Kamis, 14 Januari 2016

Epicurus; Berkeutamaan tentang Baik-Buruk


Bila Anda ingin bahagia, buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran, melepaskan tenaga serta mengilhami harapan Anda---Andrew Canegie

Kemampuan menertibkan keinginan merupakan latar belakang dari watak---John Locke


A. Pendahuluan; Epicurus dan jaman Helenistis
Epicurus  hidup sekitar   341 SM dan meninggal 270 SM adalah filsuf jaman Helenistik dan pendiri Mazhab Epicureanisme.  Di kawasan berbahasa Yunani, jaman Helenistis adalah periode kekuasaan Makedonia yang dicirikan oleh penaklukan dan kekacauan---sisa-sisa terhapus oleh aneksasi Romawi terhadap Mesir sesudah kematian Cleopatra. Gejolak dan situasi jaman  saat itu membuat filsuf Helenistik memiliki keunikan tersendiri  dibanding  filsuf  sebelumnya. Jika filsuf pra-Sokrates; Thales, Anaximandros, dsb. sibuk memikirkan alam dan trio Sokrates-Plato-Aristoteles berusaha membangun sistem filsafat yang utuh, maka filsuf Helenistik lebih sibuk  menjelaskan  etika, keutamaan, dan bagaimana menjalani kehidupan saat ini.  Etika hidup menjadi tema besar para filsuf Helenistik yang kemudian melahirkan beberapa aliran pemikiran; Stoisisme, Skeptisisme, Sinisme, dan Epikureanisme.  Menurut pandangan Helenistik, filsafat hendaklah berkenaan dengan etika hidup sehari-hari atau filsafat sebagai seni untuk hidup.  Epictetus (filsuf moral Stoa) percaya bahwa tujuan filsafat bukan untuk mendapat penghargaan publik tetapi untuk menjadi seorang warga dunia yang baik. Antisthenes (cikal bakal ajaran Sinisme) menyatakan bahwa segala filsafat yang serba muluk tidak ada gunanya; apa yang bisa diketahui, haruslah bisa diketahui oleh orang kebanyakan. Epicurus sebagai pendiri mazhab Epicureanisme  menyatakan bahwa filsafat adalah aktivitas yang berisi argumen dan diskusi yang membawa kita pada kehidupan yang bahagia.  Sebagai  filsuf Helenistik  Epicurus mewarisi watak khas Helenistik yang menekankan filsafat untuk bagaimana hidup ini lepas dari penderitaan. 
Epicurus lahir dari keluarga miskin. Orang tuanya; Neocles dan Chaerestrate berasal dari Athena tetapi tinggal di Samos. Ia hanya orang biasa dan bergaul dengan komunitas Taman yang ia bentuk.  Umur sepuluh tahun, Epicurus belajar filsafat pada Pamphilus (murid Plato),   Ia juga belajar filsafat pada Nausiphanes (murid Democritos) membangun pemikiran Atomisme ala Demokritos sebagai pondasi dasar filsafatnya.  Pada tahun 311 SM Epicurus mendirikan sekolah pertamanya di Mytilene, kemudian pindah ke Lampsacus.  Pada tahun 306 SM ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah The Garden (Taman).  Sesuai namanya, sekolah ini berlangsung di sebuah taman di areal rumah Epicurus. Murid-murid Taman tidak hanya mendengar ajaran Epicurus tetapi juga merupakan komunitas yang teguh menjalankan ajaran-ajaran guru mereka.  Semasa hidupnya (menurut ceritera)  Epicurus menulis sekitar tiga ratus buku namun hingga saat ini tidak satupun terselamatkan.  Peninggalannya hanya beberapa surat-surat kepada sahabat-sahabatnya dan beberapa fragmen-fragmen yang diberi judul On Nature. Narasumber kehidupan dan ajaran-ajaran Epicurus adalah buku X, Lives of Eminent Philosophers, karya Diogenes Laertius. Sedang ajaran-ajaran Epicurus bisa terwariskan dengan baik oleh  muridnya; Titus Lucretius Carus (99-55 SM) seorang penyair Latin yang menggubah pemikiran-pemikiran Epicurus dalam bentuk syair-syair yang berjudul On the Nature of Things.  Di kalangan para filsuf sendiri (setelah kekuasaan Augustus) ada kesepakatan untuk menolak filsafat Epicurus demi menerima ajaran kaum Stoa. Kemunculan abad Kristianitas, ajaran Epicurus yang materialistik serta penolakan  penyelenggaran Ilahi dianggap murtad, menyesatkan bahkan dituduh ajaran ateisme.
Ciri khas filsuf Helenistik menghendaki filsafat menjadi terapi bagi kehidupan, agar hidup manusia menjadi baik dan berbahagia di tengah-tengah penderitaan .    Kekuasaan politik saat itu telah beralih ke tangan orang-orang Makedonia dan  para filsuf Yunani mulai menyingkir dari politik dan mencurahkan diri pada masalah keutamaan atau keselamatan individu. Mereka tidak lagi menanyakan bagaimana manusia bisa menciptakan negara yang baik? Pertanyaan penting ketika itu; bagaimana manusia bisa tetap luhur di dalam dunia yang durjana, atau berbahagia di dalam dunia yang sarat derita (Russell, 2002: 314).  Dengan demikian, filsafat hendaklah berkenaan dengan etika hidup sehari-hari atau filsafat sebagai seni untuk hidup. Epictetus, salah satu filsuf moral Stoa percaya bahwa tujuan filsafat bukan untuk mendapat penghargaan publik tetapi untuk menjadi seorang warga dunia yang baik. Antisthenes, cikal bakal ajaran Sinisme, menyatakan bahwa segala filsafat yang serba muluk tidak ada gunanya; apa yang bisa diketahui, haruslah bisa diketahui oleh orang kebanyakan. Epicurus sebagai pendiri mazhab Epicureanisme  menyatakan bahwa filsafat adalah aktivitas yang berisi argumen dan diskusi yang membawa kita pada kehidupan yang bahagia.

B. Filsafat sebagai Terapi
Filsafat Epicurus adalah reaksi atas jamannya yang penuh kekacauan.  Ajarannya tentang cara manusia hidup lepas dari penderitaan dengan membangun dasar-dasar bagi apa yang disebutnya sebagai keutamaan hidup.   Filsafat menurut Epicurus harus menjadi terapi bagi lara hidup manusia dan para filsuf yang berfilsafat  untuk tidak  melipur lara dianggap hanya  kata-kata kosong yang tidak berguna.   Menurut Epicurus;  “for just as there is no use in medical expertise if it does not give therapy for bodily diseases, so too there is no use in philosophy if it does not expel the suffering of the soul”(Jordan, 1992: 138).  Filsafat Epicurus adalah etika sebagai seni hidup yang dijalankan berdasarkan keutamaan.   Keutamaan hidup menurutnya adalah kebijaksanaan (prudence) untuk mengejar kenikmatan. Kenikmatan diartikan secara negatif yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan.  Kenikmatan adalah  awal dan akhir (alpa dan omega) hidup yang bahagia. Kenikmatan tidak selalu mudah diperoleh.  Selalu ada hambatan-hambatan.  Bagi Epicurus, hambatan-hambatan muncul akibat adanya kecemasan yang bersumber dari rasa takut manusia pada dewa dan rasa takut akan kematian. Untuk menghilangkan kecemasan tersebut, filsafat adalah terapi bagi kehidupan lewat empat obat mujarab (fourfold remedy) yang disebut tetrapharmakos: “(1) God presents no fears, (2) death no worries. And while (3) good is readily attainable, (4) bad is readily endurable.”

C. “Apa yang Baik Mudah Diperoleh, Apa yang buruk Mudah Dihindari”
Pernyataan “apa yang baik mudah diperoleh, apa yang buruk mudah dihindari” menjadi konsep Epicurus tentang keutamaan dan kenikmatan. Dengan “apa yang baik” artinya kenikmatan itu sendiri menuntun manusia pada keutamaan hidup, sebaliknya “apa yang buruk” menyangkut segala hal yang menghalangi manusia menuju keutamaan. Kalau “apa yang baik” adalah kenikmatan, lalu apa yang dimaksud kenikmatan oleh Epicurus?  Secara umum menurut Epicurus terdapat dua jenis keinkmatan;  kenikmatan tubuh dan kenikmatan batin.  Di dalam The End of Life, Diogenes Laertius, mengutip kata-kata Epicurus, “Aku tidak tahu bagaimana caranya mengonsepsikan kebaikan, jika aku menghindari kenikmatan lidah, menghindari kenikmatan cinta, serta kenikmatan-kenikmatan pendengaran dan penglihatan” (Russell, 2002: 332).
Apakah kenikmatan hanya kenikmatan fisik saja? Epicurus menjawab tidak.  Meskipun Epicurus mengatakan; permulaan dan akar semua kebaikan adalah kenikmatan perut, tidak berarti bahwa kenikmatan tubuh adalah satu-satunya kenikmatan.  Ada kenikmatan batin yang merupakan kontemplasi atas kenikmatan-kenikmatan tubuh.  Suratnya kepada Menoeceus, Epicurus menjelaskan kenikmatan/kesenangan:  “Kesenangan adalah nilai pertama yang kita miliki sejak lahir, nilai itulah yang mengarahkan dalam segala apa yang kita usahakan maupun kita hindari, padanya kita arahkan diri kita, karena kita mengukur segala nilai dengan tolak ukur kesenangan. Justru karena kesenangan merupakan nilai kita yang pertama dan alami, kita juga tidak tertarik pada segenap kesenangan,  kadang-kadang kita membiarkan banyak kesenangan lewat apabila ada kekhawatiran bahwa kesenangan akan menimbulkan perasaan tidak enak yang lebih besar. Kita bahkan kadang-kadang menilai banyak perasaan sakit lebih unggul daripada kesenangan-kesenangan, seperti apabila masa penderitaan yang agak panjang akan disusul oleh kesenangan yang semakin besar. Jadi bagi kita,  setiap kesenangan karena ia pada dirinya sendiri enak memang merupakan seuatu yang baik, akan tetapi tidak setiap kesenangan hendaknya diusahakan. Sebaliknya setiap perasaan sakit merupakan hal yang buruk, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa perasaan sakit selalu harus dihindari.  Menjadi tugas kita, dengan mempertimbangkan dan membedakan yang menguntungkan dan merugikan, untuk selalu menilai segala apa dengan tepat, karena kadang-kadang kita memakai yang baik seakan-akan dia buruk dan sebaliknya” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 68).  Teks ini menjelaskan bahwa kesenangan atau kenikmatan yang dimaksud oleh Epicurus berkenaan dengan dua jenis kesenangan; kesenangan tubuh dan kesenangan mental.   Kesenangan adalah prinsip utama kehidupan atau ujuan hidup manusia. Prinsip kesenangan menggerakan manusia untuk selalu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dapat membuatnya senang. Namun, apabila manusia hanya mengikuti kesenangannya semata, manusia akan cenderung destruktif dan berbahaya.
Menurut Epicurus kesenangan tubuh adalah yang pertama kali muncul dan dirasakan manusia. Bahkan nilai-nilai dan kebudayaan sesungguhnya lahir dari kesenangan tubuh, “permulaan dan akar semua kebaikan adalah kenikmatan perut; bahkan kebijaksanaan dan kebudayaan pun harus dikembalikan pada hal ini.” Namun, yang perlu diingat bahwa tidak semua keinginan ingin diusahakan  manusia. Manusia melewatkan banyak kesenangan demi kesenangan lebih besar.  Manusia rela  menderita demi memperoleh kesenangan yang apabila dicapai harganya lebih tinggi dari nilai yang dikeluarkan untuk menderita. Seorang ibu hamil misalnya, harus menunda makanan kesukaannya hanya karena makanan tersebut bisa membahayakan janinnya. Ia menunda kesenangan itu demi kesenangan yang lebih besar ketika kelak melihat anaknya lahir sehat. Seorang suami menghentikan kebiasaan merokoknya hanya karena ingin istrinya aman saat melahirkan. Dalam pemikiran Epicurus, kesenangan tubuh dan kesenangan jiwa adalah dua hal yang harus dipenuhi untuk memperoleh kebahagiaan.  “Apabila kita memandang keinginan-keinginan kita dengan tenang, kita belajar untuk mempergunakan setiap keinginan dan setiap dorongan untuk menghindar demi kesehatan badan dan pemeliharaan ketenangan jiwa, karena dua hal itu merupakan intisari hidup yang bahagia” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 67).
Ajaran Epicurus dianggap hanya mementingkan kesenangan badaniah dan menyamakan dengan gaya hidup hedonis.  Suratnya kepada Menoeceus sebagai sanggahan  Epicurus;  “Maka kalau kami mengatakan bahwa tujuan hidup kita adalah kesenangan, yang kami maksud bukanlah kesenangan kaum gembul yang asal menikmati saja. Itu anggapan mereka yang tidak tahu atau yang tidak mengerti ajaran kami atau dengan sengaja memutarbalikkan. Bagi kami kesenangan berarti tidak merasa sakit dalam tubuh dan tidak resah dalam jiwa, karena hidup penuh kesenangan tidak diperoleh dengan pesta minum dan makan terus-menerus, tidak dengan menikmati remaja laki-laki dan wanita cantik, juga tidak dengan menikmati ikan yang enak dan makanan mewah apa saja, melainkan hanyalah dengan pemikiran terang yang mencari akar segala keinginan dan dorongan, menghindar dan mengusir gagasan-gagasan aneh yang, bagaikan angin prahara, mengoyangkan jiwa” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 69).  Teks ini menunjukkan bahwa hedonisme Epicurus tidak sama seperti hedonisme yang hanya mereduksi kesenangan hanya di seputar kesenangan badan saja.   Bagi Epicurus, meskipun kesenangan badan merupakan hal alamiah bagi manusia, namun manusia bukan budak atas hasratnya,  ia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk menahan dan menunda kesenangan badan yang tidak berguna, yang justru menimbulkan ketidaknyamanan.
Makanan dan minuman (yang enak) dapat membangkitkan kesenangan badan jika ingin bahagi. Tetapi jika kehidupannya memaksa untuk tidak bisa menikmati maka ia bisa hidup dengan menahan diri atas kesenangan indrawi.  “Tubuh merasakan kenikmatan ketika aku hidup hanya dengan roti dan air, dan kunistakan pelbagai kesenangan serba mewah, bukan karena kesenangnya itu sendiri, namun karena ketidaknyamanan yang diakibatkannya” (Epicurus dalam Russell, 2002: 330).  Tanpa kesenangan badan, seseorang bisa mengalami kesenangan dari ketenangan jiwa. Ataraxia atau ketenangan jiwa jauh lebih utama daripada kesenangan badan.  Apa yang membuat manusia memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menahan kesenangan yang tidak berguna? Epicurus menyatakan karena manusia memiliki akal budi.  “Pada permulaan segala-galanya ada akal budi, milik kita yang paling bernilai.  Dari akal budi  semua keutamaan dapat disimpulkan,… akal budi mengajar kami bahwa tidak mungkin hidup dengan senang, kalau tidak hidup secara rasional, bersusila dan adil.   Namun  mustahil hidup dengan rasional,  bersusila dan adil, tetapi tidak merasa senang, karena keutamaan-keutamaan menyatu erat dengan hidup bersenang, dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang satunya.” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 69).  Akal budi adalah milik manusia yang paling khas. Akal budi adalah jembatan atau penengah antara rasio manusia yang berdasarkan pada realitas dan kesenangan manusia sebagai kondisi alamiah manusia. Keutamaan atau kebijaksanaan  manusia apabila mereka bisa menggunakan akal budinya dengan baik,  tidak hanya mengejar kesenangan badaniah tetapi juga mengutamakan ketenangan jiwa (ataraxia).

D. Tuhan tidak Berurusan dengan Manusia
Dalam konteks pemikiran Helenistik saat itu, Epicurus menyerang kaum Stoa yang menempatkan penyelenggaraan Ilahi sebagai bagian pokok dari alam yang berpengaruh dalam menentukan nasib manusia. Menurut kaum Stoa, keutamaan hidup (ataraxia) terkandung dalam kehendak yang seirama dengan Alam.   Cicero, salah satu juru bicara Epikureanisme mengkritik kaum Stoa dengan mengatakan;  “You [Stoics]’, fail to see how nature’s creative work can occur without any mind (sine aliqua mente), and so you run to god like the tragic poets, needing a god to unravel the end of your plot” (Long, 2006: 158).  Setidaknya ada dua alasan menurut Epicurus para dewa tidak berurusan dengan manusia. Pertama, dari sudut para dewa itu sendiri, mereka tidak tertarik dengan segala tetek bengek urusan manusia. Dewa-dewa tidak akan merepotkan diri mereka sendiri mencampuri urusan hidup manusia (Russell, 2002: 337) dan  Kedua, kebebasan manusia hanya bisa terjadi jika para dewa tidak berurusan dengan manusia.
Epicurus bukan ateis seperti Sartre yang mengingkari keberadaan Tuhan demi kebebasan manusia.  Ia hanya meniadakan Tuhan dari penyelenggaraan alam semesta dan tetap menganggap bahwa para dewa itu ada dalam keabadiaan mereka, dan apa yang selama ini dipikirkan manusia tentang para dewa adalah tidak sama dengan sosok para dewa itu sendiri. Epicurus menganggap bahwa orang ateis bukanlah orang yang menyingkirkan pikiran-pikiran orang banyak tentang dewa tetapi menyesuaikan para dewa dengan anggapan orang banyak.
Jika para dewa tidak berurusan dengan manusia maka segala aspek takhayul, praktek dukun, ramal-meramal dan berdoa semuanya tidak bisa dipercaya.  Dengan mengusir tuhan/dewa dari firdaus, Epicurus memberi lowongan  besar bagi kebebasan manusia. Manusia bukan aktor dalam panggung sandiwara kehidupan yang sudah ditentukan perannya masing-masing sejak awal dan hanya melakoni apa yang sudah ditentukan baginya. Manusia bisa menentukan keputusan bagi nasibnya sendiri.  Jika sesuatu yang buruk menimpa manusia, hal itu bukan takdir ilahi, “orang banyak berpendapat bahwa kalau seseorang mengalami sesuatu yang buruk atau ia mengalami kemajuan dalam hal-hal baik, bahwa itu keputusan dewa. Orang banyak menganggap asing apa yang tidak sama dengan (pandangannya) sendiri, dan oleh karena itu hanya mau menerima dewa yang sama dengan pikiran orang banyak sendiri” (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 2002: 337).

E. Kematian bukan untuk Ditakut1
Di zaman Epicurus, orang Yunani sangat takut akan kematian. Mereka takut jenis kehidupan yang akan mereka masuki setelah kematian dan hukuman Hades--- dewa kematian dalam mitologi Yunani. Dewa Hades (Άδης atau ΐδας; dari kata Bahasa Yunani δης, Hadēs,  artinya "yang tak kelihatan") dipercaya sebagai penguasa langit dan bumi, termasuk dunia di bawah bumi, penguasa atas udara dan lautan. Kematian membuat seseorang meninggalkan kehidupannya dan berpindah ke dunia orang mati (selain berarti penguasaan akan suatu wilayah/dominion, Hades juga menunjukkan lokalitas/tempat), sebuah dunia (realm) orang mati  yang gelap dan menakutkan, semua orang mati akan "diadili" dan diganjar dengan kutukan (curse) atau hadiah (reward).
Bagi Epicurus, mengapa harus takut pada kematian? Ketakutan pada kematian adalah kebodohan (foolishness). Yang penting adalah kehidupan dan dan yang terpenting adalah bagaimana mengisi kehidupan dan bukan menyia-nyiakan waktu untuk tidak melakukan sesuatu apapun karena takut akan kematian. Bagi dia, kehidupan itu lebih berharga karena hanya dalam kehidupanlah manusia memiliki kemampuan menginderai, kemampuan merasakan sesuatu. Hanya melalui kemampuan menginderai (sensation) manusia sanggup membedakan mana yang baik yang harus dilakukan dan mana yang buruk yang tidak boleh dilakukan. Sebagai peristiwa (event) atau salah satu rangkaian kehidupan, kematian menurut Epicurus adalah "the privation of all sentience". Kematian memang akan datang dan menghampiri setiap manusia, tetapi dia tidak boleh ditakuti, karena keadaan kematian membebaskan kita dari kemampuan membedakan manakah yang baik dan manakah yang buruk. Takut akan hukuman Hades adalah kebodohan. Bagaimana mungkin seseorang menghadapi dan merasakan hukuman Hades ketika kematiannya adalah sebuah keadaan tanpa kemampuan menginderai? 
Paragraf ketiga Surat (Letter) kepada Menoeceus, Epicurus menulis, "Biasakan dirimu untuk meyakini bahwa kematian tidak berpengaruh apa-apa pada kita, karena yang baik (good) dan yang buruk (evil) mengandaikan adanya kemampuan kita untuk merasakan sesuatu, padahal kematian adalah ketiadaan semua perasaan demikian. Karena itu, pemahaman yang tepat bahwa kematian tidak berpengaruh apa-apa pada kita membuat kehidupan yang fana (mortality of life) ini menjadi bisa dinikmati, bukan dengan menambahkan pada kehidupan waktu yang tak-berbatas, tetapi dengan menyingkirkan hasrat akan kekekalan (immortality). "  Kehidupan itu sesuatu yang alamiah (natural thing), memiliki berbagai peristiwa (event), ada kelahiran, ada kematian, ada pertumbuhan dan perkembangan, ada yang mengalami perubahan dari kecil menjadi besar, dari muda menjadi tua. Kenyataan alamiah ini harus diterima sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri, dan sebagai salah satu peristiwa dari kehidupan, kematian memang akan datang;dia akan dialami. Membebaskan diri dari ketakutan akan kematian  akan membuat manusia fokus pada bagaimana mengisi kehidupan. Menurut Epicurus "... a correct understanding that death is nothing to us makes the mortality of life enjoyable, not by adding to life a limitless time, but by taking away the yearning after immortality." Jelas bagi dia, kehidupan itu sendiri sesuatu yang fana (mortal), keadaan (state of affair) yang harus diisi dengan hal-hal yang menyenangkan (enjoyable), bukan dengan mendambakan semacam kehidupan tanpa batas waktu (kekekalan)-imajinasi ini muncul karena ketakutan akan hukuman Hades-tetapi dengan menyingkirkan jauh-jauh perasaan kekekalan semacam itu. Dalam bahasa sehari-hari tampaknya Epicurus mau mengatakan, "Dari pada menyiksa diri dalam ketakutan akan kematian dan hukuman setelah kematian, lebih baik kita menjalankan kehidupan sekarang yang lebih menyenangkan."
Bagi Epicurus, pandangan mengenai kematian dan sikap yang tepat dalam menghadapi kematian inilah yang kemudian menjadi dasar filosofis membangun, mengatur, mengelola, dan mengisi kehidupan. Seperti halnya filsuf Yunani lainnya, Epicurus pun mewarisi pandangan bahwa tujuan tertinggi yang ingin dicapai manusia dalam hidupnya adalah kebahagiaan.
Kehidupan lebih berharga dari kematian, karena dalam kehidupanlah kita bisa merasakan sesuatu dengan panca indera kita. Menurut Epicurus, hal atau dorongan yang paling alamiah dari kehidupan manusia adalah perasaan nikmat (pleasure) dan sakit (pain).  Berbeda dengan kematian, secara alamiah manusia tidak hanya mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, tetapi juga berusaha memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan atau menghilangkan rasa sakit. Ditempatkan dalam konteks usaha manusia mencapai kebahagiaan melalui melakukan yang baik dan menghindari yang buruk, kenikmatan dan maksimalisasi kenikmatan adalah "baik" (good) dan sakit adalah sesuatu yang buruk.  Pandangan mengenai kematian dan tawaran Epicurus untuk fokus pada kehidupan sangat jelas. Kematian hanya sebuah "event" bagian dari kehidupan manusia. Tidak perlu ditakuti karena tidak mendatangkan atau menimbulkan kenikmatan dan rasa sakit apapun. Tubuh yang mati adalah tubuh yang dingin dan kaku, tubuh yang telah berubah dari "seseorang" (person) menjadi "sesuatu" (thing). Orang bijak (wise man) akan menyibukkan diri dengan bagaimana membedakan yang baik (pleasurable) dan yang buruk (painful) dan bertingkah laku menurut pertimbangan moralnya. Hanya dengan cara demikian seseorang akan mencapai kebahagiaan.

F. Metafisika
Sebagai seorang materialis konsep metafisika Epicurus mengikuti Demokritos bahwa dunia ini terdiri dari atom-atom dan ruang hampa.  Demokritos percaya bahwa atom-atom digerakan sepenuhnya oleh hukum alam, Epicurus berpendapat bahwa atom-atom digerakan oleh kehendak bebas. Tidak selamanya atom-atom jatuh mengikuti garis lurus dari atas ke bawah, ada kalanya gerak atom jatuh melenceng miring dari garis lurus dan bertabrakan secara kebetulan dengan atom-atom yang lain.   Karena segala sesuatu tersusun dari atom-atom, maka jiwa pun terbentuk dari atom-atom yang bersifat material. Atom-atom jiwa menyebar ke seluruh tubuh. Sensasi disebabkan oleh film-film halus yang disebarkan oleh tubuh dan terus bergerak hingga mereka bersinggungan dengan atom-atom jiwa. Film-film itu bisa tetap ada meskipun tubuh dari mana mereka berasal telah hancur; inilah yang menciptakan mimpi. Sesudah mati, jiwapun musnah sedang atom-atomnya tetap hidup tetapi  tidak dapat lagi merasakan sensasi, sebab atom-atom itu tidak lagi berhubungan dengan tubuh (Russell, 2002: 337).
Dalam skema pemikiran Epicurus, manusia adalah kumpulan atom-atom yang saling bersinggungan, berkelindan, dan bertabrakan, tidak hanya secara fisiologis dan  jiwa manusiapun adalah sekumpulan atom-atom yang mendiami tubuh. Perasaan-perasaan manusia tidak lebih dari hasil hubungan-hubungan halus antara atom tubuh dan jiwa.   Atom-atom tersebut tidak bergerak mengikuti hukum tertentu tetapi bergerak mengikuti kehendak bebas.  Jika natur manusia hanya dijelaskan sebagai kumpulan atom-atom semata, manusia bisa dikatakan sama dengan benda mati, hewan, dan tumbuhan.   Dalam pemikiran Epicurus, manusia sebagai kumpulan atom memang tidak berbeda dengan benda manapun, tetapi pada taraf yang lebih tinggi, dalam diri manusia terdapat dua unsur utama, kesenangan tubuh dan ketenangan jiwa (ataraxia). Kesenangan tubuh; berhubungan erat dengan kutub fisik sedang kutub ataraxia berhubungan dengan kutub mental. Interaksi dan bentuk interaksi antara kesenangan badan dan ketenangan jiwa menentukan taraf kehidupan  manusia membedakannya dari tumbuhan dan hewan.   
Dalam konstelasi pemikiran tersebut, Whitehead mengatakan bahwa di dalam kehidupan bekerja dua kutub yang memiliki fungsi berbeda; kutub fisik dan kutub mental. Interaksi dan intensitas kedua kutub tersebut muncul taraf-taraf dalam dunia: taraf anorganik, vegetatif, sensitif, rasional.  Pada taraf vegetatif (dominan pada tumbuhan) kutub fisik memiliki kuasa lebih dominan terhadap kutub mental.  Manusia pada taraf vegetatif tidak ada bedanya dengan tumbuhan. Dalam istilah Epicurus, mereka yang hanya mementingkan kesenangan badan sampai taraf ekstrem seperti halnya tumbuhan yang menyerap air sebanyak mungkin hingga membusuk.  Dalam pemikiran Epicurus hadirnya akal budi; “permulaan segala-galanya…milik kita yang paling bernilai”, menjadi ciri khas manusia.   Pada taraf sensitif yang sebagian besar dimiliki ohewan, kutub mental memiliki peranan lebih besar namun tetap saja yang diutamakan hanya bertahan hidup sehingga kita tidak pernah menjumpai burung membuat tambak ikan atau komunitas singa membuat peternakan rusa.
Tentang rasio dan akal budi dan hubungannya dengan dorongan hidup, Whitehead (2001: 43) menjelaskan bahwa penanganan aktif atas lingkungan terletak pada adanya tiga dorongan: (i) dorongan untuk hidup, (ii) untuk hidup baik, (iii) untuk hidup lebih baik. Pada kenyataannya, kiat hidup ialah pertama-tama untuk mempertahankan hidup, kedua untuk hidup dengan cara yang memuaskan, dan ketiga untuk meraih peningkatan dalam kepuasan itu. Lebih lanjut, Whitehead menyatakan bahwa peranan rasio adalah untuk memajukan kiat hidup. Sedangkan fungsi primer rasio ialah mengarahkan penanganan atas lingkungan. Di dalam rasio atau budi itu sendiri terdapat dua spek yakni budi praktis dan budi teoretis. Dalam buku Whitehead, Fungsi Rasio, disebutkan sebagai rasio praktis dan rasio spekulatif.
Akal budi yang dimaksud Epicurus sejalan dengan  Whitehead mengenai budi teoretis atau rasio spekulatif.   Akal budi pada manusia menggerakan manusia dari hidup baik menjadi hidup lebih baik, dari kesenangan badan (yang adalah baik menurut Epicurus) menuju ketenangan jiwa (hidup lebih baik).  Meskipun dalam khasanah pemikiran Epicurus jalinan atom-atom disebut sebagai unsur pembentuk tubuh dan jiwa, namun ini tidak berarti bahwa jiwa adalah partikel-partikel kosong yang bergerak tanpa ada kesadaran intelektual. Kesadaran intelektual pada jiwa berbeda dengan cara kesadaran akal budi ketika mengatur dan menghubungkan semua komponen emotif dan hasrat dalam diri manusia. Jiwa yang atomis lebih dekat pada penjelasan sifat dan perilaku partikel dalam fisika mekanika kuantum. Jiwa adalah partikel cerdas yang tidak bisa ditebak atau diukur dengan kepastian yang akurat. Tetapi, jiwa membutuhkan wadah, yakni tubuh dan yang akan terburai ketika tubuh musnah.
Lalu di mana posisi akal budi? Di dalam jatidiri manusia Whitehead, budi, meskipun menduduki posisi tertinggi dan memegang dominasi atas bagian-bagian lain, hanyalah bagian dari jiwa. Jiwa manusia adalah keseluruhan kompleks kegiatan mental dari taraf yang paling rendah sampai yang paling tinggi (Hardono Hadi, 1996: 91-92). Namun, Epicurus menyebutkan akal budi sebagai permulaan segala-galanya. Permulaan tidak selalu menunjuk pada alur waktu keberadaan. Yang pertama atau yang mula-mula tidak selalu hadir dalam setiap momen dari awal hingga akhir. Melainkan, ia mewujud dalam suatu masa, ketika kondisi memungkinkan ia hadir.  Jika Adam disebut sebagai manusia pertama, maka ‘manusia pertama’ seperti apa yang dimaksud di sini? Apakah manusia yang hadir pertama kali di muka bumi? Atau, manusia pertama yang memiliki kesadaran sebagai manusia? Ini adalah dua hal yang berbeda. Demikian pula, ketika Epicurus mengatakan akal budi sebagai permulaan, tidak berarti bahwa akal budi merupakan objek abadi yang mengawali segalanya. Epicurus justru mengatakan kesenangan/kenikmatan sebagai awal dan akhir segala sesuatu.
Dengan demikian, akal budi bukan merupakan bagian dari jiwa. Akal budi adalah permulaan kesadaran intelektual dalam diri manusia yang berfungsi sebagai pengatur dan penyaring kesenangan. Akal budi bukan bagian dari jiwa tetapi terlahir dari interaksi yang begitu halus dan seimbang antara kesenangan badan dan ketenangan jiwa. Dengan demikian, kata Epicurus, dari akal budi keutamaan-keutamaan lain semua dapat disimpulkan. Akal budi mengajar kami bahwa tidak mungkin hidup dengan senang, kalau tidak hidup secara rasional, bersusila, dan adil. Namun sebaliknya, juga mustahil hidup dengan rasional, bersusila, dan adil, tetapi tidak merasa senang, karena keutamaan-keutamaan menyatu erat dengan hidup bersenang, dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang satunya.

G. Perihal Kebebasan
Keberadaan Tuhan dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia membuka peluang yang besar bagi kebebasan manusia. Tuhan adalah objek abadi yang tidak dipahami oleh manusia. Ia tinggal dan aktif dalam keabadiannya, dan tetap terus abadi selamanya. Tuhan bukan sebab kemungkinan determinasi khusus kenyataan, sebab Tuhan tidak berurusan dengan kenyataan hidup manusia. Tuhan adalah entitas aktual abadi yang tidak memiliki relevansi bagi entitas-entitas aktual di dunia nyata. Epicurus menyatakan bahwa Tuhan atau Dewa merupakan pengada yang abadi dan bahagia…dan jangan hubungkan sesuatu dengan Dewa yang bertentangan dengan keabadiannya atau tidak dapat disesuaikan dengan kebahagiaannya, melainkan hubungkan dengannya hanyalah apa yang sesuai dengan kebahagiaannya yang abadi (Epicurus dalam Magnis-Suseno, 1997: 65-66).  Jika Tuhan bukan penentu nasib manusia, dengan demikian, atom-atom dalam tubuh dan jiwa manusia, beserta akal budi manusia memiliki kebebasan, dan tidak digerakan oleh hukum-hukum yang menentukan bahwa gerak atom selalu jatuh lurus ke bawah seperti dalam konsep atom Demokritos.
Dalam konsep jatidiri manusia Whitehead, kebebasan mempunyai arti yang negatif dan positif. Kebebasan negatif berarti tidak adanya rintangan, campur tangan, paksaan, atau kontrol ketat; sedang kebebasan positif menunjuk kepada proses pilihan dan tindakan atas dasar inisiatif pribadi, dan lebih konkret menunjuk kepada jenis-jenis umum dari minat manusia atau bentuk-bentuk kegiatan untuk mengekspresikan diri dan melaksanakan kebebasan. Kebebasan hanya terdapat di dalam situasi di mana dimungkinkan terjadinya pilihan. Selanjutnya kemungkinan pilihan tidak hanya menunjuk pada absennya paksaan langsung tetapi juga tersedianya macam-macam alternatif yang bisa diketahui (Hardono Hadi, 1996: 157-158).
Kebebasan manusia terkait dengan kehendak menentukan pilihan. Menentukan pilihan untuk bahagia dalam ketenangan jiwa dilakukan oleh akal budi.  Citra diri Epikureanisme ketika mereka bisa menahan diri dari kesenangan badan, sebagai kondisi yang awal dan alami bagi manusia. Dengan menunda kesenangan tertentu, manusia sesungguhnya sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Manusia selalu berjuang mencapai kepenuhan dirinya, tidak melawan siapa pun, tetapi melawan dirinya sendiri.  Pada akhirnya, kebebasan manusia tidak lantas menjadikan manusia bisa mengendalikan penuh nasib di kedua tangannya. Epicurus mengatakan bahwa “kita tidak pernah boleh lupa bahwa masa depan memang jelas tidak terletak di tangan kita, tetapi juga jelas tidak seluruhnya di luar kekuasaan kita; maka kita tidak akan mengandaikan bahwa apa yang kita harapkan akan terjadi, namun kita juga tidak putus asa apabila apa yang kita harapkan sama sekali tidak terjadi” (Epicurus dalam Magnis-suseno, 1997: 67).

H.Penutup
Mempraktikkan ajaran Epicurus, dituntut kebijaksanaan (wisdom)  untuk membedakan “baik” dan  “buruk”.  “Baik” mendatangkan kenikmatan, tidak berarti memenuhi seluruh kenikmatan, karena ada kenikmatan yang justru menghasilkan ketidaknikmatan. Sementara “buruk”  yang mendatangkan rasa sakit tidak seluruhnya buruk, karena membiarkan diri mengalami sakit justru dapat menghasilkan kenikmatan lebih besar.   Dengan demikian, Kebijaksanaan (wisdom) dibutuhkan dalam memutuskan tegangan antara baik dan buruk. Di awal suratnya Epicurus mengatakan, "Let no one be slow to seek wisdom when he is young nor weary in the search of it when he has grown old. For no age is too early or too late for the health of the soul. And to say that the season for studying philosophy has not yet come, or that it is past and gone, is like saying that the season for happiness is not yet or that it is now no more." Hanya dengan terus belajar seseorang akan dapat menjadi filsuf dalam arti menjadi orang yang selalu tidak puas dengan berbagai jawaban dan terus mencari jawaban terdalam dari berbagai pertanyaan dan persoalan. Hanya orang dengan karakter seperti itu sanggup mencapai kebahagiaan, karena mampu membedakan antara perbuatan baik yang mendatangkan kenikmatan dan perbuatan buruk yang menimbulkan rasa sakit.
Bagi Epicurus, takut akan kematian adalah sesuatu yang ‘irrasional’  ‘tersesat’ dan ‘keliru’ sekaligus sesuatu yang rasional sebab selalu dilatarbelakangi  alasan.  Bagi Epikureanisme, berpikir tentang kematian secara benar adalah bagian integral dari kehidupan yang baik.  Asumsinya; jika kematian dapat dipahami dengan baik, maka kehidupan pun dapat dipahami dengan baik, demikian pula sebaliknya (Warren, 2004: 7).  Epicurus mengatakan bahwa gagasan tentang kematian bagi kita tidak mempunyai arti, karena segala apa yang baik dan apa yang buruk hanya berdasarkan perasaan, sementara kematian adalah (justru) peniadaan perasaan. Karena itu, apabila kita memahami bahwa kematian tidak berarti apa-apa, hidup kita yang fana baru menjadi menyenangkan (Magnis-Suseno, 1997: 66). Lebih lanjut  dikatakan: selama kita ada, kematian tidak ada, dan pada saat kematian ada, kita tidak ada lagi. Oleh karena itu, kematian tidak menyangkut orang hidup dan tidak juga orang mati, karena di mana yang satu (yang hidup) ada, kematian tidak (belum) ada, sedang yang satunya (mereka yang telah mati) sama sekali tidak ada lagi (Magnis-Suseno, 1997: 66).
Tuhan tidak campur tangan dengan kehidupan manusia, sehingga tidak akan ada tempat seperti Hades atau Neraka. Tidak ada pengadilan terakhir atau hari kiamat, sebab hari kiamat adalah hari ketika “aku” mati. Ketika aku mati maka duniaku juga berakhir. Ketika aku mati maka seluruh kenangan, cita-cita dan harapanku hancur berantakan. Kematian tidak hanya akhir dari jiwa dan tubuh tetapi juga akhir dari semesta pengetahuan dan pemahamanku akan dunia. Dengan demikian, kematian tidak hanya berdimensi metafisis tetapi juga epistemologis.  Kehidupanku ini hanya untuk sekali saja, dan kematianku juga hanya datang sekali. Janji akan adanya reinkarnasi tidak menjamin adanya ketenangan jiwa. Meskipun nanti aku dilahirkan kembali, tetap saja aku saat itu bukan lagi aku yang sekarang. Aku dalam kelahiran berikutnya tidak mendiami wajah yang sama, lingkungan yang sama, perangai yang sama, nama yang sama, aku sama sekali berbeda dengan aku yang dahulu, bahkan aku sama sekali lupa akan kehidupanku yang dahulu. Kematian jelas menjadi akhir dari aku yang sekarang.



I.       DAFTAR PUSTAKA
Hardono Hadi P., 1996, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Kanisius: Yogyakarta
Jordan, William, 1992, Ancient Concepts of Philosophy. Routledge: London and New York
Kenny, Anthony, 2006, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, Blackwell Publishing Ltd: USA, UK
Kubler-Ross, Elisabeth, 2009, On Death and Dying: What the dying have to teach doctors, nurses, clergy and their own families (40 th Anniversary Edition), Routledge: London and New York
Kundera, Milan, 2002, The Unbearable Lightness of Being (Entengnya Kehidupan: Sebuah Metafora tak Tertahankan), diterjemahkan oleh John de Santo, Kunci Ilmu: Yogyakarta
Leahy, Louis, 1998, Misteri Kematian: Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Lepp, Ignace, 1969, Death and Its Mysteries, Burns & Oates Limited: London
Long A. A., 2006, From Epicurus to Epictetus: Studies in Hellenistic and Roman Philosophy, : Oxford University Press: Oxford
Magnis-Suseno, Franz, 1997, Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks dari Plato sampai dengan Nietzsche, Kanisius: Yogyakarta
Russell, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko (dari judul asli History of Western Philosophy, George Allen and UNWIN LTD., London, 1946), Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Warren, James, 2004, Facing Death: Epicurus and his Critics, Oxford University Press: Oxford
Whitehead, Alfred North, 2001, Fungsi Rasio, diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho (dari Function of Reason, Beacon Press, Boston, 1971), Kanisius: Yogyakarta.


Alcapone, September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar