1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Platon lahir
tahun 428/7 dari keluarga terkemuka di Athena. Sejak mudaia bergaul dengan
tokoh-tokoh yang memainkan peranan penting dalam politik—bahkan mengenal Sokrates
sejak anak-anak. Dalam Surat VII
Platon mencita-citakan suatu karir politik namun ketidakadilan di Athena terhadap
Sokrates yang menyebabkan kematiannya memadamkan ambisi politiknya dan
menganggap semua rezim politik tidak beres lalu satu-satunya pemecahan denganmempercayakan kuasa negarakepadafilsuf
atau menjadikan penguasa-penguasa sebagai filsuf.Setelah kematian Sokrates,
Platon bersama temannya menetap di
Megara tetapitidak lama lalu kembali ke
Athena. Usia 40 tahun mengunjungi Italia dan Sisilia kemudiaan kembali
untuk merealisasikan cita-citanya; memberikan
pendidikan intensif dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat kepada
orang-orang muda yang akan menjadi pemimpin-pemimpin politik. Jasa Platonterbesar
membuka
sekolah bertujuan Ilmiah—mendirikan
perguruan tinggi pertama dan sebagai pelopor
universitas-universitas abad pertengahan
dan moderen.
Platon tidakmembatasi perhatiannya hanya
pada persoalan etis saja—seperti
dilakukan Sokrates—ia juga mencurahkan minatnya kepada suatu lapangan
yang mecakup seluruh ilmu pengetahuan. Matapelajaran yang menjadi perhatian
terutama matematika atau ilmu pastidan ilmu lain yang di praktekkan di Yunani lalu dipelajari di
Akademia di bawah nama”Filsafat”. Platon mengepalai Akademia sampai kematiannya
tahun 348/7—empat puluh tahun Platon mengepalai
Akademia di Athena. Pada saat meninggal,
karangan Platon Nomoi belum selesai
dan seorang murid mempersiapkan manuskrip defenitif supaya dapat beredar.Sebab
itu Cicero mengatakan “Platon Scriben Est
Mortuus” (Platon meninggal sedang menulis).Dengan menggunakan data yang ada
kita dapat membagi dialog-dialog Platon atas tiga periode.
a. Apologia, Criton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides,
Lysis, Hippias Minor, Menon, Gorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos,
Phaidon, Symposion. (Beberapa
ahli berpendapat bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah ditulis sebelum kematian
Sokrates, tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog pertama ditulis tidak lama
sesudah kematian Sokrates).
b. Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos (Theaitetos
dan Parmenides ditulis sebelum perjalanan kedua ke Sisilia tahun 367 SM).
c. Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios,
Kritias, Nomoi
(Dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia, ketika
urusannya dengan berbagai kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).
2.
Filsafat Platon
Platon sejak
masa mudanya hidup dalam lingkungan yang berhubungn erat dengan politik Athena,
perhatiannya sebagai filsuf terutama pada negara tentang bagaimanakah
seharusnya susunan negara yang ideal? Pertanyaan tersebut dijawab dalam dialog Politeia—oleh banyak ahli sejarah
filsafat dianggap sebagai karya sentral seluruh pemikiran Platon—sedang dialog panjang Nomoi—karya terakhir Platon baru diedarkan sesudah meninggal—membicarakan
juga soal negara. Keyakinan Platon bahwa filsuf harus dijadikan penguasa negarasebagai
refleksi Platon atas kematian Sokrates.
a. Ajaran tentang Ide-ide
Ajaran
tentang ide-ide merupakan inti dan dasar seluruh filsafat Platon. Kalau Sokrates
berusaha menentukan hakikat atau esensi keadilan dan keutamaan-keutamaan lain
maka Platon melangkah lebih jauh bahwa
esensi mempunyai realitasterlepas dari segala perbuatan konkret. Menurut Platon
realitas terdiri dari “dua dunia”; Pertama, mencakup benda-benda
jasmani yang ditangkap oleh panca indra
ditandai; tetap berada dalam perubahan, pluralitas dan ketidaksempurnaan.
Kedua,
dunia ideal atau dunia atas ide-ide dan
sama sekali tidak ada perubahan—bersifat abadi dan tidak terubahkan, dan
tiap-tiap ide bersifat sama sekali sempurna.Anggapan tentang dua “dunia”
membawa pendiriannya atas dua jenis pengenalan.Pertama, pengenalan
tentang ide-ide sebagai pengenalan dalam arti yang sebenarnya yaitu Episteme(pengetahuan, knowledge)
mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek yang ditujui olehnya; teguh,
jelas, dan tidak berubah. Disini rasio menjadi alat untuk mencapai pengenalan
sedang ilmu pengetahuan menjadi lapangan istimewa dimana pengenalan
dipraktekkan.Dengan pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah, Platon
kemudian menolak relativisme kaum sofis.Bagi Protagoras dan pengikut-pengikutnya,
manusia adalah ukuran dalam bidang pengenalan sedang bagi Platon ukuran itu
ialah ide-ide.Berdasarkan ide-ide tersebut, menjadi memungkin kebenaran yang
mutlak.Kedua, pengenalan tentang benda-benda jasmani—dicapai dengan
panca indra dengan sifat-sifat yang sama seperti objeknya; tidak tetap, selalu
berubah. Dibanding pengenalan episteme, pengenalan jenis kedua tidak bernilai
banyak karena tidak menghasilkan kepastian dan Platon menamakandoxa(pendapat, opinion).
Melalui ide tentang
“dua dunia” dan pendiriannya tentang pengenalan, Platon berhasil memecahkan persoalan
besar dalam filsafat pra-Sokratik—mendamaikan ajaran Herakleitos dengan ajaran
Parmeneides. Menurut Herakleitos semuanya senantiasa dalam keadaan perubahan;
tidak ada sesuatupun yang tetap atau mantap bahkan Kratylos mengatakan bahwa
pengenalan tidak mungkin karena perubahan yang tiada henti dan tidak dapat
diberikan nama kepada benda-benda. Menurut Platon, pendapat Herakleitos dan
Kratylos memang benar tetapi hanya berlaku bagi dunia indrawi saja karena semua
berada dalam perubahan sehinggapengenalan sejati tidak mungkin. Pendapat Parmeneides juga
benar tetapi hanya berlaku bagi ide-ide.Dalam dunia ideal ini tidak ada
perubahan, karena ide-ide bersifat abadi dan fundamen bagi pengenalan yang
sejati.
Teori
mengenai ide-idenyadilukiskan dalammitos
tentang penunggu-penunggu gua dalam dialog Politeia.Manusia
dapat dibandingkan—demikian katanya—dengan orang-orang tahanan yang sejak lahir
terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah ke dinding
gua.Dibelakang mereka ada api menyala dan beberapa orang budak belian mondar
mandir didepan api sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan
rupa-rupa bayangan yang dipantulkan didinding gua. Orang-orang tahanan lalumenyangka
bayangan itu merupakan realitas sebenarnya dan tidak ada realitas lain. Namun
sesudah beberapa waktu satu orang tahanan dilepaskan.Ia melihat dibelakang gua api
yang ada disitu. Ia mulai memperkirakan bahwa bayangan-bayangan bukan realitas
yang sebenarnya. Lalu iakeluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan
matanya. Mula-mula ia berpikir bahwa ia sudah
meningggalkan realitas tetapi berangsur-angsur ia menyadari bahwa itulah realitas
yang sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum pernah memandangnya. Akhirnya, ia kembali ke dalam gua dan
bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukan realitas yang
sebenarnya melainkan hanya bayangan.
Namun mereka tidak percaya dan seandainya mereka tidak terbelenggu,
mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.
b. Ajaran tentang Jiwa
Sebagai
mahluk terpenting diatas segala mahluk di dunia dan jiwa sebagai pusat atau
intisari kepribadian.Platon menciptakan ajaran tentang jiwa yang berhubungan
erat dengan pendiriannya mengenai ide-ide. Platon berkeyakinan bahwa jiwa
manusia bersifat baka—argumen pentingnya ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa
dan ide-ide—menuruti prinsip filsafat Yunani sejak Empedokles yakni“yang sama mengenal yang sama”. Jiwalah
yang mengenal ide-ide bukan badan dan atas dasar prinsip tesebutjiwa mempunyai
sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada ide-ide. Ide bersifat abadi dan
tidak berubah sehingga jiwa—bertentangan dengan badan—tidak berubah dan tidak
akan mati.Apa itu jiwa? Menurut Platon jiwa bukan
sebuah “apa”, bukan ”sesuatu”. Kata
Yunani physis diterjemahkan sebagai nature (bahasa Inggris dan Prancis) atau
kodrat.Physis sebagai kodrat dipahami
seperti; biji mangga adalah kodrat pohon mangga.Pada biji mangga ada prinsip
perkembangan. Di satu sisi seluruh kode genetis sudah tercetak, namun sisi lain
ia bisa berkembang penuh—menjadi pohon mangga
dan berbuah banyak—atau tidak berkembang karena membusuk. Sebagai physis, jiwa membuat manusia berkembang
sepenuhnya sehingga serupa dengan yang ilahi atau sebaliknya menjatuhkan
manusia kekeadaan hewani. Untuk mengenali physis jiwa, jalan terbaik adalah melihat dinamis jiwa atau
daya-daya yang muncul darinya—daya-daya
yang membuat jiwa bisa pasif (berkenaan dengan
yang bisa ia terima dan ia derita, pathe) dan aktif (berkenaan dengan
apa saja yang bisa ia lakukan, erga). Menurut Platon jiwalah yang menjadi
penggerak badan bukan sebaliknya.Jiwa menurut platon adalah “dia yang
menggerakan dirinya sendiri” (autokineton).
Selanjutnya
dalam Politeia, Platon membagi jiwa
menjadi tiga “bagian” (mere) sebagai “fungsi”—pembagian tiga fungsi jiwa
merupakan kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia; Pertama
“Bagian Rasional”(to logistikon).Kedua “Bagian Keberanian”
(to thymoeides)dan Ketiga “bagian Keinginan”(to
epithymetikon)—menunjuk hawa nafsu.Pertama; epithumia
(secara fisik lokasinya dibawah sekat
dada sampai batas pusar—bukan usus dua belas jari, bukan ginjal, bukan pula
organ kelamin) mewakili nafsu–nafsu rendah dan sangat susah ditundukan oleh
rasio. Dalam kehidupan sosial politik di gambarkan sebagai kelas petani dan
pedagang yang orentasinya hanya mencari profit.Keduathumos; terletak di bagian thorax diantara leher dan diafragma dada—tidak
menunjuk organ paru-paru atau jantung—merujuk kepada segala bentuk efektivitas
rasa, semangat dan agresivitas.Bagian jiwa yang agresif dan digambarkan sebagai
prajurit mencari kemenangan dalam kompetisi dan harga diri.Ketiga logistikon; paling
penting dan bagian terbaik dalam jiwa manusia (fungsi rasional jiwa) bertugas
memerintah dan mengendalikan dua “bagian” jiwa lainnya, memberi tahu dan
mengendalikan kuda putih (thumos) secara
langsung dan dengan kerjasamanya mengendalikan kuda hitam yang binal—bila
perintahnya tidak ditaati, logistikon akan mengirim perintah dan nasehat lewat
mimpi. Eros; sebuahdorongan
menghidupi ketiga “bagian” dilambangkan sebagai sayap sehingga kereta jiwa bisa
terbang. Eros menopang jiwa manusia
secara keseluruhan. Ditataran paling rendah, eros terwujud dalam salah satu nafsu epithumia yaitu nafsu seks; ditataran harga diri eros berwujud keinginan untuk mencetak
perbuatan-perbuatan heroik demi cinta pada tanah air, profesi, atau harga diri;
sedang dalam tatarannya yang paling tinggi eros
dirujukan dalam diri para pemikir yang hasratnya ingin menggekalkan diri,
bukan lewat tindakan seksual penurunan anak, melainkan lewat pewarisan penemuan-penemuan
pemikiran.
Dalam dialog Timaios, Platon mengatakan; hanya
“bagian rasional” bersifat baka sedang bagian-bagian lain akan mati bersama tubuh.
Ketiga bagian jiwa tersebut memiliki keutamaan tertentu; “Bagian Keinginan”
merupakan pengendalian diri (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus,
“Bagian Keberanian” keutamaan yang spesifik ialah kegagahan (andreia),dan “Bagian Rasional”
dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis
atau sophia).Disamping itu ada lagi keadilan (dikaiosyne)yang menjamin kesimbangan antara ketiga bagian jiwa.
Dalam Phaidros ketiga bagian jiwa
dilukiskan dengan mitos seorang sais mengendarai dua kuda bersayap—satu mau ke atas (Bagian Keberanian) yang lain
selalu menarik ke bawah (Bagian Keinginan).
Sais (Bagian Rasional) hendak mencapai langit tertinggi supaya dari sana
dapat memandang “kerajaan ide” tetapi
karena kesalahan, kuda yang selalu mau ke bawah (Bagian Keinginan) kehilangan
sayap-sayapnya dan jatuh ke atas bumi.Menurut
mitos ini, tugas jiwa bergerak mengikuti arak-arakan kereta kuda para dewa—yang ditarik
sepasang kuda yang sempurna dan sama baiknya—naik menuju punggung langit
untuk mengkomteplasikan keindahan ilahi. Namun pergerakan eksternal jiwa-jiwa
itu tidak mudah dan penuh masalah karena kereta jiwa manusia ditarik oleh
sepasang kudayang saling bertentangan.
Kuda putih cenderung taat kepada sais sementara hitam mengikuti kemauannya sendiri dan selalu ingin
bergerak kebawah. Ada sais mampu mengendalikan kuda-kudanya namun banyak sais tidak bisa mengendalikan sehingga jalan
kereta kacau, bertabrakan dengan kereta lain dan akhirnya jatuh kebawah.Mitos
ini juga hendak mengambarkan jiwa sebagai gerakan yang bergerak dari dirinya
sendiri.Tugas manusia bergerak mengikuti kereta para dewa, menata hidupnya sesuai
teladan keilahian.Namun gerak eksternal seringkali sulit dilakukan karena
mereka tidak mampu menata gerakan internalnya dengan baik.Rasio (sais kereta) tidak mampu mengendalikan dengan benar dimensi
efektif (Thumos—kuda putih) dan
nafsu-nafsunya (Epithumia—kuda
hitam). Bila gerakan internal kacau mereka masuk dalam dinamika kejatuhan. Jiwa
mortal diterangkan Platon sebagai thumos (afektifitas)
unsur ”lebih baik” sementara yang ”lebih buruk” disebut epithumia (nafsu-nafsu)
kemudian rasio sebagai yang “terbaik” di banding kedua unsur lainya.
Bagi Platon jiwa
bukan saja bersifat baka—jiwa tidak akan mati saat kematian badan (immortal)—melainkan juga kekal, karena sudah ada sebelum hidup
dibumi. Sebelum bersatu dengan badan,
jiwa sudah mengalami suatu pra-eksistensidimana
ia memandang ide-ide. Platon berpendapat bahwa pada ketika itu tidak semua jiwa
melihat hal yang sama. Ada jiwa-jiwa yang melihat lebih banyak dari pada
jiwa-jiwa lain—biarpun hanya sedikit saja, tiap-tiap jiwa mesti telah melihat
sesuatu dalam “kerajaan ide”. Berdasarkan pra-eksistensi jiwa, Platon kemudian
merancang teori tentang pengenalan.Menurut
Platon, pengenalan tidak lain dari pada pengingatan (anamesis)akan ide-ide yang telah dilihat pada waktu
pra-eksistensi.Bila manusia lahir di bumi, pengetahuan tentang ide-ide tersebut—pra-eksistensi—sudah
menjadi kabur.Tetapi biarpun tersembunyi, pengetahuan tersebut tetap tinggal
dalam jiwa manusia dan dapat diingatkan kembali. Lewat teorinya mengenai
pengetahuan sebagai pengingatan, Platon
mendamaikan pengenalan indrawi dengan pengenalan akal budi— pengenalan
indrawi (doxa) mencakup benda-benda konkret yang senantiasa dalam keadaan perubahan
sedang pengenalan akal budi (episteme) menyangkut ide-ide yang abadi dan tidak
terubahkan. Karena benda benda konkret selalu meniru ide-ide maka pengenalan
indrawi merintis jalan bagi pengenalan akal budi.Dengan demikian Platon dapat
menghargai pengenalan indrawi secara positif.
c. Ajaran tentang Negara
Filsafat
Platon memuncak dalam uraiannya mengenai Negara dengan latar belakang pengalaman
pahit mengenai politik Athena sebagai usaha memperbaiki keadaan negara yang
dirasakan buruk.Menurut Platon negara yang ideal terdiri dari tiga golongan
(selain budak-budak).Golongan Pertama, penjaga-penjaga atau filsuf-filsuf karena
mereka mempunyai pengertian mengenai “yang baik”.Golongan Kedua, pembantu-pembantu
atau prajurit-prajuritditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya
warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf. Golongan Ketiga, dari petani-petani
dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh polis.Karena
ketiga bagian jiwa punya hubungan khusus dengan keempat keutamaan, dengan
demikian ketiga golongan dalam negara ideal juga punya hubungan dengan keempat
keutamaan tersebut. Kebijaksanaan merupakan keutamaan khusus terdapat pada para penjaga dalam arti
yang sebenarnya. Kegagahan terdapat pada pembantu-pembantu dan karena golongan
pertama dipilih dari antara pembantu-pembantu, sudah nyata bahwa golongan
pertama juga mempunyai keutamaan ini.Bagi golongan ketiga—petani-petani dan
tukang-tukang—keutamaan yang spesifik adalah pengendalian diri. Akhirnya, keadilan terdapat pada semua
golongan, karena keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan
dan setiap warga negara melaksanakan tugas masing-masing, tanpa campur tangan
dalam urusan orang lain. Sebagaimana dalam jiwa, keadilan mengakibatkan ketiga bagian jiwa berfungsi dengan seimbang
dan selaras, didalam Negara, keadilan menjamin kesimbangan dan keselarasan
antara golongan-golongan dan antara semua warga negara. Dengan demikian kita mendapat jawaban atas pertanyaan pokok bagi seluruh dialog Politeia; yaitu apakah keadilan itu?Pendiriannya tentang keadilan
ini Platonmengutamakan keselarasan dan keseimbangan sebagai gagasan Yunani yang
khas.
3. Arete
atau Keutamaan
Menurut
Leon Robin, istilah “keutamaan” (bahasa Yunani;arete) merujuk pertama-tama pada ciri khas berkaitan dengan fungsi
optimal (excellency) suatu hal. Keutamaan sesuatu atau seseorang adalah ketika
ciri yang menjadi karakter khasnya mewujud secara optimal.Platon berbicara
tentang keutamaan; ”mata, telinga, anjing atau kuda”. Seekor kuda menjadi
“utama” ketika bisa berlari dengan cepat.Telingga adalah “utama” bila berfungsi
baik, artinya bisa mendengarkan. Tentang keutamaan seorang ahli bangunan dan
politisi di Apologia 18.amengatakan bahwa “keutamaan seorang hakim” ketika ia
mewujudkan ciri dan fungsi khasnya sebagai hakim secara maksimal; mampu memilah
dan memutuskan secara adil mana yang benar argumentasi si penuduh atau si
tertuduh. Karena dalam diri manusia yang menjadi prinsip adalah jiwanya maka arete
muncul bila jiwa termanifestasikan secara optimal. Jadi kalau sebilah
pisau menurut kodrat “keutamaannya” memotong dengan baik dan mata
“keutamaannya” melihat dengan baik maka jiwa manusia memiliki “keutamaan” ketika
tiap ”bagian” maksimal secara kodrat menjadi fungsi-fungsinya sehingga muncul
manusia yang adil dan harmonis. Karena sejauh yang sejati dari jiwa adalah
rasio maka arete berarti optimalnya
pengetahuan dan refleksi rasional. Memiliki keutamaan, excellency artinya
ketika atas dasar pengetahuan (kebijaksanaan) secara rasional manusia mengerti
apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang mesti dipilih.
Paling optimal bagi jiwa menurut Platon ketika semua “bagian” jiwa; epithumia, thumos, dan rasio bergerak harmonis—disitu manusia
bersifat adil.
Keutamaanbenar-benar
menjadi sebuah keutamaan sejauh yang dipikirkan demi kebaikan tertinggi. Kalau
sudah dipikirkan demi kebaikan jiwa secara keseluruhan maka keutamaan akan
benar-benar menjadi keutamaan (optimalisasi bagi jiwa). Keutamaan sekedar menukar rasa senang dengan kesenangan
lain yang lebih besar atau menukar rasa sakit lebih besar dengan rasa sakit lebih
kecil bersifat ambigu dan tidak pasti—ambigu karena dalam logika tukar menukar,
kita melakukan sebuah ketakutan (atau keinginan/nafsu) dengan cepat menundukkan
diri pada sebuah ketakutan (nafsu) lain yang lebih besar. Dalam hubungan ini, menurut
Platon satu-satunya alat tukar yang sah memperoleh keutamaan adalah pemikiran
(pengetahuan) karena memberikan landasan
stabil dan objektif untuk melihat sejauh mana sebuah tindakan benar-benar merupakan
keutamaan. Hanya lewat pemikiran dan pengetahuan yang benar orang bisa sejauh
mungkin menyerupakan dirinya dengan yang ilahi.Pemikiran tidak dengan
sendirinya membuat orang berkeutamaan, namun pemikiran memberikan landasan
argumentatif bagaimana seseorang memilih menjadi berkeutamaan atau tidak.Pemikiran
dan pengetahuan syarat bagi munculnya keutamaan.
Bagi Platonkeutamaan
adalah pengetahuan terdiri atas empat keutamaan pokok;sophrosune(pengendalian diri), andreia(keberanian),
sophia(pengetahuan kebijaksanaan) dan
dikaisoune(keadilan, ketegakan,
kebenaran). Dari keempat keutamaan, pengetahuan kebijaksanaan adalah keutamaan
yang mencerahi dan mengilhami keutamaan- keutamaan lainnya. Hal ini sejalan
dengan konsepsi Platon yang menempatkan “bagian” rasio sebagai pemimpin
“bagian-bagian” jiwa lainnya sementara keadilan adalah efek yang muncul
manakala tiap “bagian” jiwa menjalankan tugasnya masing-masing. Dalam arti
inilah optimalisasi hidup manusia (atau keutamaan, kesuksesan) secara hakiki
adalah pengetahuan karena berkat refleksi rasional (pengetahuan)
keutamaan–keutamaaan yang lain akan benar-benar menjadi keutamaan.
Semua
“bagian” jiwa bersifat hakiki bagi manusia secara keseluruhan.Maka
mengoptimalkan manusia menggapai keutamaan mengandaikan optimalisasi tiap
“bagian” jiwa.Pertamaepithumia;bila dikendalikan(sophrosune, moderation) menjadikan
nafsu-nafsu optimal untuk manusia dan memunculkan keselarasan (symphonia dan harmonia) bukan menghilangkan nafsu-nafsu tetapi pengendalian diri
menundukan secara sengaja “nafsu-nafsu jelek yang beragam” kepada refleksi
rasional.Dalam tatanan polis, untuk
jiwa manusia, keutamaan ini secara khas di peruntukkan bagi kaum petani dan
pedagang.KeduaThumos; bagi
kaum prajurit dan pelestari polis
(guardians) yang hidup mendasarkan diri pada hasrat harus dibimbing oleh keutamaan keberanian (andreia, courage)agarpara prajurit
menjaga dirinya tetap bertahan memiliki pikiran yang tepat berkenaan dengan apa
yang “baik dan buruk”. Refleksi rasional ini penting bagi thumos supaya prajurit tidak mudah tunduk begitu saja pada
kesulitan kesulitan-kesulitan, supaya mereka tidak mudah luluh di depan godaan
makan, minum, seks serta uang dalam situasi apa pun, thumos mesti di biasakan mereaksi dengan tepat sehingga meski
kondisi yang dihadapi berat dan susah, ia tetap berani memiliki apa-apa yang
membawa kebaikan baginya. Thumos
perlu dilatih dengan pengalaman “kepahitan, kesenangan, penderitaan dan
ketakutan” (politeia 429c-d), supaya
mampu bertahan dalam keyakinan akan kebaikan dan tidak takut atau lari seperti
pengecut di depan kesulitan. KetigaSophia; “bagian” jiwa tertinggi adalah rasio. Ia membimbing thumos memiliki pengetahuan yang benar
mengenai apa yang mesti ditakuti atau dihadapi sertamengendalikanepithumiaagar tidak liar melainkan
terarah pada kebaikan dalam hal pemenuhan nafsu makan, minum dan seks. Rasio yang optimal adalah rasio yang memiliki
sophia (pengetahuan
kebijaksanaan).
Bila
seluruh “bagian” jiwa manusia menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik
akan melahirkan dikaios
(keadilan).Keutamaan sophia
(pengetahuan, kebijaksanaan) dicapai manakala rasio manusia memahami apa-apa
yang bersifat intelligible (yaitu
idea) yang sifatnya ganda; pertama, untuk sampai ke sophia orang harus melakukan purifikasi—menundukan epithumia dan
mengendalikan thumos—dan kedua, setelahsophia diterima lalu turun lagi menerangi dan mencerahi hal-hal yang menjadi
objek inderawi “bagian–bagian” jiwa yang lebih rendah. Ditataran keutamaan sophia manusia mengerti sebenar-benarnya
kebaikan sehingga bisa mengarahkan seluruh “bagian” jiwa dengan keutamaan
keutamaannya.
Alcapone,
Januari 2013
Disampaikan
dalam Dialog Akhir Bulan Januari 2013 Di Teras Ubermench Makassar.
Sumber:
A.
Setyo Wibowo, Arete; Hidup Sukses Menurut Platon, Kanisius,Yogyakarta, 2010
Dr.K.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogjakarta, 1975
Tidak ada komentar:
Posting Komentar