Kamis, 14 Januari 2016

Mulla Sadra ; Filsafat Wujud





Ketika kulihat lautan, kulihat diri-Mu, ketika kulihat sahara kulihat diri-mu, dimanapun aku hadapkan wajahku, kulihat diri-Mu---Baba Thahir

Engkau adalah pikiranmu, saudara, selebihnya adalah tulang-tulang dan serat-serat.  Jika Kau berpikir tentang mawar-mawar, Engkaupun sehamparan kebun mawar; jika Kau berpikir tentang dedurian, Engkaulah bahan bakar bagi tungku itu---Maulana Syana’I



A.    Riwayat hidup Mulla Sadra
Mulla Sadra hidup, kira-kira  tahun 979 H / 1571 M – 1050 H / 1640 M di kota Syiraz Persia (menjadi Iran tahun 1935) dari keluarga terpandang. Ayahnya, Khwaja Ibrahim bin Yahya, Qawwamidari keluarga Qawwami dikenal sebagai keluarga ilmuan dan pemuka agama.  Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi dipanggil  Sadra dan setelah  jadi ulama dipanggil Mulla Sadra. Digelari Sadra Almuta’allihhin karena kedalaman pengetahuannya di bidang ketuhanan (sebagian mengaitkan dengan karyanya Al-Hikmah Al-Muta’alliyah). Mengikuti pendidikan formal---juga dididik khusus dengan mendatangkan guru-guru diantaranya Mir Damad seorang  muallim tsalis  setelah Aristoteles dan Al-Farabbi---dan menguasai berbagai dasar cabang ilmu; al-quraan, logika, sampai  kaligrafi, gramatikal, syair-syair Persia dan Arab. Dimasanya dia telah memiliki perpustakaan terlengkap meliputi berbagai cabang ilmu; gnostik, filsafat, syair-syair, tafsir al-quraan dan kitab-kitab hadis---bahkan naskah penulis sangat langkah sekalipun.
Mulla Sadra menamatkan bidang filsafat Peripatetik, filsafat iluminasi, gnostik, logika, ilmu kalam, fiqh, tafsir, hadis, astronomi, matematika dan kedokteran.Pemikiran Mulla Sadra jauh melampaui jamannya---masa itu,  umumnya ulama berasal dari kelompok Akhbariyyin yang sangat kaku terhadap pandangan filosofis yang bersifat spekulatif---pandangannya tentang Wahdah Al-Wujuddianggap  sesat, zindiq dan kafir.  MullaSadra kemudian meninggalkan Syiraz dan memilih Kahak sebagai tempat melakukan kontemplasi ruhani.  Di masa ini Mulla Sadra  menulis beberapa buku terutama kitab Magnum Opusnya.  Sekitar tahun 1040 H Mulla Muhsin Faid  dan Imam Qali Khan Kasyani mengajaknya kembali ke kota Siraz  karena ayahnya wafat. Mulla Sadra meninggal di Irak karena sakit tahun 1050 H/1640 M dan sampai saat ini  letak pasti kuburannya tidak diketahui.

B.    Aliran Filsafat Mulla Sadra
Mulla Sadra penggagas aliran baru dalam filsafat Islam.Al-Hikmah Al-Muta’aliyahmenghimpun dua aliran filsafat sebelumnya: Masyiyyin (Peripatetik) dan Isyirakiyyin (Iluminasionisme) dan melakukan sintesis serta penyempurnaan.Dua aliran tersebut sebelumnya saling beroposisi: Peripatetikyang mendasarkan prinsip silogisme Aristotelian yang sangat rasional dan Suhrawardi dengan iluminasinyabahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa di capai melalui proses Syuhudidengan melakukan elaborasi ruhani. Dalam pandangan Mulla Sadra akal dan syuhud dua  bagian tidak  terpisahkan dan meyakini bahwa Isyraqi tanpa argumentasi rasional  tidak memiliki nilai apapun begitupun sebaliknya. Metode Al-Hikmah Al-Muta’aliyah memberiargumentasi rasional, membimbing ilmuan dan intelektual menempuh jalan ruhani dalam ma’rifat dan pencerahan batin---lalu disebut sebagai filsuf peripatetik, iluminasionis sekaligus platonik Islam.
Kemunculan Mulla Sadra dengan filsafat “eksistensialis” dalam islam---Asala al-wujud sebagai prinsip metafisikanya oleh Henri Corbin dinilai suatu ‘revolusi’ dalam metafisika islam. Al-hikmah Al-Muta’aliyah terdiri dua istilah; Pertama, Al-Hikmah(kombinasi  Iluminasionisme dan sufisme) yang memandang hikmah dalam dua aspek; teoritis dan praktis atau pengetahuan dan tindakan. Secara teoritis, tujuan hikmah mewarnai jiwa dengan gambaran realitas sebagai dunia yang bisa dimengerti, yang menyerupai dunia objektif sedang secara praktis melakukan perbuatan baik agar tercapai superioritas jiwa terhadap badan dan badan tunduk kepada jiwa.Kedua,  Al-Muta’aliyah( tinggi, agung, atau transenden);  “kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti pandangan orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tatatertib alam semesta sebagai tatatertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”.
Aliran filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyahmerupakan sintesis---Tasawuf, Teologi dan Filsafat.Teologi dengan karakter dialektikal-polemikal (zadali), filsafat dengan karakter demostratif atauburhani, teosofi iluminasionistik dan gnostik dengan karakter dzawqi.Sintesis  ketiga aliran pemikiran ini  melahirkan  bangunan filsafat; tidak semata aksidental, melainkan metode alternative, konseptual, dan ontologism sehingga filsafat Mulla Sadra dianggap sebagai puncak evolusi pemikiran filsafat sebelumnya.  Tujuan utama filsafat Mulla Sadra upaya mencapai kesempurnaan hakiki manusia dalam konteks kehidupan sosial masyarakat sekaligus menjelaskan secara spesifik pandangan teodesi dan eskatologi sebagai perjalanan ruhani  setiap manusia yang hendak mencapai kesempurnaan melalui empat tahap intelektual manusia yang harus dilewati mencapai kearifan tertinggi:
1.     Perjalan dari mahluk menuju Tuhan (Safar min al-Khalk ila al-haq); dilakukan dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi manusia dan Tuhannya. Manusia harus melewati  tahap; dari tahap jiwa, qalb, ruh, dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Perjalanan ruhani baru dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan dengan mengangkat kesadarannya dari realitas mahluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum juga tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material, dan substansial serta intelek;
2.   Perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan (Safar bi  al-haq fi al–haq); tingkat penyempurnaan teologis karena wujudnya telah menjadi dirinya dan dengan itu, dia melakukan penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan;
3.   Perjalanan dari Tuhan menuju Mahluk bersama Tuhan (Safar min al–haq ila al khalq bi al-haq); Kesadaran Tuhan menjadi kesadarannya dan menempuh perjalanan diantara alam jabarut, malakut dan nasut, serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan.  Tingkat ini meliputi proses penciptaan dan emanasi yang terjadi pada intelek-intelek; dan
4.   Perjalanan dari mahluk menjadi mahluk bersama Tuhan (Safar min al-khalq ila al-khalq bi al-haq); berkaitan dengan ekskatologi atau ma’ad yang akan terjadi pada manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi rasional.
Akal dan wahyu, ketika masih berada dalam wacana asy-ariyah dan mu’tazila, menjadi dua hal yang bertentangan. Dalam Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, keduanya menjadi sekeping mata uang yang hanya berebeda sisi. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadra menjangkau nash-nash dan memberinya dalil-dalil rasional.Mulla Sadra membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional tetapi keduanya tidak memiliki pertentangan sedikitpun.Wahyu dan akal merupakan kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.Tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu.Akal yang sehat dengan wahyu yang benar adalah satu warna.

C.     Filsafat Wujud
Istilah hikmah atau falsafah dimasukkan kedalam bahasa Arab sekitar abad ke-2/8 dan abad ke-3/9  dari kata Yunani   philosophia kemudian dalam konteks peradaban Islam, menggunakan nama lain, seperti;  kalam, ma’rifat dan usul al-fiqh. Tipe filsafat islam disebut  Hikmah (Arab) atau Hikmat (Persia) terjemahan dari theosophy (inggris). Sebagian intelektual muslim memilih pemikiran rasional---para filosof dan mutakallimun---sebagian memilih jalan mistis tanpa mempertimbangkan aspek-aspek rasional---kaum sufi dan ahli al-tarikah pada umumnya---sedang sebagian lainnya lebih bersikap dogmatis dengan menyandarkan diri pada teks-teks suci (al-Qur’an dan Hadis) secara formal, tanpa interpretasi, baik yang bersifat rasional, apalagi bersifat esoteric---terjadi di lingkungan fuqahaatau yang disebut sebagai ulama zahir (ulama eksoteris).  W. Stace menyatakan bahwa irfan atau mistisme berseberangan dengan prinsip logika karena irfan bersifat paradoks.  Filsuf islam kontemporer (Muhammad Taqi Misbah Yazdi) meyakini antara filsafat dan irfan dua disiplin pengetahuan yang satu sama lain memiliki penekanan dan metodologi berbeda. Filsafat dalam ruang lingkup ilmu Husuli berjalan dengan akal rasional sedang irfan dalam ruang lingkup ilmu Hudhuri berangkat dengan kalbunya---karena itu, pembahasan irfan  tidak berada dalam ruang lingkup konsep, proposisi, dan alam mental.  Diskursus terutama pada dua wilayah kajian ilmiah Islam---Ilmu kalam dan filsafat.Pertama, ilmu kalam umumnya berkisar pada argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh, surga-neraka, kebahagiaan dan pemderitaan, keabadian di akhirat, kebangkitan jasmani dan safaat.  Kedua,  filsafattentang kebangkitan meliputi ruang lebih luas---bukan hanya persoalan di ilmu kalam tetapi meliputi masa lalu, jiwa dan raga, bentuk keterikatan antara ruh, jiwa dan raga, kemustahilan, kebangkitan setelah ketiadaan (I’adah al-makdum) dan lain sebagainya.  Metodelogi yang melandasi bidang masing-masing; kalam sebuah cabang ilmu  berusaha membuktikan kebenaran doktrin agama dengan  dasar nash dan sebagian argumentasi rasional didasarkan logika dan dialektika (zadal) sedang filsafat usaha  mengungkap kebenaran dengan menjadikan rasio sebagai pijakan utama.
Abad ke 7H, tasawuf atau irfanmencapai puncak dengan munculnya Ibn’ Arabi (638 H) yang memberi pengaruh besar terhadapdua hal utama : Pertama, mendekatkan tasawuf dengan filsafat.  Kedua  mendekatkan tasawuf dengan syariat dengan membangun pondasi tasawuf atau irfan melalui dua konsep utama, Wahdah al–wujud dan Tajalli---jika priode sebelumnya irfan di rumuskan dalam bentuk sastra pada priode Ibn’Arabi dengan kerangka filosofis---sehingga Ibn’ Arabi dianggap  pendiri konsep wahdah al–wujud---namun penggunaan kata wahdah al–wujud pertama kali digunakan oleh Ibn Taimiyah dalam mengkritik pemikiran Ibn’ Arabi. Menurut Ibn’ Arabi;  wujud alam adalah Al–haqqdanhanya bisa di nisbahkan pada Al – haqq bukan pada yang lainnya.  Zat al–haqq sama sekali tidak terbatas. Dirinya tidak dibatasi oleh apapun. Ketidak terbatasan ini dengan sendirinya menafikan keberadaan yang lain, sebab jika ada satu ruang yang tidak diliputinya berarti al – haqq di batasi oleh ruang tersebut. Oleh sebab itu, Ibn’ Arabi meyakini bahwa perbedaan itu ada karena adanya keterbatasan, jika keterbatasan itu diangkat, maka tidak ada lagi perbedaan kita dengan al- haqq.
1.   Konsep dan Realitas Wujud
Aliran filsafat Islam dibawa pengaruh Mulla Sadra membedakan secara tegas antara konsep wujud dan realitasnya. Wujud merupakan realitas satu-satunya bagi mereka yang memiliki intelektual yang dihasilkan dari proses iluminasi dan ketersingkapan. Wujud adalah “sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi mungkin untuk diketahui “atau ” wujud adalah sesuatu yang merupakan sumber dari seluruh akibat“atau ”yang memungkinkan untuk mengetahui tentang sesuatu adalah wujudnya”.  Secara derivatif etimologis, wujud berasal dari akar kata  “wjd” memiliki arti dasar “menemukan” atau “mengetahui sesuatu”. Secara etimologis, istilah tersebut berkaitan dengan istilah “wijdan” berarti “kesadaran” atau “penegetahuan”, juga berkaitan degan kata “wajd” berarti “kegembiraan yang luar biasa” atau “kebahagian”.  Istilah lain yang secara filosofis memiliki makna penting, yaitu maujud yang berarti “yang ada”---istilah ini di bedakan secara tegas dengan istilah wujud sebagai “tindakan mengada”. Para ahli metafisika muslim mengetahui sepetuhnya perbedaan antara “Ens” dan “Actus Essendi” (Latin) atau “Sein” dan “Das sein” (Jerman).  Ens atau Sein adalah bentuk partisipal dari kata wujud, yaitu maujud, sedang Actus Essendi atau Das Sein adalah bentuk verbal yaitu wujud.
Dalam pemikiran islam, alam tidak sinonim dengan wujud.  Keberadaan alam dihadirkan Tuhan sebagai realitas yang abadi, sedangmaujud lainnya diciptakan dan fana (mengalami kehancuran).  Intelek manusia mampu membedakan  antara wujud dan mahiyah dari sesuatu, bukan sebagaimana adanya secara eksternal, dimana hanya satu objek yang maujud, tetapi di dalam wadah pemikiran.  Pemikiran memiliki kemampuan memahamisesuatu secara murni dan lengkap sebagai mahiyah, dan berbeda sama sekali dari bentuk wujud.  Artinya, mahiyah dipandang pada dirinya sendiri dan sejauh merupakan dirinya sendiri.  Secara konseptual pikiran mengkaji secara terpisah hubungan antara “ke-apa-an” dan “ke-berada-an” dari sesuatu yang maujud, memahami asal-asul ontologis segala sesuatu dan saling keterkaitan diantara wujud, mahiyah,  dan maujud. Mengenai realitas fundamental (asalah) dari wujud dan mahiyah, filosof muslim terbagi dua aliran; Pertama, pendukung prinsip (asalah al-mahiyyah) realitas  fundamental adalah mahiyah sedang wujud adalah  abstraksi mental semata (I’tibari) dan Kedua,  pendukung (asalah al-wujud) realitas  fundamental adalah wujud, sedang mahiyah adalah  abstraksi mental semata (I’tibari). Menurut Alparslan Acikgenc, aliran pertama disebut  Aliran Esensial mewakili pluralisme ontologisme sedang aliran kedua disebut Aliran Eksistensial mewakili monisme ontologia. Hampir tampa kecuali, para sufi yang menganut doktrin Wahdah al-Wujud penganut eksistensialis-monisme karena bagi mereka, satu-satunya realitas adalah wujud.

2. Asalah al-Wujud
Suatu objek yang konkret misalnya manusia ketika dipikiran menjadi dua bagian; (1) kemanusiaannya atau keberadaannya sebagai manusia dan (2) keberadaannya sebagai sesuatu yang aktual dan konkret. Jika menjadi proposisi ”dia adalah seorang manusia” dan”dia ada” (merupakan sesuatu yang ada). Pernyataan pertama menunjuk kepada mahiyahmembedakan suatu objek dari lainnya sedang pernyataan kedua merupakan wujud yang menjadikannya aktual, nyata dan sama dengan seluruh yang ada lainnya.Kata mahiyah digunakan dalam dua pengertian  yaitu: pertama;  mahiyah dalam arti khusus (bi al-ma’na al-khass), berkaitan dengan jawaban terhadap peryataan”apakah itu?”dan kedua; mahiyah dalam arti umum (bi al-ma’na al-amm) menunjukan tentang sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi ada atau merupakan realitas (haqiqah) dari sesuatu. Mahiyah dalam pengertian umum tidak bertentangan dengan wujud---karena wujud itu sendiri adalah mahiyah menurut pengertian ini---sedang mahiyah dalam pengertian khusus berbeda dari wujud karena berkaitan dengan sesuatu konsep didalam pikiran atau hasil abstraksi mental---mahiyah dalam pengertian ini oleh Mulla Sadra sesuatu yang bersifat I’tibari dan menyatakanwujud sebagai sesuatu yang asli---prinsip asalah al-wujud inilah yang mendominasi keseluruhan sruktur filsafat mulla sadra dan menjadi dasar bangunan bagi system metafisikanya.
Mulla Sadra melakukan revolusi fundamental dalam metafisika islam dengan menentang pandangan bahwa wujud tidak berkaitan dengan realitas apapun di dunia eksternal dan menegaskan bahwa tidak ada yang riil kecuali wujud. Wujud adalah satu satunya realitas---tidak pernah ditangkap pikiran yang hanya bisa memahami mahiyah dan ide- ide umum.Karena mahiyah-mahiyah hanya muncul dipikiran sehingga hanya fenomena mental dan hanya bisa diketahui oleh pikiran.Di dalam Kitab Al-masya’ir, Mulla Sadra menyatakan ”wujud sesuatu yang fundamental pada setiap yang ada, ia merupakan realitas (hakikah) dan segala sesuatu selainnya hanya refleksi, bayangan, atau penyerupaan”. Disamping sesuatu yang riil, wujud juga sesuatu yang positif, jelas dan tertentu sedang mahiyah-mahiyah bersifat samar-samar, gelap, tidak tertentu, negatif dan tidak riil.Karena mahiyah- mahiyah tidak ada pada diri mereka sendiri, maka apapun yang mereka miliki adalah berkat kebersamaan mereka dengan wujud.Wujud-wujud adalah riil dengan sendirinya, karena merupakan manifestasi dari hubungan mereka dengan realitas absolut.

3. Wahda Al-wujud
Yang Esa memanifestasikan diri didalam yang beranekaragam dan yang beranekaragam didalam Yang Esa.Terhadap keesaan wujud dan keanekaragaman yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip keesaan wujud dan yang maujud.Penyebaran wujud kedalam berbagai maujudnya terdiri atas  tiga tingkatan wujud, yaitu;
1.     Wujud Murni, yaitu wujud yang tidak tergantung kepada selain dirinya dan tidak terbatasi. Keberadaannya mendahului segala sesuatu yang lain dan ia ada pada dirinya sendiri, tanpa perubahan dan pergerakan. Dia adalah ketersembunyian yang murni dan kerahasian yang absolut, yang hanya bisa diketahui melalui perumpamaan-perumpamaannya dan bekas-bekasnya. Karena esensinya yang suci, ia tidak bisa dibatasi oleh determinasi apapun, sebab akan menjadikan wujud-nya berada dibawah kondisi keterbatasan dan partikularisasi. Oleh karena itu, keabsolutan ini hanya bersifat negatif, yang mengharuskan peniadaan seluruh sifat da penilaian dari hakikat esensinya, serta meniadakan pembatasan dan perubahan pada sifat, nama, atau yang selain itu, bahkan meniadakan peniadaan-peniadaan tersebut, karena semua itu adalah konsep- konsep yang merupakan abtraksi mental belaka.  Pada tingkatan pertama, wujud dipandang sebagai la bi-syart, yaitu wujud dalam keadaannya yang tanpa syarat, mengatasi setiap determinasi, bahkan sifat mengatasi setiap determinasi. Dalam kaitan ini, di bedakan antara wujud sebagai la bi-syart dan sebagai bi-la syart. Menurut aliran Mulla Sadra, yang pertama berkaitan dengan Realitas Absolute atau Realitas Mutlak yang digambarkan tanpa memandang dunia manifestasi dan determinasi, sedang yang kedua mengacu pada Realitas Mutlak yang sama, tetapi dengan memandang wilayah manifestasi;
2.   Wujud yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya. Ia merupakan wujud terbatas yang dibatasi oleh sifat-sifat yang merupakan tambahan pada dirinya dan disifati oleh penilaian-penilaian yang bersifat terbatas, seperti akal-akal, jiwa-jiwa, benda-benda langit, unsur-unsur serta komponen-komponen yang membentuk manusia, hewan, tumbuh tumbuhan, batu batuan dan lain sebagainya.  Pada tingkatan kedua, wujud dipandang sebagai bi-syart syai, yang berkaitan dengan keadaan keadaan wujud kosmis yang tersusun secara hirarkis, mulai dari yang bersifat keruhanian sampai pada yang material. Di dalam seluruh keadaan tersebut, wujud di syaratkan oleh determinasi-determinasi tertentu, yang menyebabkannya menurun melalui mata rantai rangkaian wujud dan mengaktualisasikan segala sesuatu didalam lipatan wujud universal; dan
3.   Wujud Absolut; dalam penyebaranya, yang generalitasnya jangan dikaburkan dengan universalitasnya, sebab wujud adalah aktualitas yang murni, sedang konsep universal berada dalam potensialitas, yang membutuhkan sesuatu untuk ditambahkan kepadanya agar ia menjadi actual dan konkret. Disamping itu, keesaan wujud ini bukan lah esa menurut pengertian penjumlahan. Akan tetapi, ia merupakan realitas yang menyebar ke”kuil-kuil seluruh yang bersifat mungkin” (hayakil al-mumkinat) dan “lembaran-lembaran seluruh mahiyah” (alwah al-mahiyat), tanpa terikat pada deskripsi tertentu dan tidak pula di batasi oleh batasan- batasan tertentu dan tidak pula dibatasi oleh batasan batasan tertentu, seperti yang abadi dan yang baru, yang lebih dulu dan yang lebih kemudian, yang sempurna dan yang kurang sempurna, yang menjadi sebab dan menjadi akibat, yang substansial dan yang aksidental, serta yang terpisah dari materi dan yang materil. Pada tingkatan ketiga, yang memandang wujud sebagai bi-syart la, Mulla Sadra menggambarkan apa yang dalam terminology sufi di sebut sebagai al-ahadiyyahdisatu pihak, dan nafas al-rahman atau al-faid al-aqdas, yang menyebabkan nama- nama dan sifat-sifat tuhan memasuki wilayah pembedaan atau disebut sebagai al-wahidiyyah dipihak yang lain.

4. Tasykik al-wujud
          Tasykik atau gradasi pada prinsipya, tasykik berarti menjadi”lebih atau kurang atau bisa menjadi bertambah dan berkurang”.Setiap wujud mengalami suatu pembaharuan atau perubahan terus menerus.Karena aksiden- aksiden tergantung kepada wujud dan bersifat sekunder terhadapnya, maka gerakan yang terjadi pada aksiden- aksiden tidak bisa di jelaskan secara tepat tanpa mengacu kepada gerakan pada substansi.Gerakan yang bersifat eksistensial tersebut dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yaitu materi dan berakhir pada tingkatan tertinggi, yaitu Tuhan.Mulai dari tingkatan yang terendah sampai kepada tingkatan tertinggi, wujud membuka dirinya dan memerlukan eksistensi individual yang lebih konkrit.
Alcapone, 1 Syawal 1436H

Sumber:
Dr. Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat; Filsafat Eskatologi Mulla Sadra, Jakarta, 2012
Dr. Syaifuddin Nur, M.A, Filsafat Hikmah Mulla Sadra; Rausyan Fikir, Yogyakarta,2012
Dr. Syaifuddin Nur,M.A, Filsafat Wujud Mulla Sadra; Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2012
Muhammad Nur, Wahdah Al-Wujud Ibn Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Sadra; Makassar, 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar