Ya! Dari mana asalku kutahu pasti
Tak terkenyangkan bagai api
Aku membara habisi diri,
Segala kupegang menjelma cahaya,
Yang kulepas arang belaka;
Pastilah aku api sejati
(Nietzzsche)
1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Aristoteles lahir tahun 384 SM di
Stageira Yunani Utara. Usia 17 atau 18
di kirim ke Athena belajar di Akademia sampai Platon meninggal tahun 348/7SM. Selama di Akademia menerbitkan beberapa karya dan mengajar
logika dan retorika. Setelah kematian
Platon, Aristoteles berangkat ke Assos di pesisir Asia Kecil—saat itu Hermias
(murid Akademia) menjadi penguasa negara dan atas permintaan Platon membuka
sekolah di Assos. Tahun 345 SM Hermias
di tangkap dan di bunuh oleh tentara Parsi Aristoteles melarikan diri dari Assos ke
Mytilene di pulau Lesbos atas undangan Theophrastos. Di Assos dan Mytilene Aristoteles mengadakan
riset dalam bidang biologi dan zoologi kemudian terkumpul dalam Historia animalium.
Sekitar tahun 342 SM Aristoteles di
undang Raja Philippos dari Makedonia—anak
Amyntas II—untuk mendidik anaknya Alexander--- waktu itu usianya 13 tahun. Tahun 340 SM Alexander di angkat menjadi
pejabat raja Makedonia dan empat tahun kemudian menjadi raja Makedonia di usia
19 tahun. Seteah Alexander menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena
dan mendirikan sekolah sendiri Lykeion
(dilatinkan Lyceum)—Aristoteles membangun perpustakaan sebagai perpustakaan pertama
dalam sejarah manusia. Kematian
Alexander Agung 323 SM memunculkan gerakan anti Makedonia untuk melepas Athena
dari kerajaan Makedonia. Aristoteles di
tuduh karena kedurhakaan (asebeia)
lalu melarikan diri dengan mengatakan “tidak akan membiarkan Athena berdosa
terhadap filsafat untuk kedua kali” (dengan alusi kepada Socrates). Tahun berikutnya ia jatuh sakit dan meninggal
di tempat pembuangan pada usia 62 atau 63 tahun.
Karya Aristoteles hasil perkembangan
panjang meliputi seluruh keaktifannya sebagai dosen di Akademia. Murid-murid Aristoteles menyusun dan
mengumpulkan semua bahan menyangkut suatu produk tertentu dalam berbagai
periode hidupnya meliputi tiga zaman:
a. Waktu
Aristoteles dalam Akademia, ia menganut filsafat Platon termasuk juga ajarannya
mengenai ide-ide. Disini ia menulis
dialog-dialognya (kecuali Perihal
filsafat) tetapi juga beberapa bagian dari buku-bukunya yang besar (Physica I,II dan VII, De Caelo I, Politica II, 2-3, De Anima III). Rethorica
dan buku-buku tentang logika sebagian di tulis dalam Akademia;
b. Waktu
Aristoteles`berada di Assos, Mytilene dan dalam istana di Pella. Dalam periode ini Aristoteles berbalik dari gurunya
Platon mengkritik ajarannya mengenai
ide-ide dan membentuk filsafatnya sendiri.
Disini Aristoteles terutama giat dalam bidang filsafat spekulatif. Dalam zaman ini harus ditempatkan dialog
Perihal Filsafat, karena kritiknya atas`ajaran mengenai ide-ide. Juga bagian-bagian besar dari Aristoteles
berasal dari zaman ini; bagian tertua dari Metaphysica
(“Urmetaphysik” menurut perkataan
Jaeger), seluruh Ethica Eudemia, Politica VII-VIII dan beberapa bagian
kecil lain, Physica III-VI, De Caelo II-IV dan De generatione et corruptione).
c. Aristoteles
mengajar dalam Lykeion di Athena. Sekarang minatnya terbalik dari filsafat
spekulatif dan terutama dipusatkan kepada penyelidikan empiris. Itu tidak berarti bahwa ia meninggalkan
filsafat tetapi dalam filsafatnya ia terutama mengindahkan yang kongkret dan
individual. Dalam zaman ini harus di
golongkan: Historia animalium dan
semua karya biologis, Meteorologica, De anima I-II (bukan buku III yang
sangat dekat dengan Platon), semua Parva
naturalia, Metaphysica XII, 8 dan
mungkin beberapa tambahan dalam Physica
VIII. Karya Aristoteles yang
mengumpulkan data-data empiris semuanya disusun dalam zaman ketiga.
2. Tentang Gerak
Objek
penyelidikan fisika dan semua macam perubahan diberi nama “kinesis” atau “gerak” dan dibedakan menjadi dua: pertama, gerak karena kekerasan (misalnya batu yang di
lempar orang) dan kedua, gerak spontan menurut kodrat (batu yang di lepas
menuju ke bawah atau jatuh). Aristoteles
mempersamakan gerak sama dengan perubahan pada umumnyam (bagi awam “gerak”
hanya menunjuk satu macam perubahan saja, yaitu: perubahan lokal atau perubahan
menurut tempat). Gerak oleh Aristoteles dapat terjadi: 1) mungkin bahwa suatu hal menjadi sesuatu yang lain (Gerak Substansial) yaitu dari satu
substansi menjadi subtansi lain. Misalnya, seekor anjing mati—dari mahluk yang
hidup menjadi bangkai. 2) mungkin bahwa
suatu hal menjadi lain (Gerak Aksidental) artinya perubahan menyangkut salah satu aspek saja yang dapat
berlangsung dalam tiga cara. Pertama ada gerak lokal. Misalnya, meja tadinya di tempat A berpindah
ke tempat B. Kedua ada gerak kualitatif, artinya suatu kualitas atau ciri
menjadi lain. Misalnya, kertas putih
menjadi kuning dan Ketiga ada gerak
kuantitatif. Misalnya pohon kecil
berubah (tumbuh) menjadi besar.
a.Gerak
Aksidental
Dalam menganilisis gerak (Gerak
Aksidental), Aristoteles mencontohkan;
“air dingin menjadi panas”. Dalam contoh
ini, gerak berlangsung antara dua hal yang berlawanan—panas-dingin. Namun ada hal ketiga yaitu: air—dalam contoh tadi;
ternyata bukan dingin menjadi panas, tetapi ada sesuatu yang dahulu dingin dan
kemudian menjadi panas. Jadi terdapat
tiga faktor yang mempunyai peranan; 1) keadaan/ciri
yang dahulu, 2) keadaan/ciri yang baru, dan 3) suatu subratum atau alas yang tetap. Dalam contoh air dingin menjadi panas;
mula-mula air mempunyai ciri “panas”, sementara itu air tetap tinggal air. Dari sini Aristoteles mengemukakan suatu perbedaan
antara aktual dan potensial, antara “aktus” (entelekheia) dan
“potensi”(dynamis). Fase pertama dari
proses perubahan: ciri “panas” belum ada secara aktual, artinya air belum benar-benar
panas. Baru dalam fase kedua, air
mempunyai ciri “panas” secara aktual (sebagai hasil perubahan). Tetapi sudah dapat dikatakan bahwa dalam fase
pertama: ciri “panas” sudah terdapat pada air secara potensial. Dengan “potensial” dimaksudkan bahwa air
sudah mempunyai kemampuan atau potensi untuk menjadi panas. Dalam fase pertama: ciri “panas” sudah
terdapat pada air sebagai kemungkinan atau kemampuan. Dalam fase pertama: air (menurut aktusnya
masih dingin) sudah panas, biarpun hanya menurut potensi saja. Melalui perbedaan antara “aktual” dan
“potensial” Aristoteles mengartikan
gerak perubahan: peralihan dari potensi ke aktus atau sesuatu yang potensial menjadi
aktual.
Dengan aktus dan potensi, Aristoteles
lalu membedakan “bentuk” (eidos atau morphe) dan “materi” (hyle). Pemahat misalnya;
mengukir sepotong kayu menjadi patung; Ketika kayu (telah) mendapat bentuk baru (patung)
lebih dahulu kayu sudah mempunyai bentuk lain (misalnya sebatang balok). Demikian pula “materi” selalu mempunyai bentuk tertentu. Materi dan bentuk merupakan dua konsep
(pengertian) yang korelatif: yang satu menunjuk kepada yang lain sehingga
materi tidak pernah lepas dari bentuk tertentu.
Suatu benda yang terdiri dari materi dan bentuk, dapat menjadi “materi”
yang menerima suatu bentuk lain lagi dan seterusnya. Kembali ke contoh mengenai air dingin menjadi panas dapat diterangkan: air merupakan
“materi” yang mendapat bentuk baru yaitu panas.
Dalam fase pertama: materi (air) sudah mempunyai potensi untuk menerima
bentuk baru (panas). Baru dalam fase kedua
potensi itu menjadi aktus karena ciri panas menjadi sesuatu yang benar-benar
“membentuk” air.
b. Gerak
Substansial
Tetapi menjadi sesuatu yang lain (misalnya: air menjadi udara) Aristoteles
mengartikan sebagai perubahan substansial; yaitu perubahan (mengakibatkan) satu
substansi menjadi substansi lain. Misalnya,
seekor anjing mati. Dari mahluk anjing
yang hidup berubah menjadi bangkai (atau mahluk yang tidak hidup). Perubahan
ini meliputi tiga faktor:1) keadaan yang dahulu—anjing hidup— 2) keadaan yang baru—bangkai—dan 3) semacam
subratum tetap. adalah materi—materi ini tidak merupakan suatu benda seperti contoh
di air—paling fundamental sebagai “Materi
Pertama” (“Materi Prima”). Selanjutnya,
Materi Pertama selalu mempunyai salah satu bentuk dan tidak pernah dapat
dilepaskan dari segala bentuk. Karena
adanya materi ini maka perubahan yang terjadi jika seekor anjing mati, yaitu:
materi yang semula bentuk pertama
(anjing hidup) kemudian memperoleh bentuk kedua (bangkai). Dalam fase pertama proses perubahan, materi
sudah punya potensi menerima bentuk
baru. Dengan demikian perubahan tidak lain
adalah peralihan dari potensi ke aktus.
3. Tentang penyebab.
Bagi orang
awam, kata “penyebab” hanya diartikan
dengan penyebab lahiriah atau tidak ada penyebab di luar penyebab efisien dan
penyebab final. Aristoteles tidak puas
dengan penyebab lahiriah, kedua faktor yang menyusun suatu benda dari
dalam—materi dan bentuk—harus diberi nama “penyebab” dan tiap kejadian mempunyai empat penyebab untuk dibedakan :
a. Penyebab
material (material cause); bahan dari
mana benda dibuat. Misalnya, kursi di buat dari kayu;
b. Penyebab
formal (formal cause); bentuk yang menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi di tambah pada kayu
sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
c. Penyebab
efisien (efficient cause); faktor yang menjalankan kejadian. Misalnya, tukang kayu yang membuat sebuah
kursi;
d. Penyebab
final (final cause); tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi di buat supaya orang dapat
duduk;
4. Physis
Dalam buku II Physica,
Aristoteles membicarakan physis
sebagai istilah yang diturunkan dari
kata kerja phyestai (tumbuh, lahir
dari). Kata ini dipilih untuk menunjukkan prinsip perkembangan semua benda
alamiah—bertentangan dengan benda-benda artifisial (buatan manusia, misalnya
meja atau patung) yang tidak mempunyai prinsip perkembangan sendiri. Karena
prinsip ini, benda-benda alamiah
mempunyai sumber gerak atau diam dalam diri sendiri. Maksudnya, pohon kecil
tumbuh besar karena physisnya dan pohon tetap sebagai
pohon—kata physis dalam bahasa
Indonesia kita memilih kata “kodrat”.
Mahluk-mahluk yang boleh disebut
fisis karena mempunyai physis;
binatang, tumbuhan dan keempat anasir (air, tanah, udara, api). Physis meliputi
bentuk maupun tujuan. Dalam semua makhluk, physis merupakan penyebab formal sekaligus
penyebab final dan dalam arti tertentu juga
merupakan penyebab efisien—Bentuk satu pohon umpamanya membuat benda ini
menjadi sebenarnya pohon ( penyebab formal ), tujuan yang di kejar oleh pohon ( penyebab final ) dan sumber yang
mengakibatkan perkembangan itu (penyebab efisien). Aristoteles mempergunakan
istilah physis dalam arti luas tidak menunjukkan suatu prinsip intern,
melainkan keseluruhan makhluk yang
mempunyai physis sebagai prinsip
intern dan bekerja sama dengan cara selaras (kata physis dalam bahasa Indonesia
sebagai “alam”atau “nature” dalam bahasa Inggris).
5. Jiwa
Dalam Psykhe atau jiwa, Aristoteles
menganggap jiwa sebagai prinsip hidup dan segala sesuatu yang hidup mempunyai
jiwa; tumbuhan, binatang dan manusia. Dalam
Dialog Eudemos, Aristoteles—menganut
ajaran pra eksistensi jiwa— berpendapat bahwa
jiwa akan hidup terus sesudah kematian manusia. Dalam De anima ia mengatakan; Jiwa dan badan merupakan dua aspek dalam satu substansi.
Dua aspek ini berhubungan satu
sama lain sebagai “materi” dan “bentuk”. Badan adalah materi dan jiwa adalah
bentuk-nya. Karena materi dan bentuk masing-masing punya peranan sebagai potensi dan aktus
dengan sendirinya: badan adalah potensi sedang jiwa berfungsi sebagai aktus. Dalam De
anima. Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai “Aktus Pertama” (antelekheia)
dari satu bagian organis (“the first
entelechy of a natural organic body”-De
anima,II,I,412b 5-6) karenanya jiwa merupakan aktus paling fundamental
sehingga badan menjadi badan yang hidup. Semua aktus lain merupakan aktus kedua
yang berdasarkan Aktus Pertama. Sebagai contoh; seekor kucing mengeong suatu aktualisasi
dari suatu aktus. Tetapi mengeong (aktus yang terakhir) merupakan “aktus yang
kedua” terhadap suatu aktus yang pertama, yaitu: aktus yang membuat kucing
menjadi seekor kucing. Kucing tidak menjadi kucing karena aktus mengeong.
Kucing adalah kucing karena jiwanya. Jiwa merupakan aktus pertama.
6. Pengenalan Indrawi
Indrawi menerima bentuk benda tanpa
materinya. Sepotong lilin yang di cap dengan sebuah meterai hanya menerima
bentuk meterai saja, bukan materinya. Entah meterai dari besi atau emas atau bahan apapun, selalu
hasilnya sama: lilin hanya menerima
bentuknya. Menurut Aristoteles, semua kualitas terdapat dalam benda-banda
sendiri, seperti misalnya warna, bunyi, rasa dan lain-lain. Warna merah suatu
bunga dan sifat keras sebuah batu memang terdapat dalam bunga dan dalam batu.
Semuanya merupakan “bentuk-bentuk” yang menentukan materi (bunga atau batu).
Misalnya tentang warna; menurut
Aristoteles setiap warna merupakan campuran dua warna berlawanan, yaitu: putih
dan hitam. Demikian juga warna merah merupakan campuran putih dan hitam menurut
proporsi tertentu. Kalau saya mengamati bunga merah, menurut Aristoteles
campuran yang sama yang terdapat dalam bunga di hasilkan juga dalam mata. Mata
seakan–akan menjadi merah tetapi mata tidak menjadi bunga. Demikianlah sehingga
Aristoteles mengatakan: dalam pengenalan indrawi kita hanya menerima bentuk
tanpa materi. Supaya pengamatan warna dapat di jalankan, salah satu syarat mata sendiri tidak berwarna. Organ indra yang
menerima suatu bentuk, tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri atau organ
indra tidak boleh mempunyai kualitas itu sendiri secara aktual. Tetapi organ
indra sudah mempunyai kualitas bersangkutan secara potensial. Dengan itu
Pengenalan indrawi; peralihan dari potensi ke aktus. Mengenal dengan indra
berarti organ indra yang sudah secara
potensial mempunyai kualitas bersangkutan, sekarang mendapat kualitas itu
secara aktual.
7. Pengenalan rasio
Dalam buku III De anima, Aristoteles membicarakan nus (rasio atau pemikiran) sebagai kekhususan manusia. Bertentangan
dengan panca indra, rasio tidak membatasi diri pada satu aspek saja. Organ mata
hanya melihat warna, organ telinga hanya mendengar bunyi—mustahil melihat bunyi
atau mendengar warna. Aktivitas rasio tidak terbatas pada satu aspek saja yang
terdapat dalam kenyataan. Rasio menangkap segala sesuatu yang ada. Objek rasio
bersifat sama sekali umum. Karena itu menurut Aristoteles, rasio dapat
“menjadi” segala sesuatu. Dalam
pengenalan indrawi suatu bentuk di
terakan kepada panca indra sedang pengenalan rasional suatu bentuk diterima oleh
ratio sebagai suatu bentuk intelektual—sebagai hakikat atau esensi suatu benda.
Memahami segitiga berarti menerima hakikat atau esensinya dalam rasio dan
pemahaman baik terhadap segitiga maupun lingkaran sampai membawa pengertian
hubungan antara keduanya.
Aristoteles kemudian membedakan dua
fungsi rasio manusia; pertama, “Rasio Pasif” ( nus pathetikos;
“intellectus possibilis”) sebab rasio “menerima” esensi tadi. Kedua, “Rasio
Aktif” (nus poietikos; “intellectus agens”). Aristoteles
mengumpamakan dengan cahaya yang
memungkinkan kita melihat warna. Cahaya menampilkan warna bagi kita dan tanpa
perantaraan cahaya warna tidak dapat di
lihat. Demikian-pun rasio aktif menampilkan esensi yang di terima oleh rasio
pasif. Aristoteles mengatakan bahwa rasio aktif “terpisah” dan “tak tercampur”.
Itu berarti—seperti juga di akui oleh Aristoteles sendiri—rasio aktif adalah
baka sedang rasio pasif akan binasa
bersama dengan kematian tubuh. Alexander dari Aphrodisias—komentator Aristoteles
hidup abad ke-2SM dan permulaan abad ke-3SM—beranggapan bahwa rasio aktif disamakan dengan rasio Allah. Interpretasi Ibn
Rushd (Averroes:1126-1198) dengan prinsip metafisikanya: rasio pasif disamakan
dengan rasio aktif dan keduanya disamping membentuk satu substansi yaitu rohani
sekaligus milik bersama seluruh umat
manusia—di sebut “monopsikisme”=
ajaran mengenai satu jiwa.
8. Substansi, Esensi dan Aksiden
Setiap bentuk tertuju kepada materi
dan tidak dapat di lepaskan daripadanya. Bentuk itu merupakan esensi suatu
benda. Matematika umpamanya membahas bukan suatu segitiga tertentu, melainkan
segitiga pada umumnya. Rasio mempunyai kemampuan “melepaskan” esensi dari benda-benda konkret
sebagai proses abstraksi. Kata substansi
berarti “yang berdiri sendiri”. Sesuatu merupakan “substansi” jika sesuatu itu
dapat menerima keterangan-keterangan, sedang sesuatu itu sendiri tidak dapat di
tambah sebagai keterangan pada sesuatu yang lain. Di samping substansi terdapat
“aksiden”(simbebekos) yaitu suatu hal yang tidak berdiri sendiri
tetapi hanya dapat di kenakan pada sesuatu yang lain yang berdiri sendiri .
Aksiden hanya bisa berada dalam suatu substansi dan tidak pernah lepas
daripadanya. Warna merah misalnya tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari suatu
substansi. Kita tidak pernah bertemu dengan “merah” begitu saja, tetapi kita
melihat suatu gambar merah, memakai topi merah dan sebagainya. Jadi, kata
“merah” hanya dapat berfungsi sebagai keterangan yang di kenakan pada suatu
substansi. Contoh lain, tentang Sokrates, kata “manusia” di pakai sebagai
substansi, tetapi “muda”, ”tua “,
“duduk” semua merupakan aksiden-aksiden yang di kenakan pada substansi (manusia).
9. Tentang Metafisika
Menurut Aristoteles, kosmos terdiri dari dua wilayah dengan sifat berbeda;
1) terdapat wilayah sublunar ( di
bawah bulan atau bumi) dan 2) terdapat wilayah jagat raya; bulan, planet-planet,
dan bintang-bintang. Pertama: bumi terdiri empat anasir (api,
udara, tanah, dan air). Semua badan di
bumi merupakan badan tunggal atau badan
majemuk. Badan tunggal terdiri dari salah satu anasir dalam keadaan tidak
tercampur sedang badan majemuk di bentuk oleh dua anasir atau lebih. Setiap
anasir menuju ke tempat kodrati (“ lokus
naturalis”) dalam gerak garis lurus
dan berat-ringannya didasarkan gerak kodratinya— Api dan udara; ringan karena
membubung ke atas sedang tanah dan air; berat karena bergerak ke arah pusat
bumi. Sekalipun masing-masing anasir
terpisah dari anasir-anasir lain, namun terdapat kemungkinan satu anasir
berubah menjadi anasir lain. Kedua, badan-badan jagat raya di luar bumi: semua
terdiri dari suatu anasir lain—anasir kelima, yaitu aether. Anasir ini
tidak musnah dan tidak berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati zat
ini bukan garis lurus tetapi gerak
lingkaran. Menurut Aristoteles, jagat raya di bentuk oleh beberapa lingkaran (“spheres”) dari aether dan masing-masing lingkaran pada
revolusinya mengangkut badan-badan jagat raya (juga dari aether) yang melekat
padanya.
Teorinya mengenai gerak dan physica—bahwa
segala sesuatu yang bergerak menerima geraknya dari sesuatu yang lain—dan penyelidikannya tentang substansi mengenai ajaran
Allah, Aristoteles kemudian menegaskan pendiriannya tentang “Penggerak pertama yang tidak di gerakkan”:
gerak dalam jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan—karena
setiap yang bergerak di gerakkan oleh suatu yang lain, perlulah menerima satu
Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi Ia sendiri tidak di
gerakkan. Pengerak Pertama bersifat
abadi temasuk gerak yang di sebabkan olehnya—Penggerak ini bukan materi (tapi
immateri) karena segala yang mempunyai materi mempunyai potensi untuk bergerak
sementara Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun. Allah di anggap: Aktus Murni.
Sebagai Aktus Murni, Ia disamakan dengan kesadaran atau
pemikiran. Aktivitasnya hanya berpikir—segala
aktivitas jenis lain selalu menuntut objek yang ada di luar dan dengan itu menuntut
juga ketergantungan (potensi). Aktus
pemikiran berlangsung terus dan tidak berhenti karena tidak mungkin berada
dalam keadaan potensi saja. Objek
pemikirannya paling tinggi dan paling
sempurna. Sehingga objek pemikirannya
adalah pemikiran Ilahi sendiri; Allah adalah “pemikiran yang memandang
pemikirannya” (noesis noeseos,
“thought of thought). Dengan
demikian Allah menikmati kebahagiaan sempurna dengan tiada henti-hentinya
menjalankan aktivitas yang tertinggi dan diarahkan kepada objek yang tertinggi. Penggerak Pertama menyebabkan gerak jagat raya bukan sebagai penyebab efisien—karena
penyebab efisien akan dipengaruhi oleh hasilnya dan karenanya akan mempunyai
potensi—tetapi Allah menyebabkan sebagai penyebab final. Aristoteles
mengungkapkan hal itu dengan suatu perkataan: “Ia menggerakkan karena di
cintai” (kinei de hos eromenon: “He
Produces motion as being loved”).
Segala sesuatu yang ada mengejar penggerak yang sempurna. Gerak dalam jagat raya sama saja dengan menuju
Allah. Tetapi Allah sebagai Penggerak Pertama
tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain dari pada dirinya
sendiri—karena kalau Allah mengenal dunia Dia juga mempunyai potensi dan bukan lagi Aktus Murni. Aristoteles menegaskan hanya ada satu
penggerak yang tidak digerakkan (XII, 10, 1076 a3-4). “Dari prinsip itu (Penggerak Pertama)
tergantunglah langit dan alam semesta” (XII, 7, 1072b 13-14). Dalam Buku
XII Metaphysica: “Penggerak Pertama yang tidak di gerakkan”
mengakibatkan gerak dari Penggerak Pertama yang
di gerakkan, yakni; lingkaran paling luar dengan bintang-bintang tetap.
Lingkaran ini menyerahkan gerakannya
kepada lingkaran-lingkaran lain. Pada gilirannya lingkaran-lingkaran itu
menyebabkan gerak yang terdapat di bumi, yaitu gerak berupa garis lurus dari
keempat anasir.
10. Hidup Bahagia
Segala perbuatan manusia mengejar
suatu tujuan. Ia selalu mencari sesuatu
yang baik baginya. Menurut
Aristoteles, tujuan tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan
harus disamakan dengan suatu aktivitas, bukan potensialitas belaka, karena
aktus mempunyai prioritas terhadap potensi.
Manusia mendapat kesempurnaannya bukan karena potensi begitu saja tetapi
potensinya sudah mencapai
aktualisasinya. Agar benar-benar bahagia
ia harus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan” sebab hanya pemikiran
yang disertai keutamaan (arete) membuat
manusia menjadi bahagia.
Manusia bukan saja merupakan mahluk
intelektual, melainkan juga mahluk yang mempunyai perasaan, keinginan, nafsu
dan lain sebagainya. Dari sebab itu,
menurut Aristoteles terdapat dua macam keutamaan; intelektual
dan moral.
a. Keutamaan
moral; Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang
memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang
berlawanan. Keutamaan selalu merupakan
pertengahan antara kelebihan dan kekurangan, keselarasan dan keseimbangan. Mempunyai sikap yang tetap bukan kebetulan untuk memilih jalan tengah.
b. Keutamaan
intelektual; rasio mempunyai dua fungsi; pertama,
rasio teoritis yang memungkinkan manusia
mengenal kebenaran. Kedua, rasio praktis yang memberikan petunjuk supaya orang
mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu.
Aristoteles membedakan dua macam
keutamaan yang menyempurnakan rasio:1) kebijaksanaan teoritis (sophia) dan 2) kebijaksanaan praktis (phronesis). Bagi Platon tidak ada orang yang mempunyai
cara hidup lebih luhur dari pada seorang filsuf. Filsuf mengenal kebenaran dan memandang
ide-ide. Jadi hidup yang bahagia ialah
hidup sebagai filsuf dan karena rasio merupakan unsur ilahi dalam diri manusia maka
menjalankan aktivitas rasio adalah suatu hidup Ilahi.
Alcapone,
Pebruari 2013
Disampaikan dalam Dialog Akhir Bulan Pebruari
2013 Di Teras Ubermench Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar