Ketika kulihat lautan, kulihat diri-Mu, ketika kulihat sahara kulihat diri-mu, dimanapun aku hadapkan wajahku, kulihat diri-Mu---Baba Thahir
A. Riwayat hidup Mulla Sadra
Mulla Sadra hidup,
kira-kira tahun 979 H / 1571 M – 1050 H /
1640 M di kota Syiraz Persia (menjadi Iran tahun 1935) dari keluarga
terpandang. Ayahnya, Khwaja Ibrahim bin Yahya, Qawwamidari keluarga Qawwami dikenal
sebagai keluarga ilmuan dan pemuka agama.
Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi dipanggil Sadra dan setelah jadi ulama dipanggil Mulla Sadra. Digelari
Sadra Almuta’allihhin karena
kedalaman pengetahuannya di bidang ketuhanan (sebagian mengaitkan dengan
karyanya Al-Hikmah Al-Muta’alliyah).
Mengikuti pendidikan formal---juga dididik khusus dengan mendatangkan guru-guru
diantaranya Mir Damad seorang muallim tsalis setelah Aristoteles dan Al-Farabbi---dan menguasai
berbagai dasar cabang ilmu; al-quraan, logika, sampai kaligrafi, gramatikal, syair-syair Persia dan
Arab. Dimasanya dia telah memiliki perpustakaan terlengkap meliputi berbagai
cabang ilmu; gnostik, filsafat, syair-syair, tafsir al-quraan dan kitab-kitab
hadis---bahkan naskah penulis sangat langkah sekalipun.
Mulla Sadra menamatkan bidang
filsafat Peripatetik, filsafat iluminasi, gnostik, logika, ilmu kalam, fiqh,
tafsir, hadis, astronomi, matematika dan kedokteran.Pemikiran Mulla Sadra jauh
melampaui jamannya---masa itu, umumnya
ulama berasal dari kelompok Akhbariyyin
yang sangat kaku terhadap pandangan filosofis yang bersifat spekulatif---pandangannya
tentang Wahdah Al-Wujuddianggap sesat, zindiq dan kafir. MullaSadra kemudian meninggalkan Syiraz dan
memilih Kahak sebagai tempat melakukan kontemplasi ruhani. Di masa ini Mulla Sadra menulis beberapa buku terutama kitab Magnum
Opusnya. Sekitar tahun 1040 H Mulla
Muhsin Faid dan Imam Qali Khan Kasyani mengajaknya
kembali ke kota Siraz karena ayahnya
wafat. Mulla Sadra meninggal di Irak karena sakit tahun 1050 H/1640 M dan
sampai saat ini letak pasti kuburannya
tidak diketahui.
B. Aliran Filsafat Mulla Sadra
Mulla Sadra penggagas
aliran baru dalam filsafat Islam.Al-Hikmah
Al-Muta’aliyahmenghimpun dua aliran filsafat sebelumnya: Masyiyyin (Peripatetik) dan Isyirakiyyin (Iluminasionisme) dan melakukan
sintesis serta penyempurnaan.Dua aliran tersebut sebelumnya saling beroposisi:
Peripatetikyang mendasarkan prinsip silogisme Aristotelian yang sangat rasional
dan Suhrawardi dengan iluminasinyabahwa pengetahuan dan segala sesuatu yang
terkait dengannya hanya bisa di capai melalui proses Syuhudidengan melakukan elaborasi ruhani. Dalam pandangan Mulla
Sadra akal dan syuhud dua bagian
tidak terpisahkan dan meyakini bahwa
Isyraqi tanpa argumentasi rasional tidak
memiliki nilai apapun begitupun sebaliknya. Metode Al-Hikmah Al-Muta’aliyah memberiargumentasi rasional, membimbing ilmuan
dan intelektual menempuh jalan ruhani dalam ma’rifat dan pencerahan batin---lalu
disebut sebagai filsuf peripatetik, iluminasionis sekaligus platonik Islam.
Kemunculan
Mulla Sadra dengan filsafat “eksistensialis” dalam islam---Asala al-wujud sebagai prinsip metafisikanya oleh Henri Corbin
dinilai suatu ‘revolusi’ dalam metafisika islam. Al-hikmah Al-Muta’aliyah terdiri dua istilah; Pertama, Al-Hikmah(kombinasi Iluminasionisme dan sufisme) yang memandang
hikmah dalam dua aspek; teoritis dan praktis atau pengetahuan dan tindakan.
Secara teoritis, tujuan hikmah mewarnai jiwa dengan gambaran realitas sebagai
dunia yang bisa dimengerti, yang menyerupai dunia objektif sedang secara
praktis melakukan perbuatan baik agar tercapai superioritas jiwa terhadap badan
dan badan tunduk kepada jiwa.Kedua, Al-Muta’aliyah( tinggi, agung, atau
transenden); “kesempurnaan jiwa manusia
melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana
adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangun berdasarkan
bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti
pandangan orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka,
anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap)
tatatertib alam semesta sebagai tatatertib yang bisa dimengerti, sesuai
kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”.
Aliran filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyahmerupakan sintesis---Tasawuf, Teologi dan
Filsafat.Teologi dengan karakter dialektikal-polemikal (zadali), filsafat dengan karakter demostratif atauburhani, teosofi iluminasionistik dan
gnostik dengan karakter dzawqi.Sintesis ketiga aliran pemikiran ini melahirkan
bangunan filsafat; tidak semata aksidental, melainkan metode
alternative, konseptual, dan ontologism sehingga filsafat Mulla Sadra dianggap
sebagai puncak evolusi pemikiran filsafat sebelumnya. Tujuan utama filsafat Mulla Sadra upaya
mencapai kesempurnaan hakiki manusia dalam konteks kehidupan sosial masyarakat
sekaligus menjelaskan secara spesifik pandangan teodesi dan eskatologi
sebagai perjalanan ruhani setiap manusia
yang hendak mencapai kesempurnaan melalui empat tahap intelektual manusia yang harus
dilewati mencapai kearifan tertinggi:
1.
Perjalan dari mahluk menuju Tuhan (Safar min al-Khalk ila al-haq);
dilakukan dengan mengangkat hijab kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi
manusia dan Tuhannya. Manusia harus melewati
tahap; dari tahap jiwa, qalb, ruh, dan berakhir pada maqsad al-aqsa. Perjalanan ruhani baru
dimulai dari pelepasan diri dan bergabung menuju Tuhan dengan mengangkat
kesadarannya dari realitas mahluk lewat pembahasan wujud dalam makna umum juga
tentang hukum-hukum ketiadaan, entitas, gerakan material, dan substansial serta
intelek;
2.
Perjalanan bersama Tuhan di dalam
Tuhan (Safar bi al-haq fi al–haq); tingkat penyempurnaan
teologis karena wujudnya telah menjadi dirinya dan dengan itu, dia melakukan
penyempurnaan dalam nama-nama agung Tuhan;
3.
Perjalanan dari Tuhan menuju Mahluk
bersama Tuhan (Safar min al–haq ila al
khalq bi al-haq); Kesadaran Tuhan menjadi kesadarannya dan menempuh
perjalanan diantara alam jabarut, malakut dan nasut, serta menyaksikan segala
sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui pandangan Tuhan. Tingkat ini meliputi proses penciptaan dan
emanasi yang terjadi pada intelek-intelek; dan
4.
Perjalanan dari mahluk menjadi
mahluk bersama Tuhan (Safar min al-khalq
ila al-khalq bi al-haq); berkaitan dengan ekskatologi atau ma’ad yang akan
terjadi pada manusia setelah kematiannya dan dengan bukti serta argumentasi
rasional.
Akal dan
wahyu, ketika masih berada dalam wacana asy-ariyah
dan mu’tazila, menjadi dua hal yang
bertentangan. Dalam Al-Hikmah Al-Muta’aliyah,
keduanya menjadi sekeping mata uang yang hanya berebeda sisi.
Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadra menjangkau nash-nash dan
memberinya dalil-dalil rasional.Mulla Sadra membuktikan bahwa wahyu dan hakikat
yang diajarkan para nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional tetapi
keduanya tidak memiliki pertentangan sedikitpun.Wahyu dan akal merupakan
kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.Tidak sedikitpun terjadi
pertentangan antara akal dan wahyu.Akal yang sehat dengan wahyu yang benar
adalah satu warna.
C. Filsafat
Wujud
Istilah hikmah atau falsafah dimasukkan kedalam bahasa Arab sekitar abad ke-2/8 dan
abad ke-3/9 dari kata Yunani philosophia
kemudian dalam konteks peradaban Islam, menggunakan nama lain, seperti; kalam,
ma’rifat dan usul al-fiqh. Tipe filsafat islam disebut Hikmah
(Arab) atau Hikmat (Persia)
terjemahan dari theosophy (inggris).
Sebagian intelektual muslim memilih pemikiran rasional---para filosof dan
mutakallimun---sebagian memilih jalan mistis tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
rasional---kaum sufi dan ahli al-tarikah pada umumnya---sedang
sebagian lainnya lebih bersikap dogmatis dengan menyandarkan diri pada
teks-teks suci (al-Qur’an dan Hadis) secara formal, tanpa interpretasi, baik
yang bersifat rasional, apalagi bersifat esoteric---terjadi di lingkungan fuqahaatau yang disebut sebagai ulama zahir (ulama eksoteris). W. Stace menyatakan bahwa irfan atau mistisme
berseberangan dengan prinsip logika karena irfan bersifat paradoks. Filsuf islam kontemporer (Muhammad Taqi
Misbah Yazdi) meyakini antara filsafat dan irfan dua disiplin pengetahuan yang
satu sama lain memiliki penekanan dan metodologi berbeda. Filsafat dalam ruang
lingkup ilmu Husuli berjalan dengan
akal rasional sedang irfan dalam ruang lingkup ilmu Hudhuri berangkat dengan kalbunya---karena itu, pembahasan
irfan tidak berada dalam ruang lingkup
konsep, proposisi, dan alam mental. Diskursus
terutama pada dua wilayah kajian ilmiah Islam---Ilmu kalam dan filsafat.Pertama,
ilmu kalam umumnya berkisar pada argumentasi tentang kebangkitan, kematian, barzakh,
surga-neraka, kebahagiaan dan pemderitaan, keabadian di akhirat, kebangkitan
jasmani dan safaat. Kedua, filsafattentang kebangkitan meliputi ruang
lebih luas---bukan hanya persoalan di ilmu kalam tetapi meliputi masa lalu,
jiwa dan raga, bentuk keterikatan antara ruh, jiwa dan raga, kemustahilan,
kebangkitan setelah ketiadaan (I’adah
al-makdum) dan lain sebagainya.
Metodelogi yang melandasi bidang masing-masing; kalam sebuah cabang ilmu
berusaha membuktikan kebenaran doktrin agama
dengan dasar nash dan sebagian argumentasi rasional didasarkan logika dan
dialektika (zadal) sedang filsafat usaha
mengungkap kebenaran dengan menjadikan
rasio sebagai pijakan utama.
Abad ke 7H, tasawuf
atau irfanmencapai puncak dengan
munculnya Ibn’ Arabi (638 H) yang memberi pengaruh besar terhadapdua hal utama
: Pertama, mendekatkan tasawuf dengan filsafat.
Kedua mendekatkan tasawuf dengan
syariat dengan membangun pondasi tasawuf atau irfan melalui dua konsep utama, Wahdah al–wujud dan Tajalli---jika priode sebelumnya irfan di rumuskan dalam bentuk
sastra pada priode Ibn’Arabi dengan kerangka filosofis---sehingga Ibn’ Arabi
dianggap pendiri konsep wahdah
al–wujud---namun penggunaan kata wahdah al–wujud pertama kali digunakan oleh
Ibn Taimiyah dalam mengkritik pemikiran Ibn’ Arabi. Menurut Ibn’ Arabi; wujud alam adalah Al–haqqdanhanya bisa di
nisbahkan pada Al – haqq bukan pada yang lainnya. Zat al–haqq sama sekali tidak terbatas.
Dirinya tidak dibatasi oleh apapun. Ketidak terbatasan ini dengan sendirinya
menafikan keberadaan yang lain, sebab jika ada satu ruang yang tidak
diliputinya berarti al – haqq di batasi oleh ruang tersebut. Oleh sebab itu,
Ibn’ Arabi meyakini bahwa perbedaan itu ada karena adanya keterbatasan, jika
keterbatasan itu diangkat, maka tidak ada lagi perbedaan kita dengan al- haqq.
1. Konsep
dan Realitas Wujud
Aliran filsafat Islam dibawa
pengaruh Mulla Sadra membedakan secara tegas antara konsep wujud dan
realitasnya. Wujud merupakan realitas satu-satunya bagi mereka yang memiliki
intelektual yang dihasilkan dari proses iluminasi dan ketersingkapan. Wujud
adalah “sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi mungkin untuk
diketahui “atau ” wujud adalah sesuatu yang merupakan sumber dari seluruh
akibat“atau ”yang memungkinkan untuk mengetahui tentang sesuatu adalah wujudnya”. Secara derivatif etimologis, wujud berasal
dari akar kata “wjd” memiliki arti dasar
“menemukan” atau “mengetahui sesuatu”. Secara etimologis, istilah tersebut
berkaitan dengan istilah “wijdan” berarti “kesadaran” atau “penegetahuan”, juga
berkaitan degan kata “wajd” berarti “kegembiraan yang luar biasa” atau
“kebahagian”. Istilah lain yang secara
filosofis memiliki makna penting, yaitu maujud yang berarti “yang
ada”---istilah ini di bedakan secara tegas dengan istilah wujud sebagai
“tindakan mengada”. Para ahli metafisika muslim mengetahui sepetuhnya perbedaan
antara “Ens” dan “Actus Essendi” (Latin) atau “Sein” dan “Das sein”
(Jerman). Ens atau Sein adalah bentuk
partisipal dari kata wujud, yaitu maujud, sedang Actus Essendi atau Das Sein
adalah bentuk verbal yaitu wujud.
Dalam pemikiran islam, alam tidak
sinonim dengan wujud. Keberadaan alam
dihadirkan Tuhan sebagai realitas yang abadi, sedangmaujud lainnya diciptakan
dan fana (mengalami kehancuran). Intelek
manusia mampu membedakan antara wujud dan
mahiyah dari sesuatu, bukan sebagaimana adanya secara eksternal, dimana hanya
satu objek yang maujud, tetapi di dalam wadah pemikiran. Pemikiran memiliki kemampuan memahamisesuatu
secara murni dan lengkap sebagai mahiyah, dan berbeda sama sekali dari bentuk
wujud. Artinya, mahiyah dipandang pada
dirinya sendiri dan sejauh merupakan dirinya sendiri. Secara konseptual pikiran mengkaji secara
terpisah hubungan antara “ke-apa-an” dan “ke-berada-an” dari sesuatu yang
maujud, memahami asal-asul ontologis segala sesuatu dan saling keterkaitan
diantara wujud, mahiyah, dan maujud. Mengenai realitas fundamental (asalah) dari wujud dan mahiyah, filosof muslim terbagi dua aliran;
Pertama, pendukung prinsip (asalah
al-mahiyyah) realitas fundamental
adalah mahiyah sedang wujud adalah
abstraksi mental semata (I’tibari)
dan Kedua, pendukung (asalah al-wujud) realitas fundamental adalah wujud, sedang mahiyah
adalah abstraksi mental semata (I’tibari). Menurut Alparslan Acikgenc,
aliran pertama disebut Aliran Esensial mewakili pluralisme
ontologisme sedang aliran kedua disebut Aliran Eksistensial mewakili monisme ontologia. Hampir tampa kecuali, para
sufi yang menganut doktrin Wahdah
al-Wujud penganut eksistensialis-monisme karena bagi mereka, satu-satunya
realitas adalah wujud.
2. Asalah al-Wujud
Suatu objek yang konkret
misalnya manusia ketika dipikiran menjadi dua bagian; (1) kemanusiaannya atau
keberadaannya sebagai manusia dan (2) keberadaannya sebagai sesuatu yang aktual
dan konkret. Jika menjadi proposisi ”dia adalah seorang manusia” dan”dia ada”
(merupakan sesuatu yang ada). Pernyataan pertama menunjuk kepada mahiyahmembedakan suatu objek dari
lainnya sedang pernyataan kedua merupakan wujud
yang menjadikannya aktual, nyata dan sama dengan seluruh yang ada lainnya.Kata
mahiyah digunakan dalam dua pengertian yaitu: pertama;
mahiyah dalam arti khusus (bi al-ma’na al-khass), berkaitan dengan
jawaban terhadap peryataan”apakah itu?”dan kedua;
mahiyah dalam arti umum (bi al-ma’na al-amm)
menunjukan tentang sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain menjadi ada atau merupakan
realitas (haqiqah) dari sesuatu. Mahiyah
dalam pengertian umum tidak bertentangan dengan wujud---karena wujud itu
sendiri adalah mahiyah menurut pengertian ini---sedang mahiyah dalam pengertian
khusus berbeda dari wujud karena berkaitan dengan sesuatu konsep didalam
pikiran atau hasil abstraksi mental---mahiyah dalam pengertian ini oleh Mulla
Sadra sesuatu yang bersifat I’tibari
dan menyatakanwujud sebagai sesuatu yang asli---prinsip asalah al-wujud inilah
yang mendominasi keseluruhan sruktur filsafat mulla sadra dan menjadi dasar
bangunan bagi system metafisikanya.
Mulla Sadra melakukan revolusi fundamental
dalam metafisika islam dengan menentang pandangan bahwa wujud tidak berkaitan
dengan realitas apapun di dunia eksternal dan menegaskan bahwa tidak ada yang
riil kecuali wujud. Wujud adalah satu satunya realitas---tidak pernah ditangkap
pikiran yang hanya bisa memahami mahiyah dan ide- ide umum.Karena mahiyah-mahiyah
hanya muncul dipikiran sehingga hanya fenomena mental dan hanya bisa diketahui oleh
pikiran.Di dalam Kitab Al-masya’ir,
Mulla Sadra menyatakan ”wujud sesuatu yang fundamental pada setiap yang ada, ia
merupakan realitas (hakikah) dan segala sesuatu selainnya hanya refleksi,
bayangan, atau penyerupaan”. Disamping sesuatu yang riil, wujud juga sesuatu
yang positif, jelas dan tertentu sedang mahiyah-mahiyah bersifat samar-samar,
gelap, tidak tertentu, negatif dan tidak riil.Karena mahiyah- mahiyah tidak ada
pada diri mereka sendiri, maka apapun yang mereka miliki adalah berkat
kebersamaan mereka dengan wujud.Wujud-wujud adalah riil dengan sendirinya,
karena merupakan manifestasi dari hubungan mereka dengan realitas absolut.
3. Wahda Al-wujud
Yang Esa memanifestasikan diri
didalam yang beranekaragam dan yang beranekaragam didalam Yang Esa.Terhadap
keesaan wujud dan keanekaragaman yang maujud tidak berarti meniadakan prinsip
keesaan wujud dan yang maujud.Penyebaran wujud kedalam berbagai maujudnya
terdiri atas tiga tingkatan wujud,
yaitu;
1.
Wujud
Murni, yaitu wujud yang tidak tergantung kepada
selain dirinya dan tidak terbatasi. Keberadaannya mendahului segala sesuatu
yang lain dan ia ada pada dirinya sendiri, tanpa perubahan dan pergerakan. Dia adalah
ketersembunyian yang murni dan kerahasian yang absolut, yang hanya bisa
diketahui melalui perumpamaan-perumpamaannya dan bekas-bekasnya. Karena
esensinya yang suci, ia tidak bisa dibatasi oleh determinasi apapun, sebab akan
menjadikan wujud-nya berada dibawah kondisi keterbatasan dan partikularisasi.
Oleh karena itu, keabsolutan ini hanya bersifat negatif, yang mengharuskan
peniadaan seluruh sifat da penilaian dari hakikat esensinya, serta meniadakan
pembatasan dan perubahan pada sifat, nama, atau yang selain itu, bahkan meniadakan
peniadaan-peniadaan tersebut, karena semua itu adalah konsep- konsep yang
merupakan abtraksi mental belaka. Pada
tingkatan pertama, wujud dipandang sebagai la
bi-syart, yaitu wujud dalam keadaannya yang tanpa syarat, mengatasi setiap
determinasi, bahkan sifat mengatasi setiap determinasi. Dalam kaitan ini, di
bedakan antara wujud sebagai la bi-syart
dan sebagai bi-la syart. Menurut
aliran Mulla Sadra, yang pertama berkaitan dengan Realitas Absolute atau
Realitas Mutlak yang digambarkan tanpa memandang dunia manifestasi dan
determinasi, sedang yang kedua mengacu pada Realitas Mutlak yang sama, tetapi
dengan memandang wilayah manifestasi;
2.
Wujud
yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya.
Ia merupakan wujud terbatas yang dibatasi oleh sifat-sifat yang merupakan
tambahan pada dirinya dan disifati oleh penilaian-penilaian yang bersifat
terbatas, seperti akal-akal, jiwa-jiwa, benda-benda langit, unsur-unsur serta
komponen-komponen yang membentuk manusia, hewan, tumbuh tumbuhan, batu batuan
dan lain sebagainya. Pada tingkatan
kedua, wujud dipandang sebagai bi-syart
syai, yang berkaitan dengan keadaan keadaan wujud kosmis yang tersusun
secara hirarkis, mulai dari yang bersifat keruhanian sampai pada yang material.
Di dalam seluruh keadaan tersebut, wujud di syaratkan oleh
determinasi-determinasi tertentu, yang menyebabkannya menurun melalui mata
rantai rangkaian wujud dan mengaktualisasikan segala sesuatu didalam lipatan wujud
universal; dan
3.
Wujud
Absolut; dalam penyebaranya, yang generalitasnya jangan
dikaburkan dengan universalitasnya, sebab wujud adalah aktualitas yang murni,
sedang konsep universal berada dalam potensialitas, yang membutuhkan sesuatu
untuk ditambahkan kepadanya agar ia menjadi actual dan konkret. Disamping itu,
keesaan wujud ini bukan lah esa menurut pengertian penjumlahan. Akan tetapi, ia
merupakan realitas yang menyebar ke”kuil-kuil seluruh yang bersifat mungkin” (hayakil al-mumkinat) dan
“lembaran-lembaran seluruh mahiyah” (alwah
al-mahiyat), tanpa terikat pada deskripsi tertentu dan tidak pula di batasi
oleh batasan- batasan tertentu dan tidak pula dibatasi oleh batasan batasan
tertentu, seperti yang abadi dan yang baru, yang lebih dulu dan yang lebih
kemudian, yang sempurna dan yang kurang sempurna, yang menjadi sebab dan
menjadi akibat, yang substansial dan yang aksidental, serta yang terpisah dari
materi dan yang materil. Pada tingkatan ketiga, yang memandang wujud sebagai bi-syart la, Mulla Sadra menggambarkan
apa yang dalam terminology sufi di sebut sebagai al-ahadiyyahdisatu pihak, dan nafas al-rahman atau al-faid al-aqdas, yang menyebabkan nama-
nama dan sifat-sifat tuhan memasuki wilayah pembedaan atau disebut sebagai
al-wahidiyyah dipihak yang lain.
4. Tasykik al-wujud
Tasykik
atau gradasi pada prinsipya, tasykik berarti menjadi”lebih atau kurang atau bisa
menjadi bertambah dan berkurang”.Setiap wujud mengalami suatu pembaharuan atau
perubahan terus menerus.Karena aksiden- aksiden tergantung kepada wujud dan
bersifat sekunder terhadapnya, maka gerakan yang terjadi pada aksiden- aksiden
tidak bisa di jelaskan secara tepat tanpa mengacu kepada gerakan pada
substansi.Gerakan yang bersifat eksistensial tersebut dimulai dari tingkatan
yang paling bawah, yaitu materi dan berakhir pada tingkatan tertinggi, yaitu
Tuhan.Mulai dari tingkatan yang terendah sampai kepada tingkatan tertinggi,
wujud membuka dirinya dan memerlukan eksistensi individual yang lebih konkrit.
Alcapone,
1 Syawal 1436H
Sumber:
Dr.
Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat; Filsafat Eskatologi Mulla
Sadra, Jakarta, 2012
Dr.
Syaifuddin Nur, M.A, Filsafat Hikmah Mulla Sadra; Rausyan Fikir,
Yogyakarta,2012
Dr.
Syaifuddin Nur,M.A, Filsafat Wujud Mulla Sadra; Pustaka Pelajar,
Yogyakarta,2012
Muhammad
Nur, Wahdah Al-Wujud Ibn Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Sadra; Makassar, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar