Bila Anda ingin
bahagia, buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran, melepaskan tenaga
serta mengilhami harapan Anda---Andrew
Canegie
Kemampuan menertibkan
keinginan merupakan latar belakang dari watak---John Locke
A.
Pendahuluan; Epicurus dan jaman Helenistis
Epicurus hidup sekitar 341 SM dan meninggal 270 SM adalah filsuf
jaman Helenistik dan pendiri Mazhab Epicureanisme. Di kawasan berbahasa Yunani,
jaman Helenistis adalah periode kekuasaan Makedonia yang dicirikan oleh
penaklukan dan kekacauan---sisa-sisa terhapus oleh aneksasi Romawi terhadap
Mesir sesudah kematian Cleopatra. Gejolak dan situasi jaman saat itu membuat filsuf Helenistik memiliki
keunikan tersendiri dibanding filsuf sebelumnya. Jika filsuf pra-Sokrates; Thales,
Anaximandros, dsb. sibuk memikirkan alam dan trio Sokrates-Plato-Aristoteles berusaha
membangun sistem filsafat yang utuh, maka filsuf Helenistik lebih sibuk menjelaskan etika, keutamaan, dan bagaimana menjalani
kehidupan saat ini. Etika hidup menjadi
tema besar para filsuf Helenistik yang kemudian melahirkan beberapa aliran
pemikiran; Stoisisme, Skeptisisme, Sinisme, dan Epikureanisme. Menurut pandangan Helenistik, filsafat
hendaklah berkenaan dengan etika hidup sehari-hari atau filsafat sebagai seni
untuk hidup. Epictetus (filsuf moral
Stoa) percaya bahwa tujuan filsafat bukan untuk mendapat penghargaan publik
tetapi untuk menjadi seorang warga dunia yang baik. Antisthenes (cikal bakal
ajaran Sinisme) menyatakan bahwa segala filsafat yang serba muluk tidak ada
gunanya; apa yang bisa diketahui, haruslah bisa diketahui oleh orang
kebanyakan. Epicurus sebagai pendiri mazhab Epicureanisme menyatakan bahwa filsafat adalah aktivitas
yang berisi argumen dan diskusi yang membawa kita pada kehidupan yang bahagia. Sebagai filsuf Helenistik Epicurus mewarisi watak khas Helenistik yang
menekankan filsafat untuk bagaimana hidup ini lepas dari penderitaan.
Epicurus lahir dari keluarga miskin.
Orang tuanya; Neocles dan Chaerestrate berasal dari Athena tetapi tinggal di
Samos. Ia hanya orang biasa dan bergaul dengan komunitas Taman yang ia bentuk. Umur sepuluh tahun, Epicurus belajar filsafat
pada Pamphilus (murid Plato), Ia juga
belajar filsafat pada Nausiphanes (murid Democritos) membangun pemikiran Atomisme ala Demokritos
sebagai pondasi dasar filsafatnya. Pada
tahun 311 SM Epicurus mendirikan sekolah pertamanya di Mytilene, kemudian
pindah ke Lampsacus. Pada tahun 306 SM
ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah The Garden (Taman). Sesuai namanya, sekolah ini berlangsung di
sebuah taman di areal rumah Epicurus. Murid-murid Taman tidak hanya mendengar
ajaran Epicurus tetapi juga merupakan komunitas yang teguh menjalankan
ajaran-ajaran guru mereka. Semasa hidupnya
(menurut ceritera) Epicurus menulis
sekitar tiga ratus buku namun hingga saat ini tidak satupun terselamatkan. Peninggalannya hanya beberapa surat-surat
kepada sahabat-sahabatnya dan beberapa fragmen-fragmen yang diberi judul On
Nature. Narasumber kehidupan dan ajaran-ajaran Epicurus adalah buku X, Lives of
Eminent Philosophers, karya Diogenes Laertius. Sedang ajaran-ajaran Epicurus
bisa terwariskan dengan baik oleh
muridnya; Titus Lucretius Carus (99-55 SM) seorang penyair Latin yang
menggubah pemikiran-pemikiran Epicurus dalam bentuk syair-syair yang berjudul
On the Nature of Things. Di kalangan
para filsuf sendiri (setelah kekuasaan Augustus) ada kesepakatan untuk menolak
filsafat Epicurus demi menerima ajaran kaum Stoa. Kemunculan abad Kristianitas,
ajaran Epicurus yang materialistik serta penolakan penyelenggaran Ilahi dianggap murtad,
menyesatkan bahkan dituduh ajaran ateisme.
Ciri khas filsuf Helenistik menghendaki
filsafat menjadi terapi bagi kehidupan, agar hidup manusia menjadi baik dan
berbahagia di tengah-tengah penderitaan .
Kekuasaan politik saat itu
telah beralih ke tangan orang-orang Makedonia dan para filsuf Yunani mulai menyingkir dari
politik dan mencurahkan diri pada masalah keutamaan atau keselamatan individu. Mereka tidak lagi menanyakan bagaimana
manusia bisa menciptakan negara yang baik? Pertanyaan penting ketika itu; bagaimana
manusia bisa tetap luhur di dalam dunia yang durjana, atau berbahagia di dalam
dunia yang sarat derita (Russell, 2002: 314).
Dengan demikian, filsafat hendaklah berkenaan dengan etika hidup
sehari-hari atau filsafat sebagai seni untuk hidup. Epictetus, salah satu
filsuf moral Stoa percaya bahwa tujuan filsafat bukan untuk mendapat penghargaan
publik tetapi untuk menjadi seorang warga dunia yang baik. Antisthenes, cikal
bakal ajaran Sinisme, menyatakan bahwa segala filsafat yang serba muluk tidak
ada gunanya; apa yang bisa diketahui, haruslah bisa diketahui oleh orang
kebanyakan. Epicurus sebagai pendiri mazhab Epicureanisme menyatakan bahwa filsafat adalah aktivitas
yang berisi argumen dan diskusi yang membawa kita pada kehidupan yang bahagia.
B.
Filsafat sebagai Terapi
Filsafat Epicurus adalah reaksi atas
jamannya yang penuh kekacauan. Ajarannya
tentang cara manusia hidup lepas dari penderitaan dengan membangun dasar-dasar
bagi apa yang disebutnya sebagai keutamaan hidup. Filsafat menurut Epicurus
harus menjadi terapi bagi lara hidup manusia dan para filsuf yang berfilsafat untuk tidak melipur lara dianggap hanya kata-kata kosong yang tidak berguna. Menurut Epicurus; “for just as there is no use in medical
expertise if it does not give therapy for bodily diseases, so too there is no
use in philosophy if it does not expel the suffering of the soul”(Jordan, 1992:
138). Filsafat Epicurus adalah etika
sebagai seni hidup yang dijalankan berdasarkan keutamaan. Keutamaan
hidup menurutnya adalah kebijaksanaan (prudence) untuk mengejar kenikmatan.
Kenikmatan diartikan secara negatif yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan. Kenikmatan adalah awal dan akhir (alpa
dan omega) hidup yang bahagia. Kenikmatan tidak selalu mudah diperoleh. Selalu ada hambatan-hambatan. Bagi Epicurus, hambatan-hambatan muncul
akibat adanya kecemasan yang bersumber dari rasa takut manusia pada dewa dan
rasa takut akan kematian. Untuk menghilangkan kecemasan tersebut, filsafat adalah terapi bagi kehidupan
lewat empat obat mujarab (fourfold remedy) yang disebut tetrapharmakos: “(1)
God presents no fears, (2) death no worries. And while (3) good is readily
attainable, (4) bad is readily endurable.”
C.
“Apa yang Baik Mudah Diperoleh, Apa yang buruk Mudah Dihindari”
Pernyataan “apa yang baik mudah
diperoleh, apa yang buruk mudah dihindari” menjadi konsep Epicurus tentang
keutamaan dan kenikmatan. Dengan “apa yang baik” artinya kenikmatan itu sendiri
menuntun manusia pada keutamaan hidup, sebaliknya “apa yang buruk” menyangkut
segala hal yang menghalangi manusia menuju keutamaan. Kalau “apa yang baik”
adalah kenikmatan, lalu apa yang dimaksud kenikmatan oleh Epicurus? Secara umum menurut Epicurus terdapat dua
jenis keinkmatan; kenikmatan tubuh dan
kenikmatan batin. Di dalam The End of
Life, Diogenes Laertius, mengutip kata-kata Epicurus, “Aku tidak tahu bagaimana
caranya mengonsepsikan kebaikan, jika aku menghindari kenikmatan lidah,
menghindari kenikmatan cinta, serta kenikmatan-kenikmatan pendengaran dan
penglihatan” (Russell, 2002: 332).
Apakah kenikmatan hanya kenikmatan
fisik saja? Epicurus menjawab tidak. Meskipun Epicurus mengatakan; permulaan dan
akar semua kebaikan adalah kenikmatan perut, tidak berarti bahwa kenikmatan
tubuh adalah satu-satunya kenikmatan. Ada kenikmatan batin yang merupakan
kontemplasi atas kenikmatan-kenikmatan tubuh.
Suratnya kepada Menoeceus, Epicurus menjelaskan kenikmatan/kesenangan: “Kesenangan adalah nilai pertama yang kita
miliki sejak lahir, nilai itulah yang mengarahkan dalam segala apa yang kita
usahakan maupun kita hindari, padanya kita arahkan diri kita, karena kita
mengukur segala nilai dengan tolak ukur kesenangan. Justru karena kesenangan
merupakan nilai kita yang pertama dan alami, kita juga tidak tertarik pada
segenap kesenangan, kadang-kadang kita membiarkan
banyak kesenangan lewat apabila ada kekhawatiran bahwa kesenangan akan
menimbulkan perasaan tidak enak yang lebih besar. Kita bahkan kadang-kadang
menilai banyak perasaan sakit lebih unggul daripada kesenangan-kesenangan,
seperti apabila masa penderitaan yang agak panjang akan disusul oleh kesenangan
yang semakin besar. Jadi bagi kita, setiap
kesenangan karena ia pada dirinya sendiri enak memang merupakan seuatu yang
baik, akan tetapi tidak setiap kesenangan hendaknya diusahakan. Sebaliknya
setiap perasaan sakit merupakan hal yang buruk, akan tetapi hal itu tidak
berarti bahwa perasaan sakit selalu harus dihindari. Menjadi tugas kita, dengan mempertimbangkan
dan membedakan yang menguntungkan dan merugikan, untuk selalu menilai segala
apa dengan tepat, karena kadang-kadang kita memakai yang baik seakan-akan dia
buruk dan sebaliknya” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 68). Teks ini menjelaskan bahwa kesenangan atau
kenikmatan yang dimaksud oleh Epicurus berkenaan dengan dua jenis kesenangan;
kesenangan tubuh dan kesenangan mental. Kesenangan adalah prinsip utama kehidupan atau
ujuan hidup manusia. Prinsip kesenangan menggerakan manusia untuk selalu
memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dapat membuatnya senang.
Namun, apabila manusia hanya mengikuti kesenangannya semata, manusia akan
cenderung destruktif dan berbahaya.
Menurut Epicurus kesenangan tubuh
adalah yang pertama kali muncul dan dirasakan manusia. Bahkan nilai-nilai dan
kebudayaan sesungguhnya lahir dari kesenangan tubuh, “permulaan dan akar semua
kebaikan adalah kenikmatan perut; bahkan kebijaksanaan dan kebudayaan pun harus
dikembalikan pada hal ini.” Namun, yang perlu diingat bahwa tidak semua
keinginan ingin diusahakan manusia.
Manusia melewatkan banyak kesenangan demi kesenangan lebih besar. Manusia rela menderita demi memperoleh kesenangan yang
apabila dicapai harganya lebih tinggi dari
nilai yang dikeluarkan untuk menderita. Seorang ibu hamil misalnya, harus
menunda makanan kesukaannya hanya karena makanan tersebut bisa membahayakan
janinnya. Ia menunda kesenangan itu demi kesenangan yang lebih besar ketika
kelak melihat anaknya lahir sehat. Seorang suami menghentikan kebiasaan merokoknya
hanya karena ingin istrinya aman saat melahirkan. Dalam pemikiran Epicurus,
kesenangan tubuh dan kesenangan jiwa adalah dua hal yang harus dipenuhi untuk
memperoleh kebahagiaan. “Apabila kita memandang
keinginan-keinginan kita dengan tenang, kita belajar untuk mempergunakan setiap
keinginan dan setiap dorongan untuk menghindar demi kesehatan badan dan
pemeliharaan ketenangan jiwa, karena dua hal itu merupakan intisari hidup yang
bahagia” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 67).
Ajaran Epicurus dianggap hanya
mementingkan kesenangan badaniah dan menyamakan dengan gaya hidup hedonis. Suratnya kepada Menoeceus sebagai
sanggahan Epicurus; “Maka kalau kami mengatakan bahwa tujuan
hidup kita adalah kesenangan, yang kami maksud bukanlah kesenangan kaum gembul
yang asal menikmati saja. Itu anggapan mereka yang tidak tahu atau yang tidak
mengerti ajaran kami atau dengan sengaja memutarbalikkan. Bagi kami kesenangan
berarti tidak merasa sakit dalam tubuh dan tidak resah dalam jiwa, karena hidup
penuh kesenangan tidak diperoleh dengan pesta minum dan makan terus-menerus,
tidak dengan menikmati remaja laki-laki dan wanita cantik, juga tidak dengan
menikmati ikan yang enak dan makanan mewah apa saja, melainkan hanyalah dengan
pemikiran terang yang mencari akar segala keinginan dan dorongan, menghindar
dan mengusir gagasan-gagasan aneh yang, bagaikan angin prahara, mengoyangkan
jiwa” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 69).
Teks ini menunjukkan bahwa hedonisme Epicurus tidak sama seperti
hedonisme yang hanya mereduksi kesenangan hanya di seputar kesenangan badan
saja. Bagi Epicurus, meskipun kesenangan badan
merupakan hal alamiah bagi manusia, namun manusia bukan budak atas hasratnya, ia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk
menahan dan menunda kesenangan badan yang tidak berguna, yang justru
menimbulkan ketidaknyamanan.
Makanan dan minuman (yang enak) dapat
membangkitkan kesenangan badan jika ingin bahagi. Tetapi jika kehidupannya
memaksa untuk tidak bisa menikmati maka ia bisa hidup dengan menahan diri atas
kesenangan indrawi. “Tubuh merasakan
kenikmatan ketika aku hidup hanya dengan roti dan air, dan kunistakan pelbagai
kesenangan serba mewah, bukan karena kesenangnya itu sendiri, namun karena
ketidaknyamanan yang diakibatkannya” (Epicurus dalam Russell, 2002: 330). Tanpa kesenangan badan, seseorang bisa
mengalami kesenangan dari ketenangan jiwa. Ataraxia atau ketenangan jiwa jauh
lebih utama daripada kesenangan badan. Apa
yang membuat manusia memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menahan kesenangan yang
tidak berguna? Epicurus menyatakan karena manusia memiliki akal budi. “Pada permulaan segala-galanya ada akal budi,
milik kita yang paling bernilai. Dari
akal budi semua keutamaan dapat
disimpulkan,… akal budi mengajar kami bahwa tidak mungkin hidup dengan senang,
kalau tidak hidup secara rasional, bersusila dan adil. Namun mustahil
hidup dengan rasional, bersusila dan
adil, tetapi tidak merasa senang, karena keutamaan-keutamaan menyatu erat
dengan hidup bersenang, dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang
satunya.” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 69). Akal budi adalah milik manusia yang paling
khas. Akal budi adalah jembatan atau penengah antara rasio manusia yang
berdasarkan pada realitas dan kesenangan manusia sebagai kondisi alamiah
manusia. Keutamaan atau kebijaksanaan
manusia apabila mereka bisa menggunakan akal budinya dengan baik, tidak hanya mengejar kesenangan badaniah tetapi
juga mengutamakan ketenangan jiwa (ataraxia).
D.
Tuhan tidak Berurusan dengan Manusia
Dalam konteks pemikiran Helenistik saat
itu, Epicurus menyerang kaum Stoa yang menempatkan penyelenggaraan Ilahi
sebagai bagian pokok dari alam yang berpengaruh dalam menentukan nasib manusia.
Menurut kaum Stoa, keutamaan hidup (ataraxia) terkandung dalam kehendak yang
seirama dengan Alam. Cicero, salah satu
juru bicara Epikureanisme mengkritik kaum Stoa dengan mengatakan; “You [Stoics]’, fail to see how nature’s
creative work can occur without any mind (sine aliqua mente), and so you run to
god like the tragic poets, needing a god to unravel the end of your plot”
(Long, 2006: 158). Setidaknya ada dua
alasan menurut Epicurus para dewa tidak berurusan dengan manusia. Pertama, dari
sudut para dewa itu sendiri, mereka tidak tertarik dengan segala tetek bengek
urusan manusia. Dewa-dewa tidak akan merepotkan diri mereka sendiri mencampuri
urusan hidup manusia (Russell, 2002: 337) dan Kedua, kebebasan manusia hanya bisa terjadi
jika para dewa tidak berurusan dengan manusia.
Epicurus bukan ateis seperti Sartre
yang mengingkari keberadaan Tuhan demi kebebasan manusia. Ia hanya meniadakan Tuhan dari
penyelenggaraan alam semesta dan tetap menganggap bahwa para dewa itu ada dalam
keabadiaan mereka, dan apa yang selama ini dipikirkan manusia tentang para dewa
adalah tidak sama dengan sosok para dewa itu sendiri. Epicurus menganggap bahwa
orang ateis bukanlah orang yang menyingkirkan pikiran-pikiran orang banyak
tentang dewa tetapi menyesuaikan para dewa dengan anggapan orang banyak.
Jika para dewa tidak berurusan dengan
manusia maka segala aspek takhayul, praktek dukun, ramal-meramal dan berdoa semuanya
tidak bisa dipercaya. Dengan mengusir
tuhan/dewa dari firdaus, Epicurus memberi lowongan besar bagi kebebasan manusia. Manusia bukan
aktor dalam panggung sandiwara kehidupan yang sudah ditentukan perannya
masing-masing sejak awal dan hanya melakoni apa yang sudah ditentukan baginya.
Manusia bisa menentukan keputusan bagi nasibnya sendiri. Jika sesuatu yang buruk menimpa manusia, hal
itu bukan takdir ilahi, “orang banyak berpendapat bahwa kalau seseorang
mengalami sesuatu yang buruk atau ia mengalami kemajuan dalam hal-hal baik,
bahwa itu keputusan dewa. Orang banyak menganggap asing apa yang tidak sama
dengan (pandangannya) sendiri, dan oleh karena itu hanya mau menerima dewa yang
sama dengan pikiran orang banyak sendiri” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 2002:
337).
E.
Kematian bukan untuk Ditakut1
Di zaman Epicurus, orang Yunani sangat
takut akan kematian. Mereka takut jenis kehidupan yang akan mereka masuki setelah
kematian dan hukuman Hades--- dewa kematian dalam mitologi Yunani. Dewa Hades (Άδης
atau Ἀΐδας; dari kata Bahasa
Yunani ᾍδης, Hadēs, artinya "yang tak kelihatan")
dipercaya sebagai penguasa langit dan bumi, termasuk dunia di bawah bumi,
penguasa atas udara dan lautan. Kematian membuat seseorang meninggalkan
kehidupannya dan berpindah ke dunia orang mati (selain berarti penguasaan akan suatu
wilayah/dominion, Hades juga menunjukkan lokalitas/tempat), sebuah dunia
(realm) orang mati yang gelap dan menakutkan, semua orang mati
akan "diadili" dan diganjar dengan kutukan (curse) atau hadiah
(reward).
Bagi Epicurus,
mengapa harus takut pada kematian? Ketakutan pada kematian adalah kebodohan
(foolishness). Yang penting adalah kehidupan dan dan yang terpenting adalah
bagaimana mengisi kehidupan dan bukan menyia-nyiakan waktu untuk tidak
melakukan sesuatu apapun karena takut akan kematian. Bagi dia, kehidupan itu
lebih berharga karena hanya dalam kehidupanlah manusia memiliki kemampuan
menginderai, kemampuan merasakan sesuatu. Hanya melalui kemampuan menginderai (sensation)
manusia sanggup membedakan mana yang baik yang harus dilakukan dan mana yang
buruk yang tidak boleh dilakukan. Sebagai peristiwa (event) atau salah
satu rangkaian kehidupan, kematian menurut Epicurus adalah "the
privation of all sentience". Kematian memang akan datang dan
menghampiri setiap manusia, tetapi dia tidak boleh ditakuti, karena keadaan
kematian membebaskan kita dari kemampuan membedakan manakah yang baik dan
manakah yang buruk. Takut akan hukuman Hades adalah kebodohan. Bagaimana
mungkin seseorang menghadapi dan merasakan hukuman Hades ketika kematiannya
adalah sebuah keadaan tanpa kemampuan menginderai?
Paragraf ketiga Surat
(Letter) kepada Menoeceus, Epicurus menulis, "Biasakan
dirimu untuk meyakini bahwa kematian tidak berpengaruh apa-apa pada kita,
karena yang baik (good) dan yang buruk (evil) mengandaikan adanya
kemampuan kita untuk merasakan sesuatu, padahal kematian adalah ketiadaan semua
perasaan demikian. Karena itu, pemahaman yang tepat bahwa kematian tidak
berpengaruh apa-apa pada kita membuat kehidupan yang fana (mortality of life)
ini menjadi bisa dinikmati, bukan dengan menambahkan pada kehidupan waktu yang
tak-berbatas, tetapi dengan menyingkirkan hasrat akan kekekalan (immortality).
" Kehidupan itu sesuatu yang
alamiah (natural thing), memiliki berbagai peristiwa (event), ada
kelahiran, ada kematian, ada pertumbuhan dan perkembangan, ada yang mengalami
perubahan dari kecil menjadi besar, dari muda menjadi tua. Kenyataan alamiah
ini harus diterima sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri, dan sebagai salah
satu peristiwa dari kehidupan, kematian memang akan datang;dia akan dialami. Membebaskan
diri dari ketakutan akan kematian akan
membuat manusia fokus pada bagaimana mengisi kehidupan. Menurut Epicurus "...
a correct understanding that death is nothing to us makes the mortality of life
enjoyable, not by adding to life a limitless time, but by taking away the
yearning after immortality." Jelas bagi dia, kehidupan itu sendiri
sesuatu yang fana (mortal), keadaan (state of affair) yang harus
diisi dengan hal-hal yang menyenangkan (enjoyable), bukan dengan mendambakan
semacam kehidupan tanpa batas waktu (kekekalan)-imajinasi ini muncul karena
ketakutan akan hukuman Hades-tetapi dengan menyingkirkan jauh-jauh perasaan
kekekalan semacam itu. Dalam bahasa sehari-hari tampaknya Epicurus mau
mengatakan, "Dari pada menyiksa diri dalam ketakutan akan kematian dan
hukuman setelah kematian, lebih baik kita menjalankan kehidupan sekarang yang
lebih menyenangkan."
Bagi Epicurus, pandangan mengenai
kematian dan sikap yang tepat dalam menghadapi kematian inilah yang kemudian
menjadi dasar filosofis membangun, mengatur, mengelola, dan mengisi kehidupan.
Seperti halnya filsuf Yunani lainnya, Epicurus pun mewarisi pandangan bahwa
tujuan tertinggi yang ingin dicapai manusia dalam hidupnya adalah kebahagiaan.
Kehidupan lebih berharga dari kematian, karena dalam kehidupanlah kita bisa merasakan sesuatu dengan panca indera kita. Menurut Epicurus, hal atau dorongan yang paling alamiah dari kehidupan manusia adalah perasaan nikmat (pleasure) dan sakit (pain). Berbeda dengan kematian, secara alamiah manusia tidak hanya mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, tetapi juga berusaha memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan atau menghilangkan rasa sakit. Ditempatkan dalam konteks usaha manusia mencapai kebahagiaan melalui melakukan yang baik dan menghindari yang buruk, kenikmatan dan maksimalisasi kenikmatan adalah "baik" (good) dan sakit adalah sesuatu yang buruk. Pandangan mengenai kematian dan tawaran Epicurus untuk fokus pada kehidupan sangat jelas. Kematian hanya sebuah "event" bagian dari kehidupan manusia. Tidak perlu ditakuti karena tidak mendatangkan atau menimbulkan kenikmatan dan rasa sakit apapun. Tubuh yang mati adalah tubuh yang dingin dan kaku, tubuh yang telah berubah dari "seseorang" (person) menjadi "sesuatu" (thing). Orang bijak (wise man) akan menyibukkan diri dengan bagaimana membedakan yang baik (pleasurable) dan yang buruk (painful) dan bertingkah laku menurut pertimbangan moralnya. Hanya dengan cara demikian seseorang akan mencapai kebahagiaan.
Kehidupan lebih berharga dari kematian, karena dalam kehidupanlah kita bisa merasakan sesuatu dengan panca indera kita. Menurut Epicurus, hal atau dorongan yang paling alamiah dari kehidupan manusia adalah perasaan nikmat (pleasure) dan sakit (pain). Berbeda dengan kematian, secara alamiah manusia tidak hanya mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, tetapi juga berusaha memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan atau menghilangkan rasa sakit. Ditempatkan dalam konteks usaha manusia mencapai kebahagiaan melalui melakukan yang baik dan menghindari yang buruk, kenikmatan dan maksimalisasi kenikmatan adalah "baik" (good) dan sakit adalah sesuatu yang buruk. Pandangan mengenai kematian dan tawaran Epicurus untuk fokus pada kehidupan sangat jelas. Kematian hanya sebuah "event" bagian dari kehidupan manusia. Tidak perlu ditakuti karena tidak mendatangkan atau menimbulkan kenikmatan dan rasa sakit apapun. Tubuh yang mati adalah tubuh yang dingin dan kaku, tubuh yang telah berubah dari "seseorang" (person) menjadi "sesuatu" (thing). Orang bijak (wise man) akan menyibukkan diri dengan bagaimana membedakan yang baik (pleasurable) dan yang buruk (painful) dan bertingkah laku menurut pertimbangan moralnya. Hanya dengan cara demikian seseorang akan mencapai kebahagiaan.
F.
Metafisika
Sebagai seorang materialis konsep
metafisika Epicurus mengikuti Demokritos bahwa dunia ini terdiri dari atom-atom
dan ruang hampa. Demokritos percaya
bahwa atom-atom digerakan sepenuhnya oleh hukum alam, Epicurus berpendapat
bahwa atom-atom digerakan oleh kehendak bebas. Tidak selamanya atom-atom jatuh
mengikuti garis lurus dari atas ke bawah, ada kalanya gerak atom jatuh
melenceng miring dari garis lurus dan bertabrakan secara kebetulan dengan
atom-atom yang lain. Karena segala
sesuatu tersusun dari atom-atom, maka jiwa pun terbentuk dari atom-atom yang
bersifat material. Atom-atom jiwa menyebar ke seluruh tubuh. Sensasi disebabkan
oleh film-film halus yang disebarkan oleh tubuh dan terus bergerak hingga
mereka bersinggungan dengan atom-atom jiwa. Film-film itu bisa tetap ada
meskipun tubuh dari mana mereka berasal telah hancur; inilah yang menciptakan
mimpi. Sesudah mati, jiwapun musnah sedang atom-atomnya tetap hidup tetapi tidak dapat lagi merasakan sensasi, sebab
atom-atom itu tidak lagi berhubungan dengan tubuh (Russell, 2002: 337).
Dalam skema pemikiran Epicurus, manusia
adalah kumpulan atom-atom yang saling bersinggungan, berkelindan, dan
bertabrakan, tidak hanya secara fisiologis dan jiwa manusiapun adalah sekumpulan atom-atom
yang mendiami tubuh. Perasaan-perasaan manusia tidak lebih dari hasil hubungan-hubungan
halus antara atom tubuh dan jiwa. Atom-atom
tersebut tidak bergerak mengikuti hukum tertentu tetapi bergerak mengikuti
kehendak bebas. Jika natur manusia hanya
dijelaskan sebagai kumpulan atom-atom semata, manusia bisa dikatakan sama
dengan benda mati, hewan, dan tumbuhan. Dalam pemikiran Epicurus, manusia sebagai
kumpulan atom memang tidak berbeda dengan benda manapun, tetapi pada taraf yang
lebih tinggi, dalam diri manusia terdapat dua unsur utama, kesenangan tubuh dan
ketenangan jiwa (ataraxia). Kesenangan tubuh; berhubungan erat dengan kutub
fisik sedang kutub ataraxia berhubungan dengan kutub mental. Interaksi dan
bentuk interaksi antara kesenangan badan dan ketenangan jiwa menentukan taraf kehidupan manusia membedakannya dari tumbuhan dan
hewan.
Dalam konstelasi pemikiran tersebut,
Whitehead mengatakan bahwa di dalam kehidupan bekerja dua kutub yang memiliki
fungsi berbeda; kutub fisik dan kutub mental. Interaksi dan intensitas kedua
kutub tersebut muncul taraf-taraf dalam dunia: taraf anorganik, vegetatif,
sensitif, rasional. Pada taraf vegetatif (dominan pada
tumbuhan) kutub fisik memiliki kuasa lebih dominan terhadap kutub mental. Manusia pada taraf vegetatif tidak ada
bedanya dengan tumbuhan. Dalam istilah Epicurus, mereka yang hanya mementingkan
kesenangan badan sampai taraf ekstrem seperti halnya tumbuhan yang menyerap air
sebanyak mungkin hingga membusuk. Dalam
pemikiran Epicurus hadirnya akal budi; “permulaan segala-galanya…milik kita
yang paling bernilai”, menjadi ciri khas manusia. Pada taraf sensitif yang sebagian besar
dimiliki ohewan, kutub mental memiliki peranan lebih besar namun tetap saja
yang diutamakan hanya bertahan hidup sehingga kita tidak pernah menjumpai
burung membuat tambak ikan atau komunitas singa membuat peternakan rusa.
Tentang rasio dan akal budi dan
hubungannya dengan dorongan hidup, Whitehead (2001: 43) menjelaskan bahwa
penanganan aktif atas lingkungan terletak pada adanya tiga dorongan: (i)
dorongan untuk hidup, (ii) untuk hidup baik, (iii) untuk hidup lebih baik. Pada
kenyataannya, kiat hidup ialah pertama-tama untuk mempertahankan hidup, kedua
untuk hidup dengan cara yang memuaskan, dan ketiga untuk meraih peningkatan
dalam kepuasan itu. Lebih lanjut, Whitehead menyatakan bahwa peranan rasio
adalah untuk memajukan kiat hidup. Sedangkan fungsi primer rasio ialah
mengarahkan penanganan atas lingkungan. Di dalam rasio atau budi itu sendiri
terdapat dua spek yakni budi praktis dan budi teoretis. Dalam buku Whitehead,
Fungsi Rasio, disebutkan sebagai rasio praktis dan rasio spekulatif.
Akal budi yang dimaksud Epicurus
sejalan dengan Whitehead mengenai budi
teoretis atau rasio spekulatif. Akal
budi pada manusia menggerakan manusia dari hidup baik menjadi hidup lebih baik,
dari kesenangan badan (yang adalah baik menurut Epicurus) menuju ketenangan
jiwa (hidup lebih baik). Meskipun dalam
khasanah pemikiran Epicurus jalinan atom-atom disebut sebagai unsur pembentuk
tubuh dan jiwa, namun ini tidak berarti bahwa jiwa adalah partikel-partikel
kosong yang bergerak tanpa ada kesadaran intelektual. Kesadaran intelektual
pada jiwa berbeda dengan cara kesadaran akal budi ketika mengatur dan
menghubungkan semua komponen emotif dan hasrat dalam diri manusia. Jiwa yang
atomis lebih dekat pada penjelasan sifat dan perilaku partikel dalam fisika
mekanika kuantum. Jiwa adalah partikel cerdas yang tidak bisa ditebak atau
diukur dengan kepastian yang akurat. Tetapi, jiwa membutuhkan wadah, yakni
tubuh dan yang akan terburai ketika tubuh musnah.
Lalu di mana posisi akal budi? Di dalam
jatidiri manusia Whitehead, budi, meskipun menduduki posisi tertinggi dan
memegang dominasi atas bagian-bagian lain, hanyalah bagian dari jiwa. Jiwa
manusia adalah keseluruhan kompleks kegiatan mental dari taraf yang paling
rendah sampai yang paling tinggi (Hardono Hadi, 1996: 91-92). Namun, Epicurus
menyebutkan akal budi sebagai permulaan segala-galanya. Permulaan tidak selalu
menunjuk pada alur waktu keberadaan. Yang pertama atau yang mula-mula tidak
selalu hadir dalam setiap momen dari awal hingga akhir. Melainkan, ia mewujud
dalam suatu masa, ketika kondisi memungkinkan ia hadir. Jika Adam disebut sebagai manusia pertama,
maka ‘manusia pertama’ seperti apa yang dimaksud di sini? Apakah manusia yang
hadir pertama kali di muka bumi? Atau, manusia pertama yang memiliki kesadaran
sebagai manusia? Ini adalah dua hal yang berbeda. Demikian pula, ketika
Epicurus mengatakan akal budi sebagai permulaan, tidak berarti bahwa akal budi
merupakan objek abadi yang mengawali segalanya. Epicurus justru mengatakan
kesenangan/kenikmatan sebagai awal dan akhir segala sesuatu.
Dengan demikian, akal budi bukan
merupakan bagian dari jiwa. Akal budi adalah permulaan kesadaran intelektual
dalam diri manusia yang berfungsi sebagai pengatur dan penyaring kesenangan.
Akal budi bukan bagian dari jiwa tetapi terlahir dari interaksi yang begitu
halus dan seimbang antara kesenangan badan dan ketenangan jiwa. Dengan
demikian, kata Epicurus, dari akal budi keutamaan-keutamaan lain semua dapat
disimpulkan. Akal budi mengajar kami bahwa tidak mungkin hidup dengan senang,
kalau tidak hidup secara rasional, bersusila, dan adil. Namun sebaliknya, juga
mustahil hidup dengan rasional, bersusila, dan adil, tetapi tidak merasa
senang, karena keutamaan-keutamaan menyatu erat dengan hidup bersenang, dan
yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang satunya.
G.
Perihal Kebebasan
Keberadaan Tuhan dan pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia membuka peluang yang besar bagi kebebasan manusia.
Tuhan adalah objek abadi yang tidak dipahami oleh manusia. Ia tinggal dan aktif
dalam keabadiannya, dan tetap terus abadi selamanya. Tuhan bukan sebab
kemungkinan determinasi khusus kenyataan, sebab Tuhan tidak berurusan dengan
kenyataan hidup manusia. Tuhan adalah entitas aktual abadi yang tidak memiliki
relevansi bagi entitas-entitas aktual di dunia nyata. Epicurus menyatakan bahwa
Tuhan atau Dewa merupakan pengada yang abadi dan bahagia…dan jangan hubungkan
sesuatu dengan Dewa yang bertentangan dengan keabadiannya atau tidak dapat
disesuaikan dengan kebahagiaannya, melainkan hubungkan dengannya hanyalah apa
yang sesuai dengan kebahagiaannya yang abadi (Epicurus dalam Magnis-Suseno,
1997: 65-66). Jika Tuhan bukan penentu
nasib manusia, dengan demikian, atom-atom dalam tubuh dan jiwa manusia, beserta
akal budi manusia memiliki kebebasan, dan tidak digerakan oleh hukum-hukum yang
menentukan bahwa gerak atom selalu jatuh lurus ke bawah seperti dalam konsep
atom Demokritos.
Dalam konsep jatidiri manusia
Whitehead, kebebasan mempunyai arti yang negatif dan positif. Kebebasan negatif
berarti tidak adanya rintangan, campur tangan, paksaan, atau kontrol ketat;
sedang kebebasan positif menunjuk kepada proses pilihan dan tindakan atas dasar
inisiatif pribadi, dan lebih konkret menunjuk kepada jenis-jenis umum dari
minat manusia atau bentuk-bentuk kegiatan untuk mengekspresikan diri dan
melaksanakan kebebasan. Kebebasan hanya terdapat di dalam situasi di mana
dimungkinkan terjadinya pilihan. Selanjutnya kemungkinan pilihan tidak hanya
menunjuk pada absennya paksaan langsung tetapi juga tersedianya macam-macam
alternatif yang bisa diketahui (Hardono Hadi, 1996: 157-158).
Kebebasan manusia terkait dengan
kehendak menentukan pilihan. Menentukan pilihan untuk bahagia dalam ketenangan
jiwa dilakukan oleh akal budi. Citra
diri Epikureanisme ketika mereka bisa menahan diri dari kesenangan badan, sebagai
kondisi yang awal dan alami bagi manusia. Dengan menunda kesenangan tertentu,
manusia sesungguhnya sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Manusia selalu
berjuang mencapai kepenuhan dirinya, tidak melawan siapa pun, tetapi melawan
dirinya sendiri. Pada akhirnya,
kebebasan manusia tidak lantas menjadikan manusia bisa mengendalikan penuh
nasib di kedua tangannya. Epicurus mengatakan bahwa “kita tidak pernah boleh
lupa bahwa masa depan memang jelas tidak terletak di tangan kita, tetapi juga
jelas tidak seluruhnya di luar kekuasaan kita; maka kita tidak akan
mengandaikan bahwa apa yang kita harapkan akan terjadi, namun kita juga tidak
putus asa apabila apa yang kita harapkan sama sekali tidak terjadi” (Epicurus
dalam Magnis-suseno, 1997: 67).
H.Penutup
Mempraktikkan ajaran Epicurus, dituntut
kebijaksanaan (wisdom) untuk
membedakan “baik” dan “buruk”. “Baik” mendatangkan kenikmatan, tidak berarti
memenuhi seluruh kenikmatan, karena ada kenikmatan yang justru menghasilkan
ketidaknikmatan. Sementara “buruk” yang
mendatangkan rasa sakit tidak seluruhnya buruk, karena membiarkan diri
mengalami sakit justru dapat menghasilkan kenikmatan lebih besar. Dengan demikian, Kebijaksanaan (wisdom)
dibutuhkan dalam memutuskan tegangan antara baik dan buruk. Di awal suratnya
Epicurus mengatakan, "Let no one be slow to seek wisdom when he is
young nor weary in the search of it when he has grown old. For no age is too
early or too late for the health of the soul. And to say that the season for
studying philosophy has not yet come, or that it is past and gone, is like
saying that the season for happiness is not yet or that it is now no
more." Hanya dengan terus belajar seseorang akan dapat menjadi filsuf
dalam arti menjadi orang yang selalu tidak puas dengan berbagai jawaban dan
terus mencari jawaban terdalam dari berbagai pertanyaan dan persoalan. Hanya
orang dengan karakter seperti itu sanggup mencapai kebahagiaan, karena mampu
membedakan antara perbuatan baik yang mendatangkan kenikmatan dan perbuatan
buruk yang menimbulkan rasa sakit.
Bagi Epicurus, takut akan kematian
adalah sesuatu yang ‘irrasional’
‘tersesat’ dan ‘keliru’ sekaligus sesuatu yang rasional sebab selalu
dilatarbelakangi alasan. Bagi Epikureanisme, berpikir tentang kematian
secara benar adalah bagian integral dari kehidupan yang baik. Asumsinya; jika kematian dapat dipahami
dengan baik, maka kehidupan pun dapat dipahami dengan baik, demikian pula
sebaliknya (Warren, 2004: 7). Epicurus
mengatakan bahwa gagasan tentang kematian bagi kita tidak mempunyai arti,
karena segala apa yang baik dan apa yang buruk hanya berdasarkan perasaan,
sementara kematian adalah (justru) peniadaan perasaan. Karena itu, apabila kita
memahami bahwa kematian tidak berarti apa-apa, hidup kita yang fana baru
menjadi menyenangkan (Magnis-Suseno, 1997: 66). Lebih lanjut dikatakan: selama kita ada, kematian tidak
ada, dan pada saat kematian ada, kita tidak ada lagi. Oleh karena itu, kematian
tidak menyangkut orang hidup dan tidak juga orang mati, karena di mana yang
satu (yang hidup) ada, kematian tidak (belum) ada, sedang yang satunya (mereka
yang telah mati) sama sekali tidak ada lagi (Magnis-Suseno, 1997: 66).
Tuhan tidak campur tangan dengan
kehidupan manusia, sehingga tidak akan ada tempat seperti Hades atau Neraka.
Tidak ada pengadilan terakhir atau hari kiamat, sebab hari kiamat adalah hari
ketika “aku” mati. Ketika aku mati maka duniaku juga berakhir. Ketika aku mati
maka seluruh kenangan, cita-cita dan harapanku hancur berantakan. Kematian
tidak hanya akhir dari jiwa dan tubuh tetapi juga akhir dari semesta
pengetahuan dan pemahamanku akan dunia. Dengan demikian, kematian tidak hanya
berdimensi metafisis tetapi juga epistemologis.
Kehidupanku ini hanya untuk sekali saja, dan kematianku juga hanya
datang sekali. Janji akan adanya reinkarnasi tidak menjamin adanya ketenangan
jiwa. Meskipun nanti aku dilahirkan kembali, tetap saja aku saat itu bukan lagi
aku yang sekarang. Aku dalam kelahiran berikutnya tidak mendiami wajah yang
sama, lingkungan yang sama, perangai yang sama, nama yang sama, aku sama sekali
berbeda dengan aku yang dahulu, bahkan aku sama sekali lupa akan kehidupanku
yang dahulu. Kematian jelas menjadi akhir dari aku yang sekarang.
I. DAFTAR PUSTAKA
Hardono Hadi P., 1996, Jatidiri
Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Kanisius: Yogyakarta
Jordan, William, 1992, Ancient
Concepts of Philosophy. Routledge: London and New York
Kenny, Anthony, 2006, An Illustrated
Brief History of Western Philosophy, Blackwell Publishing Ltd: USA, UK
Kubler-Ross, Elisabeth, 2009, On
Death and Dying: What the dying have to teach doctors, nurses, clergy and their
own families (40 th Anniversary Edition), Routledge: London and New York
Kundera, Milan, 2002, The Unbearable
Lightness of Being (Entengnya Kehidupan: Sebuah Metafora tak Tertahankan),
diterjemahkan oleh John de Santo, Kunci Ilmu: Yogyakarta
Leahy, Louis, 1998, Misteri Kematian:
Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Lepp, Ignace, 1969, Death and Its
Mysteries, Burns & Oates Limited: London
Long A. A., 2006, From Epicurus to
Epictetus: Studies in Hellenistic and Roman Philosophy, : Oxford University
Press: Oxford
Magnis-Suseno, Franz, 1997, Tiga
Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks dari Plato sampai dengan
Nietzsche, Kanisius: Yogyakarta
Russell, Bertrand, 2002, Sejarah
Filsafat Barat, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko (dari judul asli History
of Western Philosophy, George Allen and UNWIN LTD., London, 1946), Pustaka
Pelajar: Yogyakarta
Warren, James, 2004, Facing Death:
Epicurus and his Critics, Oxford University Press: Oxford
Whitehead, Alfred North, 2001, Fungsi
Rasio, diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho (dari Function of Reason, Beacon
Press, Boston, 1971), Kanisius: Yogyakarta.
Alcapone,
September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar