Kamis, 14 Januari 2016

Immanuel Kant; Sintesis Rasionalisme dan Empirisme Kritisisme








                                                                                                                      
                                                                                                                       BANGUN dan bangkitlah!
Robohkan fondasi istana kaum kaya
Didihkan darah kaum tertindas dengan api iman
Ajarlah burung gereja biar berani melawan elang
Saat rakyat berdaulat suah dekat
Hapuskan sisa sisa hokum dan kebiasaan masa lalu
Buanglah bulir gandum di tegalan
Yang gagal member kehudupan kaum tani
Kemudian arahkan pandang kepada para pendeta
Dan singkirkan mereka dari gereja
Sebab mereka berdiri bagaikan tirai besi yang memisahkan
Tuhan dan manusia
Padamkan lampu di semua kelenteng dan mesjid
Karena mereka mencoba menipu Tuhan dan berhala berhala
Dengan sujud dan bicara tanpa makna
Aku muak dengan kemegahan palsu kelenteng pualam
Bangunkah daku kelenteng dari tanah
(Sir Muhammad Iqbal)




A.    Riwayat Hidup Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant hidup saat pencerahan mencapai puncak di Jerman.Pribadinya  sangat tertib dan  membujang seumur hidup. Tinggal bersahaja di kota Koenigsberg di Prusia Timur dalam sebuah keluarga yang sangat di pengaruhi oleh pietisme. Filsafatnya merupakan sintesis kritis atas dua kecenderungan pokok yang sudah ada sebelum pencerahan; rasionalisme dan empirisme---proses penalaran sekaligus proses observasi dalam fisika---sebagai sebuah sistem pengetahuan baru yang teruji, bukan  karena sesuai dengan kenyataan dan memenuhi asas penalaran tetapi berdaya guna bagi kesejahteraan manusia.  Melalui sintesis ini, Kant menghasilkan sebuah cara berfilsafat yang baru yang menjadi pijakan  sejarah selanjutnya.
Semangat jaman ini sedikit banyak tercermin dalam filsafat Kant.Semangat intelektual Jerman saat itu menilai bahwa; orang yang beradab sebagai seorang yang berpendidikan tinggi, bebas dari prasangka-prasangka sempit, mendukung kemajuan seni dan ilmu pengetahuan, menghayati hidup tertib dan harmonis. Bahkan para cendekiawan Jerman sangat berambisi  menyumbangkan sebuah sistem pemikiran yang merupakan sintesis universalitis atas berbagai kecenderungan yang bertentangan di abad-abad sebelumnya yang dinilai picik.
Sewaktu studi di Koenigsberg, Kant mempelajari hampir semua mata kuliah  dan mendapat pengaruh rasionalisme Wolf melalui dosennya Martin Knutzen.  Kant mempelajari fisika Newton serta sistem-sistem metafisika dan logika.  Masa kerja sebagai Privaddozen (dosen lepas) antara tahun 1755-1770  sebagai “periode pra-kritisnya”-nya menjadikan Kant seorang dosen yang sangat luar biasa dalam penguasaannya atas hampir semua ilmu. Periode saat Kant mengembangkan sistemnya sendiri---dalam Krtitik der reinen Vernunt (Kritik atas rasio Murni)---disebut “periode kritis” berlangsung setelah tahun tujuh puluan. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun.

B.    Proyek Filosofis Kant
Pemikran Kant di periode kritis bermaksud menjawab tiga pertanyaan dasar; (1) Apa yang dapat saya ketahui? (2) Apa yang seharusnya saya lakukan? dan (3) Apa yang bisa saya harapkan? Pertanyaan pertama di jawab dalam Kriitik der reinen Vernunt, yang kedua dalam kritik der praktischen Vernunt, dan yang ketiga dalam Kritik der Urteilkraf. Melalui karya-katya tersebut Kant  ‘memeriksa kesahihan‘ secara kritis, tidak terutama dengan pengujian empirik, melainkan dengan asas-asas apriori dalam diri subjek. Karena itu filsafatnya disebut ‘transendentalisme’ sebab dia mau menemukan asas-asas apriori dalam rasio kita yang berkaitan dengan objek-objek dunia luar---apa yang di sebutnya die Bedingung der Moeglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah penelitian menurut Kant di sebut “transendental” kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi murni dalam diri subjek pengetahuan. Kant membuat sintesis antara empirisme yang mementingkan pengetahuan a posterioridengan rasionalisme yang mementingkan pengetahuana priorisehinggafilsafat Kant dijelaskan sebagai hasil sintesis antara unsur-unsura priori dan a posteriori.           
Filsafat Kantdisebut ‘kritisisme’ dipertentangkan dengan ‘dogmatisme’. Kalau dogmatisme menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya makakritisisme  menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya.   Kant mengatakan bahwa kritisisme adalah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan die Bedingung der Moeglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) pengetahuan kita—filsuf   sebelum Kant disebut filsuf dogmatis yang bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika. Kata “Kritik” oleh Kant dipahami sebagai “pengadilan tentang kesahihan pengetahuan” atau “ pengujian kesahihan”—gambaran proses pengadilan diandaikan karena dalam proses itu klaim-klaim pengetahuan seolah-olah diperiksa sebagai terdakwa. Cara berfisafat semacam itu disebut ‘proseduralisme’: alih-alih memusatkan diri pada isi pengetahuan, Kant lebih meminati proses atau cara memperoleh pengetahuan itu.

C.Kritik atas Rasio Murni
Dalam Krtitik der reinen Vernunt,  pengetahuan a priori’ atau ‘pengetahuan murni’adalah suatu pengetahuan yang konsep-konsepnya tidak diturunkan dari pengalaman tetapi dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri—kosong dari pengalaman empiris.    Buku Krtitik der reinen Vernuntterdiri dua bagian pokok. Bagian pertama ajarannya mengenai unsur-unsur a priori pengetahuan(traszendentale Elementalehre) dengan  dua sub-bagian; 1)‘estetika trasendental’(die trazsendentale Aesthetik) tentangbentuk-bentuk a priori dari pengindraan dan bagaimana matematika itu mungkin. 2) ‘logika trasendental’(die traszendentale Logik) terdiri dua bagian;‘analitika trasendental’(die traszendentale Analitytik) yang membahas kategori-kategori a priori dan bagaimana fisika itu mungkin, dan diaklektika transental (die transzendentale Dialektik) yang membahas bagaimanakah dan apakah metafisika itu mungkin.  Bagian pokok kedua buku Kant mengenai metode trasendental(traszendentale Methodenlehre) sebagaipembahasan Kant tentang “refolusi Kopernikan” dalam filsafat.Maksud istilah ini dapat dijelaskan demikian. Dulu para filsuf memahami relitas dengan asumsi bahwa subjek mengarahkan diri pada dari pada objek, tetapi Kant mau memahami kenyataan dengan asumsi bahwa objek mengarahkan diri pada subjek: pengenalan berpusat pada subjek.

1.   Estetika Transendental: Pengtahuan pada Taraf Indra
Kant menerima pandangan para filsuf empiris Inggris bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengalaman indrawi tetapi menurut Kant tidak seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman.Bagamana kita berhubungan dengan objek pengetahuan di luar diri kita? Jawab Kant dalam ‘estetika trasendental’ adalah lewat istitusi langsung---tetapi Kant menambahkan bahwa institusi kita mengandaikan bahwa kita di pengaruhi objek dengan cara tertentu. Kemampuan subjek untuk menerima representasi (Vorstelung) objek disebutnya “sensibilitas” atau “kemampuan mengindrai” (Sinnlichkeit).Jadi, institusi manusia adalah ‘institusi indrawi’.Efek sebuah objek pada kemampuan repsentasi atau pikiran (Gemuet) sejauh dipengaruhinya disebut ‘pengindraan’ (Empfindung).Objek pengindran disebutnya ‘penampakan’(Erscheinung).
Kant menolak anggapan empirisme bahwa pengindraan bersifat murni a posteriori.Menurutnya, ada dua unsur dalam penampakan objek, yaitu unsur materi (materia) dan unsur bentuk (forma).Unsur materi adalah sesuatu yang berhubungan dengan (isi) pengindraan sedang forma adalah sesuatu yang memungkinkan berbagai penampakan itu tersusun dalam hubungan-hubungan tertentu.Jadi, forma merupakan unsur a priori dari pengindraan sedang materi merupakan unsur a posteriori.Kant mengatakan ada dua forma murni pengindraan, yakni ruang dan waktu.
          Kant mengatakan ‘penampakan objek’ bukanlah ‘objek’. Objek di luar kita itu, menurutnya, tidak kita ketahui---istilah Kant, “das Ding an sich” (benda pada dirinya) tidak kita ketahui. Yang kita tangkap sebagai penampakan itu sudah merupakan sintesis antara efek objek pada subjek dan unsur a priori, yakni forma ruang dan waktu yang sudah ada pada subjek.Lalu Kant membedakan antara ‘pengindraan eksternal’ yakni persepsi atas objek dari luar diri kita, dan ‘pengindraan internal’ yakni persepsi atas keadaan eksternal kita.Forma ruang adalah bentuk penampakan dari pengindraan internal, sedang forma waktu adalah pengindraan internal itu.Dengan mengatakan bahwa ruang dan waktu bersifat a priori, Kant tidak memaksudkan bahwa keduanya tidak riil. Menurut Kant, memang “das Ding an sich” tidak kita ketahui, tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori dan a posteriori. Jadi, kenyataan yang tampak itu tidak hanya kelihatannya berada dalam ruang dan waktu, melainkan sungguh berada dalam ruang dan waktu.Keduanya menjadi “syarat kemungkinan” penampakan objek empiris.Kant mengatakan bahwa ruang dan waktu itu secara empiris riil, tetapi secara transendental ideal.Secara empiris riil karena ruang dan waktu bukan ilusi, melainkan sesuatu yang nyata secara indrawi. Secara transendental ideal, karena ruang dan waktu bisa diterapkan pada penampakan, tidak pada “das Ding an sich”, jadi lebih ditentukan oleh struktur subjek.

2. logika transcendental
Tentang asas akal budi---logika; dimaksudkan bukan logika formal yang  mengabstraksi objek-objek sampai lepas dari isi empirisnya---melainkan “logika transendental” yang meskipun sama a priorinya namun tetap menjaga kaitannya dengan objek empiris. Dengan kata lain, logika transendental memusatkan diri pada asas-asas a priori (pikiran kita) atas objek sejauh menentukan pemahaman kita, dan bukan pada asas-asas a priori yang lepas dari objek. Logika transendental merupakan forma a priori dalam akal-budi.Kant mengatakan bahwa kegiatan intelek tampil dalam putusan. Intelek itu sendiri tidak lain adalah kemampuan untuk membuat putusan (Urteilbildung). Berpikir adalah membuat putusan.Dalam putusan terjadi sintesis antara data-indrawi dan unsur a priori akal budi.Unsur-unsur a priori akal budi itu disebut Kant “kategori-kategori”.Tanpa sintesis itu, kita bisa mengindrai penampakan tetapi tidak mengetahuinya.Dengan kata lain, kategori-kategori merupakan syarat a priori pengetahuan---dengan ‘revolusi kopernikan’ Kant memandang bahwa agar objek diketahui, objek itu harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori itu, dan bukan sebaliknya.
a.       Analitika Transendental: Pengetahuan pada Taraf Intelek;menurut Kant, dalam diri subjek terdapat dua kemampuan, yakni untuk menerima data-indrawi dan untuk membentuk konsep. Kemampuan mengindrai sudah disebut sebagai ‘sensibilitas’. Lalu kant menyebut kemampuan untuk mengasilkan konsep sebagai pemahaman, atau dengan istilah Kant “Verstand” (diterjemahkan ‘intelek’). Hubungan kedua kemampuan ini sangat erat. Tanpa sensibilitas objek tidak dapat masuk dalam subjek, dan tanpa akal objek tidak dapat dipikirkan---Disinilah Kant mendamaikan empirisme dan rasionalisme, sementara rasionalisme memutlakkan rasio dan empirisme memutlakkan sensibilitas, Kant memperlihatkan, bagaiman pengetahuan merupakan sintesis keduanya.
b.       Dialektika Transendental: Pengetahuan pada Taraf Rasio;dalam ‘dialektika transendental’, Kant membedakan rasio (Vernunft) dari akal-budi (Verstand). Istilah “Vernunft” mengacu pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari pada intelek. Rasio menghasilkan ide-ide transendental yang tidak bisa memperluas pengetahuan kita tetapi memiliki fungsi mengatur (regulatif) putusan-putusan kita ke dalam sebuah argumentasi. Sementara intelek langsung berkaitan dengan penampakan, rasio berkaitan secara tidak langsung dengan mediasi intelek. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan-putusan akal-budi untuk menemukan kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi. Misalnya, putusan “semua binatang itu bisa mati”, dan “manusia itu binatang”, lalu kesimpulannya “manusia itu bisa mati”. Putusan ketiga yang merupakan kesimpulan silogisme itu dihasilkan dari dua putusan lain dan merupakan kesatuan dari keduanya. Putusan ketiga itu tidak langsung berdasarkan penampakan. Dalam hal ini rasio mengusahakan kesatuan itu, dan bahkan menurut Kant, aturan (maksim) logis rasio adalah terus mengusahakan kesatuan yang makin besar, makin menuju keadaan akhir yang tidak dikondisikan atau murni.
Kant menyebutkan adanya tiga tipe kesimpulan silogistis yang mungkin, yaitu: kesimpulan kategoris, hipotesis, dan disjungtif. Ketiganya berkaitan dengan tiga kategori akal-budi yang diterangkan di atas, yaitu: substansi, kausalitas, dan komunitas atau resiprositas. Ketiga kesimpulan itu juga  berkaitan dengan tiga macam kesatauan tanpa syarat yang merupakan postulat (dalil) dari rasio. Ketiga macam kesatuan akhir iu menjadi asumsi terakhir yang mtlak, maka hanya dipostulatkan (tanpa syarat). Ketiganya disebut “idea-ide rasio murni”.Idea pertama menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subjek (kesadaran atau cogito) dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan disebut “ide jiwa”.Idea kedua menjamin kesatuan akhir dalam hubungan-hubungan kausal dalam penampakan objek dan disebut “Idea Dunia”.Idea ketiga menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan entah yang tampak atau tidak dan disebut “Idea Allah”.

D.              Kritik atas Rasio Praktis
Rasio yang dijelaskan di atas disebut “rasio murni” atau rasio teoritis.Rasio ini menghasilkan ilmu pengetahuan.Dalam kritik der praktichen Vernunft, Kant berusaha menemukan bagaimana pengetahuan moral itu terjadi.Pengetahuan moral, misalnya dalam putusan “orang harus jujur”, tidak menyangkut kenyataan yang ada (das Sein), melainkan kenyataan yang seharusnya ada (das Sollen).Pengetahuan macam ini bersifat a priori, sebab tidak menyangkut tindakan empiris, melainkan asas-asas tindakan itu dihasilkan oleh “rasio praktis” kita.Sebagai ‘rasio dalam keguanaan praktisnya’.Seperti juga rasio murni, dia mengacu pada rasio praktis pada dirinya, bukan rasio praktis orang tertentu. Tentu saja rasio pada akhirnya satu saja, tetapi ada dua cara rasio mendekati objeknya. Sementara rasio murni menetapkan objek lewat kognisi, rasio praktis membuat objek (tindakan) menjadi nyata lewat penentuan kehendak.Dengan berusaha menemukan asas-asas itu, Kant memisahkan etika dari teologi.Baginya, etika tidak tergantung pada teologi, melainkan pada kesadarn subjek rasional.

E. Kewajiban sebagai Dasar Moralitas
Dalam Grundlegung, Kant merumuskan bahwa tidak ada hal lain yang baik secara mutlak kecuali “kehendak baik” (guter Wille) sebagai kehendak yang baik pada dirinya (an sich), tidak tergantung pada yang lain. Kehendak baik adalah sesuatu yang baik pada dirinya, tanpa pamrih, tanpa syarat.Kant membedakan antara “tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan “tindakan yang dilakukan demi kewajiban”. Yang pertama ini, baginya, tidak berharga secara moral dan disebut “legalitas” (legalitaet), sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas (moralitaet). Sebuah tindakan moral yang luhur adalah tindakan yang dilakukan demi kewajiban an sich. Pandangan Kant kerap disebut ”rigorisme moral” (rigor=keras, kaku, ketat), karena dia menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dan seterusnya) sebagai tindakan moral.
Kant lalu menghubungkan kewajiban dengan hukum hukum dimengerti sebagai hukum an sich, dengan sifatnya yang universal dan tidak mengizinkan kekecualian. Bertindak demi kewajiban adalah bertindak dengan mengacu pada hukum itu.Nilai moral (baik buruknya tindakan), menurut Kant, tidak terletak pada hasil tindakan, melainkan pada sesuatu dalam kesadaran subjek moral yang disebutnya “maksimum”.Maksim dibedakan dari asas-asas (prinsip-prinsip).Sementara asas-asas terstruktur secara objektif dalam rasio praktis setiap makhluk rasional (asas-asas objektif moralitas), maksim merupakan kehendak (Wille) subjektif yang juga asasi (asas-asas subjektif kehendak).Ada dua macam maksim, yaitu maksim empiris atau material dan maksim a priori atau formal. Yang bernilai moral adalah maksim aa priori itu. Maksim ini mematuhi hukum universal an sich dan tidak mengacu pada hasrat-hasrat indrawi, sedangkan maksim empiris mengacu pada efek-efek tindakan.

F. Imperatif Kategoris
Menurut Kant, asas moralitas (asas rasio praktis) seharusnya sesuai dengan asas kehendak (maksim)---terjadi kalau manusia itu subjek moral rasional murni. Dalam kenyataan, sering ada kesenjangan atau ketidak sesuaian antara maksim dan asas, antara kehendak subjektif dan asas moral objektif.Dalam kasus ini, asas objektif disadari sebagai perintah dan kewajiban.Kalau keduanya sesuai (ini menurut Kant terjadi apada diri Allah), tidak ada printah ataupun kewajiban. Kant membedakan ‘perintah’ dan ‘imperatif’---Perintah adalah asas objektif sejauh mengharuskan kehendak subjektif, sedang imperatif adalah bentuk putusan dari perintah, dirumuskan dengan ‘seharunya’ (sollen).
Dalam Grundlegung, Kant membedakan dua macam imperatif. Yang pertama disebut ‘imperatif hipotesis’. Dengan ini dimaksudkan bahwa asas-asas tertentu yang bersifat objektif akan dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu kalau tujuan pelaku tercapai dengan melaksanakan asas-asas itu. Rumusnya: “jika menginginkan X, anda harus melakukan Y”. misalnya, putusan “jika mau belajar filsafat, anda harus membaca buku F.” Di sini orang bisa mau atau tidak belajar filsafat, sehingga tidak harus membaca buku F karena masih terbuka kemungkinan tidak melaksanakannya, imperatif ini juga disebut “imperatif hipotetis problematis”.Imperatif ini bukan imperatif moral. Kant juga menyebutk imperatif hipotetis jenis lain. Misalnya, putusan ”kalau mau bahagia, anda harus melakukan tindakan T.” Di sini orang mau bahagia dan tidak mau menolaknya, sehingga harus melakukan T. imperatif ini juga hipotetis, yaitu tindakan tertentu diperintahkan sebagai sarana untuk tujuan tertentu (bahagia), namun berbeda dari yang sebelumnya, syarat itu (kalu mau bahagia) ditegaskan (assert), maka disebut “imperatif hipotesis asertorik”.Imperatif ini-pun bukan imperatif moral.
Menurut Kant, imperatif moral terdapat dalam bentuk ketiga yang disebut “imperatif kategoris”. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya.Imperatif ini bersifat a priori. Kant menemukan imperatif kategoris sebagai berikut: misalnya, dalam kasus keinginan berderma kepada  tetangga yang tidak dipedulikan orang lain, kita bertanya apakah kehendak (maksim) untuk berderma itu bisa dijadikan hukum universal atau tidak. Kalau bisa, maksim kita itu di benarkan secara moral. Imperatif kategoris ini merupakan perintah rasio praktis kita yang harus dilaksanakan tanpan syarat, bersifat apodiktis (apodiktisch): harus dilaksanakan secara mutlak perlu. Kehendak subjektif untuk melaksanakan imperatif kategoris inilah maksim a priori.


Alcapone, April  2013
Disampaikan dalam Dialog Akhir Bulan April  2013 Di Teras Ubermench Makassar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar