam realitas dan hieraki tertinggi---muara  seluruh kenyataan dinamakan To Hen---sebagai puncak kesatuan dari segala yang ada (Sontag, 1970: 32). To hen atau The One dalam filsafat Plotinus mengacu pada gagasan mengenai Tuhan. The one adalah kebaikan yang merupakan tujuan hidup manusia. The one adalah Yang Esa, yang segala sesuatu ikut ambil bagian46).  Problem the one dan the many adalah kategori problem metafisika.   Kedua tahapan pemikiran filsafat Wittgenstein dikaitkan dengan problem The One dan The Many,  terlihat kecenderungan bahwa pandangan Wittgenstein secara keseluruhan memihak pada the Many atau Pluralisme Lunak---meskipun faktor The One dalam Wittgenstein I cukup mendapat perhatian yang besar dalam konteks bahasa ideal. Wittgenstein II dengan konsep language games memihak pada pluralisme lunak, karena keberagamaan dan perbedaan dipandang sebagai esensi.



Alcapone, 20 Desember 2015




[1] Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 1.

[2] “Wittgenstein, Ludwig” Encyclopædia Britannica. <span>Encyclopædia Britannica 2009 Student and Home Edition</span>.  Chicago: Encyclopædia Britannica, 2009.

[3] Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 5.

[4] P. M. S. Hacker, “Ludwig Wittgenstein (1889-1951)”, dalam A. P. Martinich dan David Sosa (eds.), Blackwell Companion to Philosophy: A Companion to Analytic Philosophy, Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd, 2001, hlm. 68.

 [5] Baird, Robert M. “Analytic and Linguistic Philosophy.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008. Hlm. 1.

[6] “Analytic Philosophy.” Encyclopædia Britannica. <span>Encyclopædia Britannica 2009 Student and Home Edition</span>.  Chicago: Encyclopædia Britannica, 2009. Hlm. 1.

[7] Baird, Robert M. “Analytic and Linguistic Philosophy.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008. Hlm. 1-2.

[8] Baird, Robert M. “Ludwig Wittgenstein.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.

[8] Baird, Robert M. “Ludwig Wittgenstein.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.

[9] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 5.

[10] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 5.

[11] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 10.

[12] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 19.

[13] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 36.

[14] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 58.

[15] Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, (terj. D.F. Pears dan B. F. McGuinness), London: Routledge, 2000, hlm. 74.

[16] Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 9.

[17] L. Wittgenstein, Letters to Russell, Keynes, and Moore, ed. by G. H. von Wright (Ithaca: Cornell University Press, 1974), hlm. 71, dikutip dalam Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 9.

[18] L. Wittgenstein, “Letters to Ludwig von Ficker,” in C. G. Luckhardt, ed., Wittgenstein: Sources and Perspectives (Ithaca: Cornell University Press, 1979), hlm. 95, dikutip dalam Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 9.

[19] Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 10.

[20] P. M. S. Hacker, “Ludwig Wittgenstein (1889-1951)”, dalam A. P. Martinich dan David Sosa (eds.), Blackwell Companion to Philosophy: A Companion to Analytic Philosophy, Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd, 2001, hlm. 76-77.

[21] Hans Sluga, “Ludwig Wittgenstein: Life and Work; An Introduction”, dalam Hans Sluga dan David G. Stern (eds.), The Cambridge Companion to Wittgenstein, New York: Cambridge University Press, 1996, hlm. 10-11.



RUJUKAN

Alwy Rahman (Penterj.). 1995. Berpikir, bertindak, dan berujar melalui metafora. Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Benny H. Hoed. 2008. Semiotika dan dinamika sosial budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Binar Agni. 2009. Sastra Indonesia lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu bahasa dunia, sejarah singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Pertama.

Harimurti Kridalaksana. 1984. Kamus linguistik. Jakarta: Gramedia.

Kaelan. 2004. Filsafat analitis menurut Ludwig Wittgenstein: Relevansinya bagi

pengembangan pragmatik. Jurnal Humaniora XVI, 2, 134-146.

Koo. L. Yew. 2008. Language, culture and literacy: Meaning-making in global context. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Kris Budiman. 1999. Kosa semiotika. Yogjakarta: LkiS.

Lukman Ali. 1991. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Kedua.

Noresah Baharom. 2007 Kamus Dewan Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Edisi Keempat.

Riko, S.S. 2011. Permainan bahasa Ludwig Wittgenstein: Suatu perkenalan melalui kontekstualisasi dan manfaatnya bagi studi pemertahanan bahasa. Jakarta: Bidik Proneks Publishing.



===Pemikiran filsafat analitis Wittgenstein---dipengaruhi oleh konsep G.E Moore, Bertrand Russel, dan Gottlob Frege---dibagi atas dua periode, periode pertama Tractatus Logico-Philosophicus (1922) dan periode kedua Philosophical Investigations (1953).  Kedua karya filsafat tersebut memiliki perbedaan substansial, terutama berkaitan dengan objek materialnya, tetapi diuraikan dalam suatu pemikiran yang sistematis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar