Rabu, 13 Januari 2016

Hidup Bahagia ; Perjalanan Manusia Mencapai Puncak Keabadian Sebuah Penelusuran Jejak Berpikir Aristoteles








Ya! Dari mana asalku kutahu pasti
Tak terkenyangkan bagai api
Aku membara habisi diri,
Segala kupegang menjelma cahaya,
Yang kulepas arang belaka;
Pastilah aku api sejati
(Nietzzsche)



1.   Riwayat Hidup dan Karyanya
Aristoteles lahir tahun 384 SM di Stageira Yunani Utara.  Usia 17 atau 18 di kirim ke Athena belajar di Akademia sampai Platon meninggal tahun 348/7SM.  Selama di  Akademia menerbitkan beberapa karya dan mengajar logika dan retorika.  Setelah kematian Platon, Aristoteles berangkat ke Assos di pesisir Asia Kecil—saat itu Hermias (murid Akademia) menjadi penguasa negara dan atas permintaan Platon membuka sekolah di Assos. Tahun 345 SM  Hermias di tangkap dan di bunuh oleh tentara Parsi   Aristoteles melarikan diri dari Assos ke Mytilene di pulau Lesbos atas undangan Theophrastos.  Di Assos dan Mytilene Aristoteles mengadakan riset dalam bidang biologi dan zoologi kemudian terkumpul dalam Historia animalium.
Sekitar tahun 342 SM Aristoteles di undang  Raja Philippos dari Makedonia—anak Amyntas II—untuk mendidik anaknya Alexander--- waktu itu usianya 13 tahun.  Tahun 340 SM Alexander di angkat menjadi pejabat raja Makedonia dan empat tahun kemudian menjadi raja Makedonia di usia 19 tahun.  Seteah Alexander  menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolah sendiri Lykeion (dilatinkan Lyceum)—Aristoteles membangun  perpustakaan sebagai perpustakaan pertama dalam sejarah manusia.  Kematian Alexander Agung 323 SM memunculkan gerakan anti Makedonia untuk melepas Athena dari kerajaan Makedonia.  Aristoteles di tuduh karena kedurhakaan (asebeia) lalu melarikan diri dengan mengatakan “tidak akan membiarkan Athena berdosa terhadap filsafat untuk kedua kali” (dengan alusi kepada Socrates).  Tahun berikutnya ia jatuh sakit dan meninggal di tempat pembuangan pada usia 62 atau 63 tahun.
Karya Aristoteles hasil perkembangan panjang meliputi seluruh keaktifannya sebagai dosen di Akademia.  Murid-murid Aristoteles menyusun dan mengumpulkan semua bahan menyangkut suatu produk tertentu dalam berbagai periode hidupnya  meliputi tiga zaman:

a.  Waktu Aristoteles dalam Akademia, ia menganut filsafat Platon termasuk juga ajarannya mengenai ide-ide.  Disini ia menulis dialog-dialognya (kecuali Perihal filsafat) tetapi juga beberapa bagian dari buku-bukunya yang besar (Physica I,II dan VII, De Caelo I, Politica II, 2-3, De Anima III).  Rethorica dan buku-buku tentang logika   sebagian di tulis dalam Akademia;
b.  Waktu Aristoteles`berada di Assos, Mytilene dan dalam istana di Pella.  Dalam periode ini Aristoteles berbalik dari gurunya Platon  mengkritik ajarannya mengenai ide-ide dan membentuk filsafatnya sendiri.  Disini Aristoteles terutama giat dalam bidang filsafat spekulatif.  Dalam zaman ini harus ditempatkan dialog Perihal Filsafat, karena kritiknya atas`ajaran mengenai ide-ide.  Juga bagian-bagian besar dari Aristoteles berasal dari zaman ini; bagian tertua dari Metaphysica (“Urmetaphysik” menurut perkataan Jaeger), seluruh Ethica Eudemia, Politica VII-VIII dan beberapa bagian kecil lain, Physica III-VI, De Caelo II-IV dan De generatione et corruptione).
c.    Aristoteles mengajar dalam Lykeion  di Athena.  Sekarang minatnya terbalik dari filsafat spekulatif dan terutama dipusatkan kepada penyelidikan empiris.  Itu tidak berarti bahwa ia meninggalkan filsafat tetapi dalam filsafatnya ia terutama mengindahkan yang kongkret dan individual.  Dalam zaman ini harus di golongkan: Historia animalium dan semua karya biologis, Meteorologica, De anima I-II (bukan buku III yang sangat dekat dengan Platon), semua Parva naturalia, Metaphysica XII, 8 dan mungkin beberapa tambahan dalam Physica VIII.  Karya Aristoteles yang mengumpulkan data-data empiris semuanya disusun dalam zaman ketiga.

2. Tentang Gerak
          Objek penyelidikan fisika dan semua macam perubahan diberi nama “kinesis” atau “gerak” dan dibedakan menjadi dua: pertama,  gerak karena kekerasan (misalnya batu yang di lempar orang) dan kedua, gerak spontan menurut kodrat (batu yang di lepas menuju ke bawah atau jatuh).  Aristoteles mempersamakan gerak sama dengan perubahan pada umumnyam (bagi awam “gerak” hanya menunjuk satu macam perubahan saja, yaitu: perubahan lokal atau perubahan menurut tempat). Gerak oleh Aristoteles dapat terjadi: 1) mungkin bahwa suatu hal menjadi sesuatu yang lain (Gerak Substansial) yaitu dari satu substansi menjadi subtansi  lain.  Misalnya, seekor anjing mati—dari mahluk yang hidup menjadi bangkai. 2) mungkin bahwa suatu hal menjadi lain (Gerak Aksidental) artinya perubahan  menyangkut salah satu aspek saja yang dapat berlangsung dalam tiga cara. Pertama ada gerak lokal.  Misalnya, meja tadinya di tempat A berpindah ke tempat B.  Kedua ada gerak kualitatif, artinya suatu kualitas atau ciri menjadi lain.  Misalnya, kertas putih menjadi kuning dan Ketiga ada gerak kuantitatif.  Misalnya pohon kecil berubah (tumbuh) menjadi besar.

a.Gerak Aksidental
Dalam menganilisis gerak (Gerak Aksidental), Aristoteles  mencontohkan; “air dingin menjadi panas”.  Dalam contoh ini, gerak berlangsung antara dua hal yang berlawanan—panas-dingin.  Namun ada hal ketiga yaitu: air—dalam contoh tadi; ternyata bukan dingin menjadi panas, tetapi ada sesuatu yang dahulu dingin dan kemudian menjadi panas.  Jadi terdapat tiga faktor yang mempunyai peranan; 1) keadaan/ciri yang dahulu, 2) keadaan/ciri yang baru, dan 3) suatu subratum atau alas yang tetap.  Dalam contoh air dingin menjadi panas; mula-mula air mempunyai ciri “panas”, sementara itu air tetap tinggal air.  Dari sini Aristoteles mengemukakan suatu perbedaan antara aktual dan potensial, antara “aktus” (entelekheia) dan “potensi”(dynamis).  Fase pertama dari proses perubahan: ciri “panas” belum ada secara aktual, artinya air belum benar-benar panas.  Baru dalam fase kedua, air mempunyai ciri “panas” secara aktual (sebagai hasil perubahan).  Tetapi sudah dapat dikatakan bahwa dalam fase pertama: ciri “panas” sudah terdapat pada air secara potensial.  Dengan “potensial” dimaksudkan bahwa air sudah mempunyai kemampuan atau potensi untuk menjadi panas.  Dalam fase pertama: ciri “panas” sudah terdapat pada air sebagai kemungkinan atau kemampuan.  Dalam fase pertama: air (menurut aktusnya masih dingin) sudah panas, biarpun hanya menurut potensi saja.  Melalui perbedaan antara “aktual” dan “potensial” Aristoteles  mengartikan gerak perubahan:  peralihan dari potensi ke aktus atau sesuatu yang potensial menjadi aktual. 
Dengan aktus dan potensi, Aristoteles lalu membedakan “bentuk” (eidos atau morphe) dan “materi” (hyle).  Pemahat misalnya; mengukir sepotong kayu menjadi patung;  Ketika  kayu (telah) mendapat bentuk baru (patung) lebih dahulu kayu sudah mempunyai bentuk lain (misalnya sebatang balok).  Demikian pula “materi”  selalu mempunyai bentuk tertentu.  Materi dan bentuk merupakan dua konsep (pengertian) yang korelatif: yang satu menunjuk kepada yang lain sehingga materi tidak pernah lepas dari bentuk tertentu.  Suatu benda yang terdiri dari materi dan bentuk, dapat menjadi “materi” yang menerima suatu bentuk lain lagi dan seterusnya.  Kembali ke contoh mengenai air dingin  menjadi panas dapat diterangkan: air merupakan “materi” yang mendapat bentuk baru yaitu panas.  Dalam fase pertama: materi (air) sudah mempunyai potensi untuk menerima bentuk baru (panas).  Baru dalam fase kedua potensi itu menjadi aktus karena ciri panas menjadi sesuatu yang benar-benar “membentuk” air.

b. Gerak Substansial
Tetapi menjadi sesuatu yang lain (misalnya: air menjadi udara) Aristoteles mengartikan sebagai perubahan substansial; yaitu perubahan (mengakibatkan) satu substansi menjadi substansi lain.  Misalnya, seekor anjing mati.  Dari mahluk anjing yang hidup berubah menjadi bangkai (atau mahluk yang tidak hidup).   Perubahan ini meliputi tiga faktor:1) keadaan yang dahulu—anjing hidup— 2)  keadaan yang baru—bangkai—dan 3) semacam subratum tetap.   adalah materi—materi ini  tidak merupakan suatu benda seperti contoh di  air—paling fundamental  sebagai “Materi Pertama” (“Materi Prima”).  Selanjutnya, Materi Pertama selalu mempunyai salah satu bentuk dan tidak pernah dapat dilepaskan dari segala bentuk.  Karena adanya materi ini maka perubahan yang terjadi jika seekor anjing mati, yaitu: materi yang semula  bentuk pertama (anjing hidup) kemudian memperoleh bentuk kedua (bangkai).  Dalam fase pertama proses perubahan, materi sudah punya potensi  menerima bentuk baru.  Dengan demikian perubahan tidak lain adalah peralihan dari potensi ke aktus.

3. Tentang penyebab. 
Bagi orang awam, kata “penyebab”  hanya diartikan dengan penyebab lahiriah atau tidak ada penyebab di luar penyebab efisien dan penyebab final.   Aristoteles tidak puas dengan penyebab lahiriah, kedua faktor yang menyusun suatu benda dari dalam—materi dan bentuk—harus diberi nama “penyebab” dan tiap kejadian  mempunyai empat penyebab untuk  dibedakan :

a.  Penyebab material (material cause); bahan dari mana benda dibuat. Misalnya, kursi di buat dari kayu;
b.  Penyebab formal (formal cause); bentuk yang menyusun bahan.  Misalnya bentuk kursi di tambah pada kayu sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
c.    Penyebab efisien (efficient cause);  faktor yang menjalankan kejadian.  Misalnya, tukang kayu yang membuat sebuah kursi;
d.  Penyebab final (final cause); tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian.  Misalnya kursi di buat supaya orang dapat duduk;

4. Physis
Dalam buku II  Physica, Aristoteles membicarakan physis sebagai istilah yang diturunkan dari kata kerja phyestai (tumbuh, lahir dari). Kata ini dipilih untuk menunjukkan prinsip perkembangan semua benda alamiah—bertentangan dengan benda-benda artifisial (buatan manusia, misalnya meja atau patung) yang tidak mempunyai prinsip perkembangan sendiri. Karena prinsip ini,  benda-benda alamiah mempunyai sumber gerak atau diam dalam diri sendiri. Maksudnya, pohon kecil tumbuh besar  karena physisnya dan pohon  tetap sebagai pohon—kata physis dalam bahasa Indonesia  kita memilih kata “kodrat”.
Mahluk-mahluk yang boleh disebut fisis karena mempunyai physis; binatang, tumbuhan dan keempat anasir (air, tanah, udara, api). Physis meliputi bentuk maupun tujuan. Dalam semua makhluk, physis  merupakan penyebab formal sekaligus penyebab final dan dalam  arti tertentu juga merupakan penyebab efisien—Bentuk satu pohon umpamanya membuat benda ini menjadi sebenarnya pohon ( penyebab formal ), tujuan yang di kejar oleh pohon  ( penyebab final ) dan sumber yang mengakibatkan perkembangan itu (penyebab efisien). Aristoteles mempergunakan istilah physis dalam arti luas tidak menunjukkan suatu prinsip intern, melainkan keseluruhan makhluk  yang mempunyai physis sebagai prinsip intern dan bekerja sama dengan cara selaras (kata physis  dalam bahasa Indonesia sebagai “alam”atau “nature” dalam bahasa Inggris).

5. Jiwa
Dalam Psykhe atau jiwa,  Aristoteles menganggap jiwa sebagai prinsip hidup dan segala sesuatu yang hidup mempunyai jiwa; tumbuhan, binatang dan manusia.  Dalam Dialog Eudemos, Aristoteles—menganut ajaran pra eksistensi jiwa—  berpendapat bahwa jiwa akan hidup terus sesudah kematian manusia. Dalam De anima ia mengatakan; Jiwa dan badan  merupakan dua aspek dalam satu substansi.  Dua aspek ini  berhubungan satu sama lain sebagai “materi” dan “bentuk”. Badan adalah materi dan jiwa adalah bentuk-nya. Karena materi dan bentuk masing-masing  punya peranan sebagai potensi dan aktus dengan sendirinya: badan adalah potensi sedang jiwa berfungsi sebagai aktus.  Dalam De anima. Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai “Aktus Pertama” (antelekheia) dari satu bagian organis (“the first entelechy of a natural organic body”-De anima,II,I,412b 5-6) karenanya jiwa merupakan aktus paling fundamental sehingga badan menjadi badan yang hidup. Semua aktus lain merupakan aktus kedua yang berdasarkan Aktus Pertama. Sebagai contoh; seekor kucing mengeong suatu aktualisasi dari suatu aktus. Tetapi mengeong (aktus yang terakhir) merupakan “aktus yang kedua” terhadap suatu aktus yang pertama, yaitu: aktus yang membuat kucing menjadi seekor kucing. Kucing tidak menjadi kucing karena aktus mengeong. Kucing adalah kucing karena jiwanya. Jiwa merupakan aktus pertama.

6. Pengenalan Indrawi
Indrawi menerima bentuk benda tanpa materinya. Sepotong lilin yang di cap dengan sebuah meterai hanya menerima bentuk meterai saja, bukan materinya. Entah meterai  dari besi atau emas atau bahan apapun, selalu hasilnya sama: lilin  hanya menerima bentuknya. Menurut Aristoteles, semua kualitas terdapat dalam benda-banda sendiri, seperti misalnya warna, bunyi, rasa dan lain-lain. Warna merah suatu bunga dan sifat keras sebuah batu memang terdapat dalam bunga dan dalam batu. Semuanya merupakan “bentuk-bentuk” yang menentukan materi (bunga atau batu). Misalnya tentang  warna; menurut Aristoteles setiap warna merupakan campuran dua warna berlawanan, yaitu: putih dan hitam. Demikian juga warna merah merupakan campuran putih dan hitam menurut proporsi tertentu. Kalau saya mengamati bunga merah, menurut Aristoteles campuran yang sama yang terdapat dalam bunga di hasilkan juga dalam mata. Mata seakan–akan menjadi merah tetapi mata tidak menjadi bunga. Demikianlah sehingga Aristoteles mengatakan: dalam pengenalan indrawi kita hanya menerima bentuk tanpa materi. Supaya pengamatan warna dapat di jalankan, salah satu syarat  mata sendiri tidak berwarna. Organ indra yang menerima suatu bentuk, tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri atau organ indra tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri secara aktual. Tetapi organ indra sudah mempunyai kualitas bersangkutan secara potensial. Dengan itu Pengenalan indrawi; peralihan dari potensi ke aktus. Mengenal dengan indra berarti  organ indra yang sudah secara potensial mempunyai kualitas bersangkutan, sekarang mendapat kualitas itu secara aktual.
     
7. Pengenalan rasio
Dalam buku III De anima, Aristoteles membicarakan nus (rasio atau pemikiran) sebagai kekhususan manusia. Bertentangan dengan panca indra, rasio tidak membatasi diri pada satu aspek saja. Organ mata hanya melihat warna, organ telinga hanya mendengar bunyi—mustahil melihat bunyi atau mendengar warna. Aktivitas rasio tidak terbatas pada satu aspek saja yang terdapat dalam kenyataan. Rasio  menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio bersifat sama sekali umum. Karena itu menurut Aristoteles, rasio dapat “menjadi” segala sesuatu.     Dalam pengenalan indrawi  suatu bentuk di terakan kepada panca indra sedang  pengenalan rasional suatu bentuk diterima oleh ratio sebagai suatu bentuk intelektual—sebagai hakikat atau esensi suatu benda. Memahami segitiga berarti menerima hakikat atau esensinya dalam rasio dan pemahaman baik terhadap segitiga maupun lingkaran sampai membawa pengertian hubungan antara keduanya.
Aristoteles kemudian membedakan dua fungsi rasio manusia; pertama,  “Rasio Pasif” ( nus pathetikos; “intellectus possibilis”) sebab rasio “menerima” esensi tadi.  Kedua, “Rasio Aktif” (nus poietikos; “intellectus agens”).  Aristoteles  mengumpamakan  dengan cahaya yang memungkinkan kita melihat warna. Cahaya menampilkan warna bagi kita dan tanpa perantaraan cahaya  warna tidak dapat di lihat. Demikian-pun rasio aktif menampilkan esensi yang di terima oleh rasio pasif. Aristoteles mengatakan bahwa rasio aktif “terpisah” dan “tak tercampur”. Itu berarti—seperti juga di akui oleh Aristoteles sendiri—rasio aktif adalah baka  sedang rasio pasif akan binasa bersama dengan kematian tubuh. Alexander dari Aphrodisias—komentator Aristoteles hidup abad ke-2SM dan permulaan abad ke-3SM—beranggapan bahwa rasio aktif  disamakan dengan rasio Allah. Interpretasi Ibn Rushd (Averroes:1126-1198) dengan prinsip metafisikanya: rasio pasif disamakan dengan rasio aktif dan keduanya disamping membentuk satu substansi yaitu rohani sekaligus  milik bersama seluruh umat manusia—di sebut “monopsikisme”= ajaran mengenai satu jiwa.

8. Substansi, Esensi dan Aksiden
Setiap bentuk tertuju kepada materi dan tidak dapat di lepaskan daripadanya. Bentuk itu merupakan esensi suatu benda. Matematika umpamanya membahas bukan suatu segitiga tertentu, melainkan segitiga pada umumnya.  Rasio  mempunyai kemampuan  “melepaskan” esensi dari benda-benda konkret sebagai proses abstraksi.  Kata substansi berarti “yang berdiri sendiri”. Sesuatu merupakan “substansi” jika sesuatu itu dapat menerima keterangan-keterangan, sedang sesuatu itu sendiri tidak dapat di tambah sebagai keterangan pada sesuatu yang lain. Di samping substansi terdapat “aksiden”(simbebekos)  yaitu suatu hal yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya dapat di kenakan pada sesuatu yang lain yang berdiri sendiri . Aksiden hanya bisa berada dalam suatu substansi dan tidak pernah lepas daripadanya. Warna merah misalnya tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari suatu substansi. Kita tidak pernah bertemu dengan “merah” begitu saja, tetapi kita melihat suatu gambar merah, memakai topi merah dan sebagainya. Jadi, kata “merah” hanya dapat berfungsi sebagai keterangan yang di kenakan pada suatu substansi. Contoh lain, tentang Sokrates, kata “manusia” di pakai sebagai substansi, tetapi “muda”, ”tua, “duduk” semua merupakan aksiden-aksiden yang di kenakan pada  substansi (manusia).

9. Tentang Metafisika
Menurut Aristoteles, kosmos  terdiri dari dua wilayah dengan sifat berbeda; 1) terdapat wilayah sublunar ( di bawah bulan atau bumi) dan 2) terdapat wilayah jagat raya; bulan, planet-planet, dan bintang-bintang.  Pertama: bumi terdiri empat anasir (api, udara, tanah, dan air). Semua badan  di bumi  merupakan badan tunggal atau badan majemuk. Badan tunggal terdiri dari salah satu anasir dalam keadaan tidak tercampur sedang badan majemuk di bentuk oleh dua anasir atau lebih. Setiap anasir menuju ke tempat kodrati (“ lokus naturalis”) dalam gerak garis lurus dan berat-ringannya didasarkan gerak kodratinya— Api dan udara; ringan karena membubung ke atas sedang tanah dan air; berat karena bergerak ke arah pusat bumi. Sekalipun masing-masing anasir  terpisah dari anasir-anasir lain, namun terdapat kemungkinan satu anasir berubah menjadi anasir lain. Kedua,  badan-badan jagat raya di luar bumi: semua terdiri dari suatu anasir lain—anasir kelima, yaitu aether.  Anasir ini tidak  musnah dan tidak  berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati zat ini bukan  garis lurus tetapi gerak lingkaran. Menurut Aristoteles, jagat raya di bentuk oleh beberapa lingkaran (“spheres”)  dari aether dan masing-masing lingkaran pada revolusinya mengangkut badan-badan jagat raya (juga dari aether) yang melekat padanya.
Teorinya mengenai gerak dan physica—bahwa segala sesuatu yang bergerak menerima geraknya dari sesuatu yang lain—dan   penyelidikannya tentang substansi mengenai ajaran  Allah,  Aristoteles kemudian  menegaskan pendiriannya tentang  “Penggerak pertama yang tidak di gerakkan”: gerak dalam jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan—karena setiap yang bergerak di gerakkan oleh suatu yang lain, perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi Ia sendiri tidak di gerakkan.  Pengerak Pertama bersifat abadi temasuk gerak yang di sebabkan olehnya—Penggerak ini bukan materi (tapi immateri) karena segala yang mempunyai materi mempunyai potensi untuk bergerak sementara Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun.  Allah di anggap: Aktus Murni.
Sebagai Aktus Murni, Ia  disamakan dengan kesadaran atau pemikiran.  Aktivitasnya hanya berpikir—segala aktivitas jenis lain selalu menuntut objek yang ada di luar dan dengan itu menuntut juga ketergantungan (potensi).  Aktus pemikiran berlangsung terus dan tidak berhenti karena tidak mungkin berada dalam keadaan potensi saja.  Objek pemikirannya  paling tinggi dan paling sempurna.  Sehingga objek pemikirannya adalah pemikiran Ilahi sendiri;  Allah adalah “pemikiran yang memandang pemikirannya” (noesis noeseos, “thought of thought).  Dengan demikian Allah menikmati kebahagiaan sempurna dengan tiada henti-hentinya menjalankan aktivitas yang tertinggi dan diarahkan kepada objek yang tertinggi.  Penggerak Pertama menyebabkan gerak  jagat raya bukan sebagai penyebab efisien—karena penyebab efisien akan dipengaruhi oleh hasilnya dan karenanya akan mempunyai potensi—tetapi Allah menyebabkan sebagai penyebab final.  Aristoteles  mengungkapkan hal itu dengan suatu perkataan: “Ia menggerakkan karena di cintai” (kinei de hos eromenon: “He Produces motion as being loved”).  Segala sesuatu yang ada mengejar penggerak yang sempurna.  Gerak dalam jagat raya sama saja dengan menuju Allah.  Tetapi Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri—karena kalau Allah mengenal dunia Dia juga  mempunyai potensi dan bukan lagi Aktus Murni.  Aristoteles menegaskan hanya ada satu penggerak yang tidak digerakkan (XII, 10, 1076 a3-4).  “Dari prinsip itu (Penggerak Pertama) tergantunglah langit dan alam semesta” (XII, 7, 1072b 13-14). Dalam Buku XII  Metaphysica:  “Penggerak Pertama yang tidak di gerakkan” mengakibatkan gerak dari Penggerak Pertama yang  di gerakkan, yakni; lingkaran paling luar dengan bintang-bintang tetap. Lingkaran ini menyerahkan  gerakannya kepada lingkaran-lingkaran lain. Pada gilirannya lingkaran-lingkaran itu menyebabkan gerak yang terdapat di bumi, yaitu gerak berupa garis lurus dari keempat anasir.

10.      Hidup Bahagia
Segala perbuatan manusia mengejar suatu tujuan.  Ia selalu mencari sesuatu yang baik baginya.    Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia).  Kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan potensialitas belaka, karena aktus mempunyai prioritas terhadap potensi.  Manusia mendapat kesempurnaannya bukan karena potensi begitu saja tetapi  potensinya sudah mencapai aktualisasinya.  Agar benar-benar bahagia ia harus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan” sebab hanya pemikiran yang disertai keutamaan (arete) membuat manusia menjadi bahagia. 
Manusia bukan saja merupakan mahluk intelektual, melainkan juga mahluk yang mempunyai perasaan, keinginan, nafsu dan lain sebagainya.  Dari sebab itu, menurut Aristoteles terdapat dua macam keutamaan;  intelektual dan  moral.

a.  Keutamaan moral; Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan.  Keutamaan selalu merupakan pertengahan antara kelebihan dan kekurangan, keselarasan dan keseimbangan.  Mempunyai sikap yang tetap bukan kebetulan  untuk memilih jalan tengah.
b.  Keutamaan intelektual; rasio mempunyai dua fungsi; pertama, rasio teoritis yang  memungkinkan manusia mengenal kebenaran.  Kedua, rasio praktis yang memberikan petunjuk supaya orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu.

Aristoteles membedakan dua macam keutamaan yang menyempurnakan rasio:1) kebijaksanaan teoritis (sophia) dan 2)  kebijaksanaan praktis  (phronesis).  Bagi Platon tidak ada orang yang mempunyai cara hidup lebih luhur dari pada seorang filsuf.  Filsuf mengenal kebenaran dan memandang ide-ide.  Jadi hidup yang bahagia ialah hidup sebagai filsuf dan karena rasio merupakan  unsur ilahi dalam diri manusia maka menjalankan aktivitas rasio adalah suatu hidup Ilahi.

Alcapone, Pebruari  2013
Disampaikan dalam Dialog Akhir Bulan Pebruari 2013 Di Teras Ubermench Makassar.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar